Ketentuan Ekspor Mulai Dilonggarkan
A
A
A
SEJUMLAH kebijakan sedang dirumuskan pemerintah untuk mendongkrak kinerja ekspor yang masih terpuruk. Di antaranya pelonggaran ketentuan ekspor berbagai komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit (CPO), dan kayu terkait dengan kewajiban eksportir membuat laporan surveyor (LS).
Langkah pemerintah tersebut direspons positif Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno, yang dinilai sebagai sebuah terobosan dalam memutar roda ekspor yang sedang berjalan pelan. Hal itu terlihat dari defisit neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun lalu. Dan, defisit neraca perdagangan kumulatif Januari hingga Desember 2018 adalah terparah sepanjang sejarah Indonesia.
Melihat angka defisit neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2018 memang cukup menyesakkan dada. Nilai defisit yang tercatat sebesar USD8,57 miliar adalah angka defisit neraca perdagangan terbesar sejak 1975. Angka defisit itu tercetak akibat nilai ekspor lebih rendah dari nilai impor. Rinciannya, total nilai ekspor sebesar USD 180,06 miliar, sedangkan nilai impor sebesar USD188,63 miliar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata sejak Indonesia merdeka sudah enam kali mengalami defisit neraca perdagangan, yakni pada 1945, 1975, 2012, 2013, dan 2014 serta 2018.
Rupanya, LS salah satu persyaratan ekspor yang dinilai memberi andil menghambat kinerja ekspor selama ini. Sejatinya, LS adalah hasil verifikasi terhadap barang atau komoditas yang akan dikirim ke luar negeri. Tujuannya untuk menunjukkan atau sebagai hasil verifikasi komoditas yang akan diekspor sesuai dengan syarat dan keinginan negara tujuan.
Bagi eksportir, pelonggaran aturan LS sebuah langkah rasional sebab tidak semua negara mewajibkan ada LS. Artinya, kalau negara pengimpor tidak meminta LS, maka tak perlu diadakan. Jadi, persyaratan LS diadakan tergantung kebutuhan negara tujuan ekspor. Kecuali diwajibkan seperti ekspor ke Amerika Serikat (AS) dalam skema Generalized System of Preferences (GSP) dengan bea masuk 0%. LS wajib disertakan guna memastikan komoditas ekspor sesuai kesepakatan.
Saat ini secara internal kendala di bidang ekspor sangat kompleks. Salah satu masalah selalu menjadi sorotan para eksportir yang tergabung di bawah payung GPEI adalah kemacetan menuju pelabuhan dan situasi pelabuhan sendiri yang dinilai belum kondusif. Selain itu, urusan regulasi juga masih menjadi benang kusut terutama peraturan kementerian teknis. Di antaranya kewajiban sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), sedangkan dari lembaga keuangan yang hanya melayani ekspor komoditas wajib letter of credit (L/C).
Persoalan pelabuhan adalah sebuah persoalan klasik bila mengaitkan kinerja ekspor. Pemerintah dan sejumlah pihak terkait memang terus membenahi pelabuhan, namun peningkatan pelayanan masih dinilai belum maksimal para pelaku usaha yang berorientasi ekspor. Padahal, badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak pada sektor pelabuhan terus berbenah. Hasilnya, sejumlah pelabuhan terutama Pelabuhan Tanjung Priok kini bisa disandari kapal barang berukuran besar.
Secara eksternal tantangan mendongkrak kinerja ekspor terhadang pelambatan perekonomian global yang masih lesu. Karena itu, kalangan pengusaha yang fokus ekspor yang bernaung di bawah payung Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah memberikan insentif bagi eksportir yang kinerjanya membaik tahun ini. Permintaan insentif tersebut menyusul kondisi pertumbuhan ekonomi China yang mulai melemah sebagai akibat perang dagang melawan AS. Saat ini volume perdagangan antara Indonesia dan Negeri Panda itu mencapai sekitar 15% dari total perdagangan (ekspor) Indonesia.
Pelambatan laju pertumbuhan ekonomi China adalah sebuah ancaman serius, bukan hanya Indonesia, tetapi juga semua negara yang berdagang dengan Negeri Tirai Bambu itu. Persaingan untuk memasuki pasar China semakin sengit karena permintaan akan barang-barang global semakin mengecil. Pertumbuhan ekonomi China sekitar 6,6% pada 2018 diprediksi bakal melambat menjadi sekitar 6,2% pada tahun ini.
Bagaimana dengan pasar AS yang selama ini juga menjadi tujuan utama ekspor Indonesia selain China dan Jepang? Masalahnya serupa dengan China akibat perang dagang yang dilancarkan pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Dampak dari perang dagang AS dan China membuat situasi perekonomian global semakin sulit diprediksi, apalagi tanda-tanda berakhirnya perang dagang kian tidak jelas.
