Campur Tangan Asing di Venezuela
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
AMERIKA Serikat (AS), Uni Eropa dan beberapa negara Amerika Latin telah menyatakan menolak kepemimpinan presiden terpilih Nicolas Maduro dan mengakui Juan Guaido sebagai presiden sementara Venezuela. Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB mengecam pernyataan itu sebagai campur tangan asing dan lebih mendorong proses dialog di antara para kelompok yang berselisih.
Mengapa negara-negara Barat terus mengulangi perbuatan yang sama dari tahun ke tahun, dari satu negara ke negara lainnya? Sejarah telah bercerita bahwa tidak akan ada manfaat dari perubahan rezim yang dipaksakan dari luar.
Intervensi Barat di Irak, Afghanistan, Libia, dan Suriah adalah contoh-contoh yang masih segar dalam sepuluh tahun terakhir ini. Pemerintahan yang lahir dari intervensi Barat hingga saat ini masih tidak stabil.
Konflik antarkelompok terus lahir dan telah mengorbankan ratusan bahkan jutaan masyarakat tidak berdosa. Jutaan warga yang mencari selamat dan berhasil tiba di daratan Eropa, akhirnya juga menjadi target persekusi diskriminasi ras dari warga setempat.
Kita memahami bahwa yang terjadi di Venezuela adalah krisis politik dan ekonomi yang sangat kompleks. Krisis berawal ketika Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez memimpin Venezuela.
Pada awalnya, sikap politik ekonomi Chavez adalah moderat. Ia masih merekrut anggota dari berbagai partai dalam kabinetnya, dari yang berideologi konservatif hingga liberal.
Namun demikian, ia merasa bahwa tidak ada banyak perubahan yang dilakukan pada periode pertama hingga ia kemudian mencoba untuk memperkuat negara dalam mengontrol sumber-sumber ekonomi. Periode kedua kepemimpinannya pada 2001–2007, ia mencoba menguasai kembali sumber-sumber daya alam terutama minyak bumi.
Tindakannya tersebut membuat marah kelompok-kelompok kepentingan negara-negara Barat yang dalam sejarahnya telah banyak menguasai sumber daya alam di Venezuela. Amerika Serikat kemudian mencoba untuk melakukan sebuah rencana kudeta pada 2002.
Pedro Carmona dilantik menjadi presiden Venezuela dan diakui oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa pada 12 April 2002. Namun demikian, kudeta itu gagal dan hanya berumur satu hari karena ratusan ribu pendukung Chavez datang ke istana untuk memberikan dukungan. Chavez akhirnya “dikembalikan lagi” ke istana setelah sempat ditahan satu malam di sebuah tempat yang dirahasiakan.
Negeri yang sangat bergantung pada minyak dunia ini mengalami pasang-surut ekonomi seiring dengan turun naiknya harga minyak di pasar dunia. Chavez berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan program-program pendidikan, kesehatan, dan fasilitas publik lain, tetapi mengorbankan kesinambungan ekonomi akibat nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Chavez menasionalisasi pabrik-pabrik semen dan baja, juga beberapa perusahaan distribusi susu dan daging pada 2008. Ia menasionalisasi aset terkait minyak (termasuk aset yang dimiliki oleh perusahaan jasa minyak AS), bahan kimia, pariwisata, agrobisnis (termasuk tanaman padi olahan yang dimiliki oleh perusahaan AS), ritel, dan industri perbankan.
Presiden Chavez juga memutuskan untuk memindahkan semua aset cadangan internasional Venezuela yang disimpan di lembaga keuangan AS dan Eropa. Cadangan itu termasuk 211 ton emas untuk yang ditransfer ke Bank Sentral Venezuela dan USD6,28 miliar cadangan tunai untuk ditransfer ke bank-bank di Brasil, China, dan Rusia.
Langkah-langkah tersebut di satu sisi memenuhi program-program populisnya, tetapi di sisi lain menghancurkan kredibilitas Venezuela di mata para investor. Para investor enggan berinvestasi karena khawatir akan dinasionalisasi.
Keengganan ini menyebabkan lapangan ekonomi di Venezuela tidak berkembang sehingga tidak terciptanya lapangan pekerjaan yang signifikan. Akibatnya semakin tinggi pula angka pengangguran.
