Kemandirian Digital
A
A
A
Empat perusahaan rintisan atau startup Indonesia, Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka, mendapat kucuran dana dari investor asing. Ada sisi yang membuat kita sebagai bangsa Indonesia bangga karena ada perusahaan digital di Tanah Air mendapat perhatian khusus dari investor asing. Namun, di sisi lain kita pantas khawatir.
Kekhawatiran ini karena kita semua tidak mau bahwa unicorn-unicorn milik Indonesia tersebut dikuasai asing. Jika demikian, apakah masih ada kebanggaan kita sebagai bangsa tentang empat perusahaan digital asli Indonesia tersebut? Tentu tidak karena ketika mayoritas modal milik investor asing, maka kontrol akan di tangan asing.
Go-Jek dikabarkan menerima kucuran dana dari Google sebesar USD1,2 miliar. Hal ini menjadikan valuasi Go-Jek saat ini ditaksir mencapai USD4 miliar atau lebih dari Rp53 triliun. Sebelumnya Tokopedia mengumumkan mendapat pendanaan USD1,1 miliar atau setara dengan Rp14,7 triliun dari Alibaba Group. Tokopedia juga menerima pendanaan pada 2014 dari Softbank Japan dan Sequoia Capital senilai USD100 juta atau Rp1,3 triliun. Sementara Traveloka mendapatkan pendanaan dari perusahaan travel asal Amerika Serikat (AS), Expedia, pada Juni 2017 senilai USD350 juta atau sekitar Rp4,6 triliun.
Sebenarnya bukan soal kepemilikan asing saja yang membuat khawatir. Persoalan data juga menjadi kecemasan bangsa ini. Bahkan beberapa pakar mengatakan bahwa data is new oil. Sekarang data menjadi kekuatan untuk mengontrol dunia. Siapa yang bisa mengusai data, maka akan mampu mengusai dunia.
Seperti beberapa dekade sebelumnya, minyak menjadi primadona bangsa-bangsa. Siapa yang mampu mengusai minyak, akan menguasai dunia. Negara-negara Timur Tengah yang mempunyai sumber minyak bumi menjelma menjadi negara kaya raya. Rusia dan beberapa negara Amerika Selatan pun setali tiga uang. Indonesia pun sempat mengecap kejayaan ini ketika mampu mengekspor minyak. Bahkan di balik Perang Teluk juga disebut ada persaingan penguasaan sumber minyak. Nah, saat ini data bak minyak di beberapa dekade yang lalu.
Di dalam negeri isu penguasaan sumber daya alam oleh asing menjadi isu yang sensitif dan mengusik nasionalisme kita. Di era digital saat ini, data yang dianggap sebagai new oil memang mempunyai peran penting. Perusahaan digital menggunakan data sebagai bagian dari bisnis.
Maka, aset terbesar dari perusahaan digital adalah data. Bayangkan, Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka yang telah memiliki data pelanggan puluhan juta di Indonesia. Data ini adalah aset bagi mereka untuk terus mengembangkan bisnisnya. Jika nanti investor asing bisa mengontrol empat unicorn Indonesia tersebut, bukankah akan sama saja ketika sumber daya alam kita dikuasai asing seperti beberapa dekade yang lalu? Bukankah ini yang akan mengusik nasionalisme generasi penerus bangsa ini.
Memang pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menjamin investor asing tidak akan mengontrol perusahaan digital Tanah Air tersebut. Menurutnya, financial investor (uang saja) tersebut hanya memberikan dana dan tidak akan ikut campur soal manajemen perusahaan.
Dia memastikan tidak akan ada pengendalian dari asing karena para investor yang menanam modal di startup unicorn Indonesia tidak ada yang memiliki saham double digit , seluruhnya hanya single digit . Namun, apakah ada jaminan data yang dimiliki empat perusahaan digital tersebut tidak disedot atau di-copy paste oleh para investor? Jika berkaca pada pengalaman kita, mengendalikan perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia sepertinya akan sulit. Sebagaimana pemerintah masih sulit mengontrol Google, Facebook, Twitter, dan lainnya. Bukan hanya sulit menarik pajak dari mereka, meminta mereka meletakkan data centre di Indonesia juga sulit.
Kondisi ini yang membuat beberapa pihak khawatir tentang kemandirian digital Indonesia. Indonesia seolah hanya dijadikan pasar oleh asing tanpa bisa menikmati hasil secara maksimal. Ini yang semestinya menjadi perhatian pemerintah. Ketika saat ini aset-aset sumber daya alam bisa kembali dikuasai, maka kita berharap perusahaan digital asli Indonesia ini masih tetap benar-benar milik Indonesia dan tidak dikuasai asing. Tentu jika nanti dikuasai asing, maka akan mengoyak rasa nasionalisme Indonesia. Mewujudkan kemandirian digital akan membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Dan, pemerintah tentu mempunyai kemampuan untuk mewujudkan kemandirian digital.
