Agama dan Kontestasi Pilpres
A
A
A
Mei SusantoDosen Hukum Tata Negara FH Unpad Bandung
UNDANGAN tes baca Alquran kepada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dilayangkan Ikatan Dai Aceh di pengujung 2018 lalu menjadi diskursus yang menarik untuk dicermati. Tak lain tak bukan karena muncul paradoks yang ditampilkan oleh dua pasangan calon yang sedang berkontestasi. Pasangan Prabowo-Sandi yang mendapatkan dukungan kelompok Islam melalui Ijtima Ulama II sehingga acapkali menggunakan wacana keagamaan (baca Islam) tentu diharapkan akan dapat dengan mudah memenuhi undangan tersebut. Namun, tak disangka pasangan tersebut tidak langsung menyanggupinya. Hal sebaliknya ditunjukkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang menyanggupi undangan tersebut, padahal selama ini Jokowi selaku petahana diserang isu yang meragukan sisi keagamaannya.
Paradoks tersebut seolah menjadi satu sekuel drama dalam relasi agama dan negara di Indonesia. Tak sedikit yang berpandangan bahwa negara harus dijauhkan dari agama. Apalagi dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres), isu keagamaan adalah isu primordial yang tak layak disajikan. Namun, sebaliknya tak sedikit juga yang berpandangan negara Indonesia tak dapat dilepaskan dari pranata keagamaan karena hal tersebut merupakan pengimplementasian Sila Pertama Pancasila "Ke-Tuhanan Yang Maha Esa". Menjadi pertanyaan, bagaimana sebenarnya agama dan kontestasi pilpres ini dapat beriring sejalan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia?
Relasi Agama dan Negara di IndonesiaRelasi agama dan negara di Indonesia sangatlah unik. Disebut negara agama tidak tepat, namun menyebut negara tanpa agama (dalam artian sekuler) juga tidak tepat. Dalam salah satu diskusi di Bandung pada 2016, ahli ketatanegaraan Bagir Manan menyebut Indonesia adalah negara berke-tuhanan. Artinya, Indonesia sebagai negara secara formal bukanlah negara agama, namun secara subtansi, nilai-nilai keagamaan dapat menjadi sumber kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konteks negara berketuhanan tersebut adalah resultante perdebatan sengit antara faksi nasionalis-sekuler dan faksi nasionalis-Islam dalam sidang BPUPKI tahun 1945 (Hamdan Zoelva, 2016). Faksi nasionalis-Islam menghendaki negara berdasarkan agama, sementara faksi nasionalis-sekuler tak menghendakinya dan bekeinginan agar negara dipisahkan dari urusan-urusan agama. Perdebatan yang kemudian diakhiri dengan kesepakatan yang dinamakan "Piagam Jakarta" oleh Yamin, atau "Gentlemen’s Agreement" oleh Sukiman, atau oleh Soekarno disebut "Mukaddimah" yang kemudian menjadi rancangan Pembukaan UUD 1945 pada 22 Juni 1945 (AB Kusumah, 2009). Rancangan Pembukaan tersebut sejatinya masih mengandung anak kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" yang kemudian dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 dihapuskan karena adanya aspirasi rakyat Indonesia Timur sehingga diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Sampai di situ, maka dari perspektif sejarah, hubungan agama dan negara di Indonesia tak dapat dipisahkan begitu saja. Perdebatan agama dan negara telah selesai oleh para founding fathers dengan menyebut Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai jalan tengah dan pemersatu bukan alat pemecah belah. Karenanya, dalam perspektif kekinian, memperdebatkan relasi agama dan negara seolah mengulang perdebatan yang telah usai tersebut. Bahkan, dapat saja perdebatan tersebut justru kontraproduktif dan berujung pada keretakan rasa kebangsaan.
Kontestasi Pemilihan PresidenFakta bahwa negara Indonesia adalah negara berketuhanan tak pelak lagi membuat setiap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara akan selalu saja dipengaruhi faktor keagamaan. Karena itu, wajar jika kemudian dalam kontestasi politik terbesar di Indonesia yakni pilpres faktor dan isu agama akan menjadi salah satu pertimbangan. Hal tersebut terbukti, saat calon petahana Joko Widodo harus menggaet KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres karena posisinya sebagai Ketua Umum MUI dan juga Rais AM PBNU. Karena itu pula, undangan tes baca Al-Quran sejatinya adalah hal yang lumrah dan biasa saja karena faktor tersebut. Negara, agama dan politik adalah hal yang pasti sulit dipisahkan di dalam negara yang berketuhanan seperti Indonesia. Namun demikian, hal tersebut harus dikelola dengan rasional, proporsional dan bijak.
Secara lebih subtantif, tes baca Alquran sebenarnya tidaklah cukup. Idealnya dalam kontestasi pemilihan presiden, para calon harus mampu mengungkapkan gagasan dan solusi atas persoalan implementasi kebijakan keagamaan yang saat ini muncul. Peran Kementerian Agama sebagai ciri utama negara berketuhanan (bandingkan dengan negara sekuler yang tidak memiliki lembaga negara yang khusus mengurusi soal agama), serta kementerian-kementerian lainnya harus diperjelas dan dipertegas untuk menyelesaikan problem relasi baik intern keagamaan maupun antaragama di Indonesia, yang secara realitas sosial-politik acap kali bersinggungan.
