Imlek dan Tahun Politik

Senin, 04 Februari 2019 - 08:00 WIB
Imlek dan Tahun Politik
Imlek dan Tahun Politik
A A A
TAHUN Baru Imlek kembali diperingati. Tahun ini peringatan Imlek jatuh pada Selasa, 5 Februari yang juga menjadi hari libur nasional. Setiap tahun, sejak 2002, masyarakat Indonesia, terutama etnik Tionghoa, merayakan Imlek dengan meriah, khidmat, tanpa hambatan atau larangan sebagaimana pernah terjadi di era pemerintahan Orde Baru.

Perayaan Imlek secara nasional juga kerap mengusung tema kebangsaan. Tujuannya tak lain adalah untuk memupuk semangat persatuan dan persaudaraan di tengah kenyataan Indonesia sebagai bangsa yang majemuk.

Dalam perayaan Imlek Nasional 2019, misalnya, tema yang diusung adalah “Merajut Kebinekaan Memperkokoh Persatuan”. Tema ini tampak sederhana, tetapi pada kenyataannya sarat makna. Tema ini sangat relevan mengingat ini adalah tahun politik, tahun ketika bangsa Indonesia akan menjalani peristiwa politik penting, yakni pemilihan presiden dan pemilihan legislator (pilpres dan pileg) yang digelar serentak pada 17 April 2019.

Rivalitas yang sengit dari dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) beberapa bulan terakhir tak pelak menciptakan pembelahan di masyarakat. Masyarakat sebagian besar kini terbagi ke dalam dua kutub, yakni pendukung pasangan nomor 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan pasangan nomor 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Pembelahan ini sesungguhnya sudah terjadi saat Pilkada DKI Jakarta digelar pada 2017. Namun hal itu kembali menemukan momentumnya ketika tahapan pilpres mulai digelar.

Persaingan antarpendukung capres, terutama di media sosial, tak jarang mengusung isu-isu sensitif, yakni menyangkut suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sentimen anti-Tionghoa termasuk yang digunakan untuk menyudutkan lawan politik.

Padahal semua tahu bahwa isu politik identitas seperti itu sangat berbahaya untuk dijadikan alat kampanye dalam merebut dukungan pemilih. Semua pihak perlu belajar dari pengalaman masa lalu, yaitu bangsa ini sesungguhnya memiliki pengalaman pahit berkaitan dengan isu identitas.

Kasus kerusuhan warga di Ambon, Poso, Sampit adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan. Semua itu tercatat sebagai bagian sejarah kelam bangsa Indonesia. Teramat disayangkan jika saat ini masih ada saja pihak yang menjadikan isu SARA sebagai dagangan politik. Untuk itu momentum perayaan Imlek termasuk sarana efektif untuk menggugah kembali kesadaran anak bangsa agar selalu merajut kebinekaan dan memperkokoh persatuan.

Semangat kebinekaan memang perlu terus-menerus dipupuk, digaungkan di tengah kenyataan bangsa ini yang “terlahir” plural. Pemerintah melalui Undang-Undang No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan memang telah menyatakan secara resmi bahwa etnik Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia sehingga secara yuridis formal etnik Tionghoa telah menjadi warga negara Indonesia.

Namun prasangka-prasangka terhadap etnik Tionghoa harus diakui masih tetap ada dan kerap mengeras seiring tibanya momentum politik seperti pilpres. Seharusnya sentimen seperti ini tak perlu ada mengingat etnik Tionghoa telah sekian lama berintegrasi menjadi bangsa Indonesia sebagaimana halnya etnik lain.

Etnik Tionghoa bahkan ikut berkontribusi dalam upaya negara ini dalam merebut kemerdekaan. Bisa jadi ini terjadi akibat pengetahuan-pengetahuan tentang etnik Tionghoa yang masih minim. Dalam konteks ini penting untuk terus memproduksi pengetahuan tentang Tionghoa, baik dari sisi sejarah, kebudayaan maupun kontribusi yang sudah diberikan kepada bangsa ini.

Diakui atau tidak, dalam pergaulan di masyarakat masih ada kesan bahwa etnik Tionghoa eksklusif, elitis dengan pergaulan yang terbatas. Bisa jadi laku seperti itu dipicu perasaan bahwa selama ini ada perlakuan diskriminatif yang dialami.
Untuk itu melalui semangat perayaan Imlek diharapkan lahir hal-hal positif dalam upaya pembaruan hubungan etnik Tionghoa dengan etnik non-Tionghoa di Tanah Air. Sekat psikologis seharusnya dihilangkan. Semua pihak harus berani melawan polarisasi yang sengaja diciptakan untuk kepentingan politik jangka pendek seperti pilpres.

Harus ada keyakinan dari seluruh komponen bangsa bahwa kemajuan hanya bisa diperoleh dengan jalan bekerja sama, bahu-membahu tanpa perlu memandang etnik, agama, dan golongan. Kemajemukan yang ada justru seharusnya jadi modal kuat bagi bangsa ini untuk mengarungi berbagai tantangan dan memenangi kompetisi global.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7926 seconds (0.1#10.140)