Langkah pemerintah tersebut direspons positif Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno, yang dinilai sebagai sebuah terobosan dalam memutar roda ekspor yang sedang berjalan pelan. Hal itu terlihat dari defisit neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun lalu. Dan, defisit neraca perdagangan kumulatif Januari hingga Desember 2018 adalah terparah sepanjang sejarah Indonesia.
Melihat angka defisit neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2018 memang cukup menyesakkan dada. Nilai defisit yang tercatat sebesar USD8,57 miliar adalah angka defisit neraca perdagangan terbesar sejak 1975. Angka defisit itu tercetak akibat nilai ekspor lebih rendah dari nilai impor. Rinciannya, total nilai ekspor sebesar USD 180,06 miliar, sedangkan nilai impor sebesar USD188,63 miliar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata sejak Indonesia merdeka sudah enam kali mengalami defisit neraca perdagangan, yakni pada 1945, 1975, 2012, 2013, dan 2014 serta 2018.
Rupanya, LS salah satu persyaratan ekspor yang dinilai memberi andil menghambat kinerja ekspor selama ini. Sejatinya, LS adalah hasil verifikasi terhadap barang atau komoditas yang akan dikirim ke luar negeri. Tujuannya untuk menunjukkan atau sebagai hasil verifikasi komoditas yang akan diekspor sesuai dengan syarat dan keinginan negara tujuan.
Bagi eksportir, pelonggaran aturan LS sebuah langkah rasional sebab tidak semua negara mewajibkan ada LS. Artinya, kalau negara pengimpor tidak meminta LS, maka tak perlu diadakan. Jadi, persyaratan LS diadakan tergantung kebutuhan negara tujuan ekspor. Kecuali diwajibkan seperti ekspor ke Amerika Serikat (AS) dalam skema Generalized System of Preferences (GSP) dengan bea masuk 0%. LS wajib disertakan guna memastikan komoditas ekspor sesuai kesepakatan.
Saat ini secara internal kendala di bidang ekspor sangat kompleks. Salah satu masalah selalu menjadi sorotan para eksportir yang tergabung di bawah payung GPEI adalah kemacetan menuju pelabuhan dan situasi pelabuhan sendiri yang dinilai belum kondusif. Selain itu, urusan regulasi juga masih menjadi benang kusut terutama peraturan kementerian teknis. Di antaranya kewajiban sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), sedangkan dari lembaga keuangan yang hanya melayani ekspor komoditas wajib letter of credit (L/C).
Persoalan pelabuhan adalah sebuah persoalan klasik bila mengaitkan kinerja ekspor. Pemerintah dan sejumlah pihak terkait memang terus membenahi pelabuhan, namun peningkatan pelayanan masih dinilai belum maksimal para pelaku usaha yang berorientasi ekspor. Padahal, badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak pada sektor pelabuhan terus berbenah. Hasilnya, sejumlah pelabuhan terutama Pelabuhan Tanjung Priok kini bisa disandari kapal barang berukuran besar.
Secara eksternal tantangan mendongkrak kinerja ekspor terhadang pelambatan perekonomian global yang masih lesu. Karena itu, kalangan pengusaha yang fokus ekspor yang bernaung di bawah payung Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah memberikan insentif bagi eksportir yang kinerjanya membaik tahun ini. Permintaan insentif tersebut menyusul kondisi pertumbuhan ekonomi China yang mulai melemah sebagai akibat perang dagang melawan AS. Saat ini volume perdagangan antara Indonesia dan Negeri Panda itu mencapai sekitar 15% dari total perdagangan (ekspor) Indonesia.
Pelambatan laju pertumbuhan ekonomi China adalah sebuah ancaman serius, bukan hanya Indonesia, tetapi juga semua negara yang berdagang dengan Negeri Tirai Bambu itu. Persaingan untuk memasuki pasar China semakin sengit karena permintaan akan barang-barang global semakin mengecil. Pertumbuhan ekonomi China sekitar 6,6% pada 2018 diprediksi bakal melambat menjadi sekitar 6,2% pada tahun ini.
Bagaimana dengan pasar AS yang selama ini juga menjadi tujuan utama ekspor Indonesia selain China dan Jepang? Masalahnya serupa dengan China akibat perang dagang yang dilancarkan pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Dampak dari perang dagang AS dan China membuat situasi perekonomian global semakin sulit diprediksi, apalagi tanda-tanda berakhirnya perang dagang kian tidak jelas.
(thm)