Langkah-langkah tersebut juga tidak populis di mana negara-negara Barat. Mereka memandang bahwa Chavez tentang mengampanyekan ekonomi sosialisme di kawasan Amerika Latin.
Langkah tersebut dipandang mengancam hegemoni negara-negara Barat di kawasan. Upaya-upaya delegitimasi terhadap pemerintahan Chavez di Venezuela dilakukan melalui berbagai sarana seperti melalui Persatuan Negara-Negara Amerika Latin serta lembaga-lembaga HAM.
Maduro kemudian menjadi presiden Venezuela menggantikan Chavez yang meninggal pada 2013. Maduro menerima warisan struktur ekonomi yang kritis dan bermasalah.
Krisis ekonomi tersebut semakin bermasalah ketika Presiden AS Barack Obama mengeluarkan executive order 1369 tahun 2015, yang isinya menggolongkan Venezuela sebagai ancaman terhadap keamanan nasional AS. Paman Sam terus memberikan sanksi ekonomi kepada Venezuela, yang juga diikuti oleh beberapa negara Eropa.
Sanksi ekonomi tersebut memukul perekonomian yang sudah kritis tersebut. Pelapor Khusus PBB untuk Venezuela, Alfred de Zayas, mengatakan bahwa sanksi AS terhadap Venezuela adalah ilegal dan dapat dikaitkan dengan “kejahatan kemanusiaan” menurut hukum internasional.
Ia mengatakan bahwa sanksi itu membunuh masyarakat miskin. Mereka adalah kelompok pertama yang menjadi korban karena kekurangan makanan, kekurangan gizi, obat-obatan akibat blokade impor barang-barang konsumsi termasuk makanan dan obat-obatan.
Sanksi itu semakin memperparah keadaan. Masyarakat yang frustrasi melahirkan gelombang protes dan meningkatnya perlawanan terhadap pemerintah.
Puncaknya adalah ketika Ketua DPR Venezuela Juan Gudio mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden sementara Venezuela pada 23 Januari 2019. Pengangkatan diri itu diterima dan diakui oleh AS, Kanada, negara-negara Eropa, beberapa negara Amerika Latin, dan terakhir Israel.
Pengakuan Barat kepada Gudio ini cukup ironis. Di satu sisi, negara-negara Barat menolak Maduro yang terpilih secara konstitusional melalui pemilihan umum dan dianggap sebagai orang yang tidak demokratis, tetapi di sisi lain menerima Gudio yang mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden sementara tanpa melewati mekanisme demokrasi apa pun.
Kepentingan AS dan sekutunya juga semakin jelas motivasinya untuk intervensi ke masalah dalam negeri Venezuela, setelah Presiden AS Donald Trump mengangkat Elliot Abrams sebagai utusan khusus AS untuk Venezuela (special envoy) pada Jumat pekan lalu.
Nama Elliot Abrams terkenal sebagai tokoh neokonservatif yang memiliki gaya diplomasi sama seperti John Bolton yang pragmatis-realis. Mereka tidak peduli dengan hukum internasional dan selalu mengutamakan kepentingan AS di atas kepentingan negara-negara lain.
Elliot pernah terkait dengan penjualan senjata ke Iran sebagai kompensasi dibebaskannya 53 tahanan AS menjelang pemungutan suara yang akhirnya dimenangkan oleh Ronald Reagan. Ia mengaku bersalah atas dua tuduhan pelanggaran karena menyembunyikan informasi dari Kongres tentang upaya rahasia untuk membantu para pemberontak Nikaragua, tetapi Presiden George HW Bush memaafkannya pada tahun berikutnya.
Singkat kata, campur tangan yang dilakukan oleh Barat terhadap lawan-lawan politik mereka di dunia masih cukup kuat. Indonesia memiliki posisi yang baik sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk mengkritik negara-negara tersebut dan meminta kembali mereka untuk menghormati hukum internasional.
