Pendidikan Tak Berkemaknaan

Kamis, 31 Januari 2019 - 05:33 WIB
Pendidikan Tak Berkemaknaan
Pendidikan Tak Berkemaknaan
A A A
R Mustofa

Pengajar Civics Education di Universitas NU Surabaya dan

Peneliti Jatim Institute

JIKA mencermati tulisan-tulisan Cak Nur (Nurcholis Madjid) yang berkaitan dengan pendidikan, tesisnya menyatakan bahwa pendidikan menjadi faktor determinan untuk membangun bangsa. Rasanya ini sulit dibantah karena pendidikan yang mengubah pola pikir manusia yang awalnya konservatif tertutup menjadi modern dan terbuka. Kemajuan suatu bangsa membutuhkan pola pikir terbuka terhadap perkembangan zaman, bukan yang tertutup alih-alih defensif. Kita bisa melihat negara-negara maju (superpower) dengan kemajuan sainsnya.

Pendidikan yang membuat manusia semula tidak tahu menjadi tahu karena pendidikan manusia tidak beradab menjadi beradab. Pendidikan yang menentukan kemajuan bangsa. Karena itu, tidak berlebihan jika Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus mengatakan dulu sumber utama kekayaan adalah tambang emas, minyak, dan gandum. Saat ini sumber utama kekayaan adalah ilmu pengetahuan. Faktanya bisa dilihat dewasa ini ilmu pengetahuan mengendalikan dunia. Seperti Jack Ma Yun dari Alibaba Group yang mencetak rekor dunia, perusahaannya bisa menghasilkan keuntungan triliunan dalam hitungan menit.

Substansi Vs Administrasi

Untuk menghasilkan peserta didik cerdas dibutuhkan guru yang cerdas pula. Artinya, kualitas guru tidak bisa ditawar jika kita mengidamkan output yang cerdas. Sejenak kita mengintip pendidikan di Singapura, negara yang menurut survei PISA dan OECD (Reading, Mathematics, science) dinobatkan memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia melampaui negara-negara di Amerika dan Eropa. Menurut laporan The Economist, siswa lulusan dari sekolah Singapura banyak ditemukan atau tersebar di universitas-universitas terbaik di dunia. Bahkan, siswa di Singapura lebih bahagia daripada siswa di Finlandia yang selalu mendapatkan indeks kebahagiaan tertinggi.

Pendidikan di Singapura sangat memperhatikan kualitas guru, kementerian pendidikan, dan jajarannya selalu fokus pada pengembangan guru yang unggul. Guru di Singapura diberi pelatihan 100 jam dalam setahun untuk mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknik-teknik baru dalam mendidik. Pemerintah sangat memperhatikan gaji atau kesejahteraan guru, tidak seperti di Indonesia yang masih banyak guru digaji Rp250.000 per bulan. Pemerintah Singapura juga membuat program, yaitu guru terbaik mendapatkan bonus (reward) besar dari kementerian sebagai apresiasi atas kinerja dan kerja kerasnya. Namun, guru harus menjalani penilaian kinerja sangat ketat, bukan hanya administratif. Uniknya, Direktur Jenderal Kementerian mengetahui lebih dari 80% nama kepala sekolah. Artinya, pemerintah sangat serius membina para guru bukan hanya menjalankan tugas administratif dengan tumpukan kertas.

Sebenarnya Pemerintah Indonesia telah berupaya terus berikhtiar memperbaiki pendidikan. Program Profesi Guru (PPG), penyesuaian kurikulum, dan pelatihan-pelatihan peningkatan mutu kerap dilakukan. Meskipun hasilnya masih jauh panggang dari api karena tujuan filosofis tersebut “digagalkan” oleh pelaksana teknis di lapangan. Banyak yang tidak mengerti, kalau tidak dikatakan tidak mau mengerti, maksud dan tujuan program-program tersebut. Alhasil, substansinya tidak tersampaikan dan tidak diterima dengan baik, selain teknis dan adiministrasi yang tak bermakna. Kita lebih senang mengurusi hal-hal teknis dan administratif serta menihilkan substansi dan ide besarnya. Tidak jarang program dilaksanakan hanya untuk menghabiskan anggaran dan mendapatkan bayaran.

Tak Berkemaknaan

Sejatinya pendidikan menjadi solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat agar elan vital akademiknya menemukan relevansinya. Masalahnya, pendidikan gamang terhadap dinamika dan persoalan yang berkembang. Tidak sedikit peserta didik yang pandai di kelas hafal rumus dan teori justru gagap menghadapi realitas kehidupan. Jangankan peka dan responsif pendidikan, kita justru menjadi masalah terhadap persoalan yang ada. Mistisisme dan feodalisme tumbuh subur dalam dunia pendidikan. Sekolah mengajarkan jalan pintas dan “kepatuhan” yang berlebih akibatnya nalar kritis dibunuh secara sistematis.

Karakter yang diajarkan oleh sekolah tidak diinternalisasi, permasalahan moral seperti kekerasan, perilaku koruptif, indisipliner, dan sejenisnya, yang kerap ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Materi ditransfer tanpa kebermaknaan selain hafalan dan menghabiskan materi ajar. Peserta didik tidak diajak untuk berpikir secara kontekstual dan kritis. Mengutip yang disampaikan Prof Masdar Hilmi, terjadi keterbelahan epistemologis dalam dunia pendidikan, antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Konsep tentang benar di otak peserta didik, belum tentu tersambung dan terintegrasi ke dalam kesadaran mereka yang terinternalisasikan ke dalam laku keseharian mereka.

Pendidikan di perguruan tinggi tidak jauh berbeda, bahkan saat ini banyak yang menganggap kampus mati suri. Tuduhan kampus hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah tidak sepenuhnya salah jika tidak dikatakan benar. Akibatnya, kampus tidak lagi kritis terhadap persoalan bangsa-negara. Kampus menunjukkan wajah malu-malu ketika dihadapkan pada persoalan negara. Kampus tidak tegas mengatakan “tidak” meskipun bertentangan dengan nilai-nilai akademik. Padahal kampus adalah tumpuan keadaban dan kemajuan bangsa dengan sikap akademisnya yang kritis.

Ada kecenderungan para akademisi lebih mementingkan nilai-nilai pragmatis daripada nilai-nilai ilmu pengetahuan. Tri Dharma perguruan tinggi yang dilakukan lebih berorientasi pada formalitas belaka untuk menggugurkan tugas dan mendapat jabatan. Padahal akademisi adalah sekelompok orang yang dianggap mempunyai ilmu pengetahuan untuk kepentingan kemaslahatan bangsa. Pengajaran/pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat harus memberikan perubahan positif.

Tugas utama seorang akademisi adalah melakukan refleksi kritis dan mempertahankan nilai-nilai abstrak pada zamannya, seperti kebenaran, keadilan, dan rasio. Namun, realitasnya nilai-nilai tersebut semakin memudar selain hanya realisasi hasrat materi semata, yang banyak hanya sekumpulan dosen suka gaya-gayaan.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0729 seconds (0.1#10.140)