Menggerus Kepercayaan Masyarakat ke pada Pemerintah Daerah
A
A
A
Ayu Yuriska Mahasiswa FISIP Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
KASUS korupsi menjadi persoalan yang tiada habisnya untuk diperbincangkan. Sederet nama kepala daerah kini bergantian tersandung kasus korupsi. Mereka yang awalnya dielu-elukan ketika kampanye pilkada akhirnya harus terseret dalam kasus korupsi dan membuat mereka akhirnya mendekam di penjara. Mereka yang seharusnya menjadi contoh bagi para aparatur sipil negara (ASN) dan masyarakat justru melakukan pelanggaran yang tentu banyak menimbulkan kerugian, bukan hanya menyebabkan tercorengnya nama baik daerah, lebih jauh lagi menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat pada birokrasi.
Sumpah dan janji yang dulunya mereka ucapkan sebagai kepala daerah seolah tidak lagi berarti ketika tampuk kekuasaan telah diraih. Hal ini membuat masyarakat miris. Kepala daerah yang melakukan tindak korupsi seolah tidak merasa takut untuk melakukan perbuatan tercela tersebut meskipun mereka sadar bahwa sesungguhnya mereka berada dalam pengawasan aparat penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di antara penyebab banyak kepala daerah melakukan korupsi adalah seperti yang telah dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yaitu karena adanya dorongan hidup mewah serta ongkos politik yang mahal.
Kontestasi pilkada tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Anehnya meskipun ongkos politik cukup mahal, hal tersebut tidak menyurutkan semangat masyarakat dan politisi untuk mencalonkan diri. Hal ini menjadi sesuatu yang janggal jika kemudian dilihat dari perhitungan biaya yang telah dikeluarkan untuk menjadi kepala daerah dengan kemungkinan gaji yang diperoleh tentu cukup jauh. Namun tampaknya hal tersebut bisa dibantah ketika kita melihat mewabahnya kasus korupsi kepala daerah. Ketidakseimbangan antara biaya yang dikeluarkan dan perolehan gaji yang diterima ternyata dapat ditutupi dengan berbagai proyek yang dapat mengahasilkan uang serta berbagai gratifikasi yang kemudian dapat menjurus pada tindak pidana korupsi.
Para pejabat publik yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakatnya dengan menerapkan budaya hidup sederhana justru makin memperlihatkan gaya hidup yang mewah sehingga menyebabkan semakin lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Pemerintah dalam hal ini tentu diharapkan benar-benar dapat menerapkan peraturan tentang pola hidup sederhana bagi seluruh pejabat negara dan aparatur sipil negara di seluruh Indonesia sehingga diharapkan kepala daerah mampu menjadi panutan bagi perangkatnya di daerah serta masyarakatnya.
Masyarakat tentu berperan penting dalam upaya pengawasan para pejabat daerah dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Menjelang pemilu presiden, tentu kita menunggu kedua pasangan capres dan cawapres untuk merumuskan strategi bagaimana kasus korupsi dapat diatasi. Ketika kasus korupsi kepala daerah diminimalkan, hal ini mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap para pejabat publik.
KASUS korupsi menjadi persoalan yang tiada habisnya untuk diperbincangkan. Sederet nama kepala daerah kini bergantian tersandung kasus korupsi. Mereka yang awalnya dielu-elukan ketika kampanye pilkada akhirnya harus terseret dalam kasus korupsi dan membuat mereka akhirnya mendekam di penjara. Mereka yang seharusnya menjadi contoh bagi para aparatur sipil negara (ASN) dan masyarakat justru melakukan pelanggaran yang tentu banyak menimbulkan kerugian, bukan hanya menyebabkan tercorengnya nama baik daerah, lebih jauh lagi menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat pada birokrasi.
Sumpah dan janji yang dulunya mereka ucapkan sebagai kepala daerah seolah tidak lagi berarti ketika tampuk kekuasaan telah diraih. Hal ini membuat masyarakat miris. Kepala daerah yang melakukan tindak korupsi seolah tidak merasa takut untuk melakukan perbuatan tercela tersebut meskipun mereka sadar bahwa sesungguhnya mereka berada dalam pengawasan aparat penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di antara penyebab banyak kepala daerah melakukan korupsi adalah seperti yang telah dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yaitu karena adanya dorongan hidup mewah serta ongkos politik yang mahal.
Kontestasi pilkada tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Anehnya meskipun ongkos politik cukup mahal, hal tersebut tidak menyurutkan semangat masyarakat dan politisi untuk mencalonkan diri. Hal ini menjadi sesuatu yang janggal jika kemudian dilihat dari perhitungan biaya yang telah dikeluarkan untuk menjadi kepala daerah dengan kemungkinan gaji yang diperoleh tentu cukup jauh. Namun tampaknya hal tersebut bisa dibantah ketika kita melihat mewabahnya kasus korupsi kepala daerah. Ketidakseimbangan antara biaya yang dikeluarkan dan perolehan gaji yang diterima ternyata dapat ditutupi dengan berbagai proyek yang dapat mengahasilkan uang serta berbagai gratifikasi yang kemudian dapat menjurus pada tindak pidana korupsi.
Para pejabat publik yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakatnya dengan menerapkan budaya hidup sederhana justru makin memperlihatkan gaya hidup yang mewah sehingga menyebabkan semakin lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Pemerintah dalam hal ini tentu diharapkan benar-benar dapat menerapkan peraturan tentang pola hidup sederhana bagi seluruh pejabat negara dan aparatur sipil negara di seluruh Indonesia sehingga diharapkan kepala daerah mampu menjadi panutan bagi perangkatnya di daerah serta masyarakatnya.
Masyarakat tentu berperan penting dalam upaya pengawasan para pejabat daerah dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Menjelang pemilu presiden, tentu kita menunggu kedua pasangan capres dan cawapres untuk merumuskan strategi bagaimana kasus korupsi dapat diatasi. Ketika kasus korupsi kepala daerah diminimalkan, hal ini mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap para pejabat publik.
(mhd)