Indonesia tidak dapat membiarkan diskriminasi dan persekusi itu terjadi kepada sebuah negara yang berdaulat, karena apabila kita membiarkannya maka tidak tertutup kemungkinan melakukannya kepada kita.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
AMERIKA Serikat (AS), Uni Eropa dan beberapa negara Amerika Latin telah menyatakan menolak kepemimpinan presiden terpilih Nicolas Maduro dan mengakui Juan Guaido sebagai presiden sementara Venezuela. Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB mengecam pernyataan itu sebagai campur tangan asing dan lebih mendorong proses dialog di antara para kelompok yang berselisih.
Mengapa negara-negara Barat terus mengulangi perbuatan yang sama dari tahun ke tahun, dari satu negara ke negara lainnya? Sejarah telah bercerita bahwa tidak akan ada manfaat dari perubahan rezim yang dipaksakan dari luar.
Intervensi Barat di Irak, Afghanistan, Libia, dan Suriah adalah contoh-contoh yang masih segar dalam sepuluh tahun terakhir ini. Pemerintahan yang lahir dari intervensi Barat hingga saat ini masih tidak stabil.
Konflik antarkelompok terus lahir dan telah mengorbankan ratusan bahkan jutaan masyarakat tidak berdosa. Jutaan warga yang mencari selamat dan berhasil tiba di daratan Eropa, akhirnya juga menjadi target persekusi diskriminasi ras dari warga setempat.
Kita memahami bahwa yang terjadi di Venezuela adalah krisis politik dan ekonomi yang sangat kompleks. Krisis berawal ketika Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez memimpin Venezuela.
Pada awalnya, sikap politik ekonomi Chavez adalah moderat. Ia masih merekrut anggota dari berbagai partai dalam kabinetnya, dari yang berideologi konservatif hingga liberal.
Namun demikian, ia merasa bahwa tidak ada banyak perubahan yang dilakukan pada periode pertama hingga ia kemudian mencoba untuk memperkuat negara dalam mengontrol sumber-sumber ekonomi. Periode kedua kepemimpinannya pada 2001–2007, ia mencoba menguasai kembali sumber-sumber daya alam terutama minyak bumi.
Tindakannya tersebut membuat marah kelompok-kelompok kepentingan negara-negara Barat yang dalam sejarahnya telah banyak menguasai sumber daya alam di Venezuela. Amerika Serikat kemudian mencoba untuk melakukan sebuah rencana kudeta pada 2002.
Pedro Carmona dilantik menjadi presiden Venezuela dan diakui oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa pada 12 April 2002. Namun demikian, kudeta itu gagal dan hanya berumur satu hari karena ratusan ribu pendukung Chavez datang ke istana untuk memberikan dukungan. Chavez akhirnya “dikembalikan lagi” ke istana setelah sempat ditahan satu malam di sebuah tempat yang dirahasiakan.
Negeri yang sangat bergantung pada minyak dunia ini mengalami pasang-surut ekonomi seiring dengan turun naiknya harga minyak di pasar dunia. Chavez berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan program-program pendidikan, kesehatan, dan fasilitas publik lain, tetapi mengorbankan kesinambungan ekonomi akibat nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Chavez menasionalisasi pabrik-pabrik semen dan baja, juga beberapa perusahaan distribusi susu dan daging pada 2008. Ia menasionalisasi aset terkait minyak (termasuk aset yang dimiliki oleh perusahaan jasa minyak AS), bahan kimia, pariwisata, agrobisnis (termasuk tanaman padi olahan yang dimiliki oleh perusahaan AS), ritel, dan industri perbankan.
Presiden Chavez juga memutuskan untuk memindahkan semua aset cadangan internasional Venezuela yang disimpan di lembaga keuangan AS dan Eropa. Cadangan itu termasuk 211 ton emas untuk yang ditransfer ke Bank Sentral Venezuela dan USD6,28 miliar cadangan tunai untuk ditransfer ke bank-bank di Brasil, China, dan Rusia.
Langkah-langkah tersebut di satu sisi memenuhi program-program populisnya, tetapi di sisi lain menghancurkan kredibilitas Venezuela di mata para investor. Para investor enggan berinvestasi karena khawatir akan dinasionalisasi.
Keengganan ini menyebabkan lapangan ekonomi di Venezuela tidak berkembang sehingga tidak terciptanya lapangan pekerjaan yang signifikan. Akibatnya semakin tinggi pula angka pengangguran.