Persoalan yang tidak terlalu sensitif terkait kebijakan agama dan negara seperti ekonomi dan perbankan syariah, jaminan produk halal, zakat, haji dan umroh, hari raya keagamaan dan lain sebagainya, sampai kebijakan yang sensitif misalnya kebebasan mendirikan rumah ibadah, Perda keagamaan (baca Perda Syariah/Perda Injil), pidana perzinahan dan LGBT dalam RKUHP dan lain-lain, idealnya menjadi salah satu materi yang diperdebatkan, sehingga memperjelas konsep negara Indonesia berdasarkan Pancasila yang berketuhanan itu. Salah satu contoh konkretnya adalah adanya perintah Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Nomor 56/PUU-XV/2017 tentang pengujian UU 1/PNPS/1965 soal penodaan agama yang tetap diakui karena konteks negara berketuhanan, namun harus direvisi agar tidak multitafsir dan ketidakadilan, namun belum disentuh oleh kandidat capres dan cawapres termasuk para calon legislator.
Sayangnya persoalan-persoalan tersebut tidak ditangkap secara baik oleh penyelenggara pemilu. Padahal, persoalan tersebut idealnya menjadi salah satu wacana yang mampu didiskusikan oleh para kandidat sehingga menjadi solusi terhadap perdebatan masyarakat di tingkat bawah. Dari lima debat yang akan dilakukan, tidak ada yang spesifik berbicara mengenai persoalan keagamaan. Debat yang ada di antaranya (1) Hukum, HAM, Korupsi dan Terorisme; (2) Energi dan Pangan, SDA dan lingkungan hidup, infrastruktur; (3) Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaa, Sosial dan Kebudayaan; (4) Ideologi, Pemerintahan, Hankam, Hubungan Internasional; (5) Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Keuangan dan Investasi, Perdagangan dan Industri.Persoalan agama sudah seharusnya diangkat dan diselesaikan, bukan dibiarkan dengan dalih sensitif. Karena walau bagaimanapun, nilai kebangsaan Indonesia didirikan atas kebhinekaan, salah satunya adalah agama yang menjadi identitas konstitusional. Dengan demikian, konteks negara berketuhanan Indonesia semakin jelas dan bahkan dapat menjadi contoh negara yang dapat mengelola keberagaman dengan faktor keagamaan yang dominan.
UNDANGAN tes baca Alquran kepada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dilayangkan Ikatan Dai Aceh di pengujung 2018 lalu menjadi diskursus yang menarik untuk dicermati. Tak lain tak bukan karena muncul paradoks yang ditampilkan oleh dua pasangan calon yang sedang berkontestasi. Pasangan Prabowo-Sandi yang mendapatkan dukungan kelompok Islam melalui Ijtima Ulama II sehingga acapkali menggunakan wacana keagamaan (baca Islam) tentu diharapkan akan dapat dengan mudah memenuhi undangan tersebut. Namun, tak disangka pasangan tersebut tidak langsung menyanggupinya. Hal sebaliknya ditunjukkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang menyanggupi undangan tersebut, padahal selama ini Jokowi selaku petahana diserang isu yang meragukan sisi keagamaannya.
Paradoks tersebut seolah menjadi satu sekuel drama dalam relasi agama dan negara di Indonesia. Tak sedikit yang berpandangan bahwa negara harus dijauhkan dari agama. Apalagi dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres), isu keagamaan adalah isu primordial yang tak layak disajikan. Namun, sebaliknya tak sedikit juga yang berpandangan negara Indonesia tak dapat dilepaskan dari pranata keagamaan karena hal tersebut merupakan pengimplementasian Sila Pertama Pancasila "Ke-Tuhanan Yang Maha Esa". Menjadi pertanyaan, bagaimana sebenarnya agama dan kontestasi pilpres ini dapat beriring sejalan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia?