Kekhawatiran ini karena kita semua tidak mau bahwa unicorn-unicorn milik Indonesia tersebut dikuasai asing. Jika demikian, apakah masih ada kebanggaan kita sebagai bangsa tentang empat perusahaan digital asli Indonesia tersebut? Tentu tidak karena ketika mayoritas modal milik investor asing, maka kontrol akan di tangan asing.
Go-Jek dikabarkan menerima kucuran dana dari Google sebesar USD1,2 miliar. Hal ini menjadikan valuasi Go-Jek saat ini ditaksir mencapai USD4 miliar atau lebih dari Rp53 triliun. Sebelumnya Tokopedia mengumumkan mendapat pendanaan USD1,1 miliar atau setara dengan Rp14,7 triliun dari Alibaba Group. Tokopedia juga menerima pendanaan pada 2014 dari Softbank Japan dan Sequoia Capital senilai USD100 juta atau Rp1,3 triliun. Sementara Traveloka mendapatkan pendanaan dari perusahaan travel asal Amerika Serikat (AS), Expedia, pada Juni 2017 senilai USD350 juta atau sekitar Rp4,6 triliun.
Sebenarnya bukan soal kepemilikan asing saja yang membuat khawatir. Persoalan data juga menjadi kecemasan bangsa ini. Bahkan beberapa pakar mengatakan bahwa data is new oil. Sekarang data menjadi kekuatan untuk mengontrol dunia. Siapa yang bisa mengusai data, maka akan mampu mengusai dunia.
Seperti beberapa dekade sebelumnya, minyak menjadi primadona bangsa-bangsa. Siapa yang mampu mengusai minyak, akan menguasai dunia. Negara-negara Timur Tengah yang mempunyai sumber minyak bumi menjelma menjadi negara kaya raya. Rusia dan beberapa negara Amerika Selatan pun setali tiga uang. Indonesia pun sempat mengecap kejayaan ini ketika mampu mengekspor minyak. Bahkan di balik Perang Teluk juga disebut ada persaingan penguasaan sumber minyak. Nah, saat ini data bak minyak di beberapa dekade yang lalu.
Di dalam negeri isu penguasaan sumber daya alam oleh asing menjadi isu yang sensitif dan mengusik nasionalisme kita. Di era digital saat ini, data yang dianggap sebagai new oil memang mempunyai peran penting. Perusahaan digital menggunakan data sebagai bagian dari bisnis.
Maka, aset terbesar dari perusahaan digital adalah data. Bayangkan, Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka yang telah memiliki data pelanggan puluhan juta di Indonesia. Data ini adalah aset bagi mereka untuk terus mengembangkan bisnisnya. Jika nanti investor asing bisa mengontrol empat unicorn Indonesia tersebut, bukankah akan sama saja ketika sumber daya alam kita dikuasai asing seperti beberapa dekade yang lalu? Bukankah ini yang akan mengusik nasionalisme generasi penerus bangsa ini.
Memang pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menjamin investor asing tidak akan mengontrol perusahaan digital Tanah Air tersebut. Menurutnya, financial investor (uang saja) tersebut hanya memberikan dana dan tidak akan ikut campur soal manajemen perusahaan.
Dia memastikan tidak akan ada pengendalian dari asing karena para investor yang menanam modal di startup unicorn Indonesia tidak ada yang memiliki saham double digit , seluruhnya hanya single digit . Namun, apakah ada jaminan data yang dimiliki empat perusahaan digital tersebut tidak disedot atau di-copy paste oleh para investor? Jika berkaca pada pengalaman kita, mengendalikan perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia sepertinya akan sulit. Sebagaimana pemerintah masih sulit mengontrol Google, Facebook, Twitter, dan lainnya. Bukan hanya sulit menarik pajak dari mereka, meminta mereka meletakkan data centre di Indonesia juga sulit.
Kondisi ini yang membuat beberapa pihak khawatir tentang kemandirian digital Indonesia. Indonesia seolah hanya dijadikan pasar oleh asing tanpa bisa menikmati hasil secara maksimal. Ini yang semestinya menjadi perhatian pemerintah. Ketika saat ini aset-aset sumber daya alam bisa kembali dikuasai, maka kita berharap perusahaan digital asli Indonesia ini masih tetap benar-benar milik Indonesia dan tidak dikuasai asing. Tentu jika nanti dikuasai asing, maka akan mengoyak rasa nasionalisme Indonesia. Mewujudkan kemandirian digital akan membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Dan, pemerintah tentu mempunyai kemampuan untuk mewujudkan kemandirian digital.
(nag)