Langkah-langkah tersebut juga tidak populis di mana negara-negara Barat. Mereka memandang bahwa Chavez tentang mengampanyekan ekonomi sosialisme di kawasan Amerika Latin.
Langkah tersebut dipandang mengancam hegemoni negara-negara Barat di kawasan. Upaya-upaya delegitimasi terhadap pemerintahan Chavez di Venezuela dilakukan melalui berbagai sarana seperti melalui Persatuan Negara-Negara Amerika Latin serta lembaga-lembaga HAM.
Maduro kemudian menjadi presiden Venezuela menggantikan Chavez yang meninggal pada 2013. Maduro menerima warisan struktur ekonomi yang kritis dan bermasalah.
Krisis ekonomi tersebut semakin bermasalah ketika Presiden AS Barack Obama mengeluarkan executive order 1369 tahun 2015, yang isinya menggolongkan Venezuela sebagai ancaman terhadap keamanan nasional AS. Paman Sam terus memberikan sanksi ekonomi kepada Venezuela, yang juga diikuti oleh beberapa negara Eropa.
Sanksi ekonomi tersebut memukul perekonomian yang sudah kritis tersebut. Pelapor Khusus PBB untuk Venezuela, Alfred de Zayas, mengatakan bahwa sanksi AS terhadap Venezuela adalah ilegal dan dapat dikaitkan dengan “kejahatan kemanusiaan” menurut hukum internasional.
Ia mengatakan bahwa sanksi itu membunuh masyarakat miskin. Mereka adalah kelompok pertama yang menjadi korban karena kekurangan makanan, kekurangan gizi, obat-obatan akibat blokade impor barang-barang konsumsi termasuk makanan dan obat-obatan.
Sanksi itu semakin memperparah keadaan. Masyarakat yang frustrasi melahirkan gelombang protes dan meningkatnya perlawanan terhadap pemerintah.
Puncaknya adalah ketika Ketua DPR Venezuela Juan Gudio mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden sementara Venezuela pada 23 Januari 2019. Pengangkatan diri itu diterima dan diakui oleh AS, Kanada, negara-negara Eropa, beberapa negara Amerika Latin, dan terakhir Israel.
Pengakuan Barat kepada Gudio ini cukup ironis. Di satu sisi, negara-negara Barat menolak Maduro yang terpilih secara konstitusional melalui pemilihan umum dan dianggap sebagai orang yang tidak demokratis, tetapi di sisi lain menerima Gudio yang mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden sementara tanpa melewati mekanisme demokrasi apa pun.
Kepentingan AS dan sekutunya juga semakin jelas motivasinya untuk intervensi ke masalah dalam negeri Venezuela, setelah Presiden AS Donald Trump mengangkat Elliot Abrams sebagai utusan khusus AS untuk Venezuela (special envoy) pada Jumat pekan lalu.
Nama Elliot Abrams terkenal sebagai tokoh neokonservatif yang memiliki gaya diplomasi sama seperti John Bolton yang pragmatis-realis. Mereka tidak peduli dengan hukum internasional dan selalu mengutamakan kepentingan AS di atas kepentingan negara-negara lain.
Elliot pernah terkait dengan penjualan senjata ke Iran sebagai kompensasi dibebaskannya 53 tahanan AS menjelang pemungutan suara yang akhirnya dimenangkan oleh Ronald Reagan. Ia mengaku bersalah atas dua tuduhan pelanggaran karena menyembunyikan informasi dari Kongres tentang upaya rahasia untuk membantu para pemberontak Nikaragua, tetapi Presiden George HW Bush memaafkannya pada tahun berikutnya.
Singkat kata, campur tangan yang dilakukan oleh Barat terhadap lawan-lawan politik mereka di dunia masih cukup kuat. Indonesia memiliki posisi yang baik sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk mengkritik negara-negara tersebut dan meminta kembali mereka untuk menghormati hukum internasional.
Indonesia tidak dapat membiarkan diskriminasi dan persekusi itu terjadi kepada sebuah negara yang berdaulat, karena apabila kita membiarkannya maka tidak tertutup kemungkinan melakukannya kepada kita.
(poe)