Relasi Agama dan Negara di IndonesiaRelasi agama dan negara di Indonesia sangatlah unik. Disebut negara agama tidak tepat, namun menyebut negara tanpa agama (dalam artian sekuler) juga tidak tepat. Dalam salah satu diskusi di Bandung pada 2016, ahli ketatanegaraan Bagir Manan menyebut Indonesia adalah negara berke-tuhanan. Artinya, Indonesia sebagai negara secara formal bukanlah negara agama, namun secara subtansi, nilai-nilai keagamaan dapat menjadi sumber kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konteks negara berketuhanan tersebut adalah resultante perdebatan sengit antara faksi nasionalis-sekuler dan faksi nasionalis-Islam dalam sidang BPUPKI tahun 1945 (Hamdan Zoelva, 2016). Faksi nasionalis-Islam menghendaki negara berdasarkan agama, sementara faksi nasionalis-sekuler tak menghendakinya dan bekeinginan agar negara dipisahkan dari urusan-urusan agama. Perdebatan yang kemudian diakhiri dengan kesepakatan yang dinamakan "Piagam Jakarta" oleh Yamin, atau "Gentlemen’s Agreement" oleh Sukiman, atau oleh Soekarno disebut "Mukaddimah" yang kemudian menjadi rancangan Pembukaan UUD 1945 pada 22 Juni 1945 (AB Kusumah, 2009). Rancangan Pembukaan tersebut sejatinya masih mengandung anak kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" yang kemudian dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 dihapuskan karena adanya aspirasi rakyat Indonesia Timur sehingga diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Sampai di situ, maka dari perspektif sejarah, hubungan agama dan negara di Indonesia tak dapat dipisahkan begitu saja. Perdebatan agama dan negara telah selesai oleh para founding fathers dengan menyebut Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai jalan tengah dan pemersatu bukan alat pemecah belah. Karenanya, dalam perspektif kekinian, memperdebatkan relasi agama dan negara seolah mengulang perdebatan yang telah usai tersebut. Bahkan, dapat saja perdebatan tersebut justru kontraproduktif dan berujung pada keretakan rasa kebangsaan.
Kontestasi Pemilihan PresidenFakta bahwa negara Indonesia adalah negara berketuhanan tak pelak lagi membuat setiap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara akan selalu saja dipengaruhi faktor keagamaan. Karena itu, wajar jika kemudian dalam kontestasi politik terbesar di Indonesia yakni pilpres faktor dan isu agama akan menjadi salah satu pertimbangan. Hal tersebut terbukti, saat calon petahana Joko Widodo harus menggaet KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres karena posisinya sebagai Ketua Umum MUI dan juga Rais AM PBNU. Karena itu pula, undangan tes baca Al-Quran sejatinya adalah hal yang lumrah dan biasa saja karena faktor tersebut. Negara, agama dan politik adalah hal yang pasti sulit dipisahkan di dalam negara yang berketuhanan seperti Indonesia. Namun demikian, hal tersebut harus dikelola dengan rasional, proporsional dan bijak.
Secara lebih subtantif, tes baca Alquran sebenarnya tidaklah cukup. Idealnya dalam kontestasi pemilihan presiden, para calon harus mampu mengungkapkan gagasan dan solusi atas persoalan implementasi kebijakan keagamaan yang saat ini muncul. Peran Kementerian Agama sebagai ciri utama negara berketuhanan (bandingkan dengan negara sekuler yang tidak memiliki lembaga negara yang khusus mengurusi soal agama), serta kementerian-kementerian lainnya harus diperjelas dan dipertegas untuk menyelesaikan problem relasi baik intern keagamaan maupun antaragama di Indonesia, yang secara realitas sosial-politik acap kali bersinggungan.
Persoalan yang tidak terlalu sensitif terkait kebijakan agama dan negara seperti ekonomi dan perbankan syariah, jaminan produk halal, zakat, haji dan umroh, hari raya keagamaan dan lain sebagainya, sampai kebijakan yang sensitif misalnya kebebasan mendirikan rumah ibadah, Perda keagamaan (baca Perda Syariah/Perda Injil), pidana perzinahan dan LGBT dalam RKUHP dan lain-lain, idealnya menjadi salah satu materi yang diperdebatkan, sehingga memperjelas konsep negara Indonesia berdasarkan Pancasila yang berketuhanan itu. Salah satu contoh konkretnya adalah adanya perintah Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Nomor 56/PUU-XV/2017 tentang pengujian UU 1/PNPS/1965 soal penodaan agama yang tetap diakui karena konteks negara berketuhanan, namun harus direvisi agar tidak multitafsir dan ketidakadilan, namun belum disentuh oleh kandidat capres dan cawapres termasuk para calon legislator.
Sayangnya persoalan-persoalan tersebut tidak ditangkap secara baik oleh penyelenggara pemilu. Padahal, persoalan tersebut idealnya menjadi salah satu wacana yang mampu didiskusikan oleh para kandidat sehingga menjadi solusi terhadap perdebatan masyarakat di tingkat bawah. Dari lima debat yang akan dilakukan, tidak ada yang spesifik berbicara mengenai persoalan keagamaan. Debat yang ada di antaranya (1) Hukum, HAM, Korupsi dan Terorisme; (2) Energi dan Pangan, SDA dan lingkungan hidup, infrastruktur; (3) Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaa, Sosial dan Kebudayaan; (4) Ideologi, Pemerintahan, Hankam, Hubungan Internasional; (5) Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Keuangan dan Investasi, Perdagangan dan Industri.Persoalan agama sudah seharusnya diangkat dan diselesaikan, bukan dibiarkan dengan dalih sensitif. Karena walau bagaimanapun, nilai kebangsaan Indonesia didirikan atas kebhinekaan, salah satunya adalah agama yang menjadi identitas konstitusional. Dengan demikian, konteks negara berketuhanan Indonesia semakin jelas dan bahkan dapat menjadi contoh negara yang dapat mengelola keberagaman dengan faktor keagamaan yang dominan.
(mhd)