Ma’ruf Amin: Dari Pesarung ke Petarung

Jum'at, 25 Januari 2019 - 08:29 WIB
Ma’ruf Amin: Dari...
Ma’ruf Amin: Dari Pesarung ke Petarung
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

ADA dua pasangan capres-cawapres yang bertarung di Pilpres 2019. Pertama, Joko Widodo-Ma’ruf Amin (pasangan calon nomor urut 01) yang didukung PDIP dan koalisinya. Kedua, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno (pasangan calon nomor urut 02) yang diusung Partai Gerindra dan koalisinya. Baik pasangan calon nomor urut 01 maupun pasangan calon nomor urut 02 tentu sama-sama berjuang untuk meraih kemenangan. Pada 9 Agustus 2018, capres petahana Jokowi mengumumkan nama Prof Dr (HC) KH Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya. Semula Prof Dr Mahfud MD disebut sebagai bakal cawapres pendamping Jokowi. Namun, pada detik-detik terakhir, tampaknya atas masukan dari ketua-ketua partai koalisi, nama Mahfud didrop dan digantikan Ma’ruf Amin yang sekaligus mendapat dukungan politik dari PBNU. Setelah maju sebagai cawapres, KH Ma’ruf mengundurkan diri sebagai rais am Syuriah PBNU.

Sosok Pesarung
KH Ma’ruf Amin (76 tahun) lahir di Tangerang pada 11 Maret 1943. Mulai dari 1955-1961, ia belajar di madrasah ibtidaiyah sampai aliah di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Pada 1967, ia menyelesaikan studinya di Fakultas Ushuluddin Universitas Ibnu Chaldun Bogor. Ia berkarier sebagai dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNNU) Jakarta. Ma’ruf pernah menjadi Ketua NU Jakarta (1966-1970), katib am Syuriah PBNU (1989-1994), rais syuriah PBNU (1994-1998), mustasyar PBNU (1998), dan rais am PBNU (2015-2018). Ia mendapat amanah sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI (2001-2007), Ketua MUI (2007-2010), Ketua Umum MUI (2015-2020), Ketua Dewan Syariah Nasional (1996), anggota Komite Ahli Pengembangan Bank Syariah Bank Indonesia (1999), dan Ketua Harian Dewan Syariah Nasional MUI (2004-2010).

Otoritas keilmuan Ma’ruf Amin tidak diragukan. Enam tahun ia memperdalam ilmu agama Islam dan bahasa Arab di Pesantren Tebuireng, sarjana lulusan Universitas Ibnu Chaldun Bogor, dan dosen UNNU Jakarta. Keahliannya di bidang syariah telah mengorbitkan dirinya dipercaya sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI, Ketua Umum MUI, Ketua Dewan Syariah Nasional, anggota Komite Ahli Pengembangan Bank Syariah Bank Indonesia, dan Ketua Harian Dewan Syariah Nasional MUI. Ia sangat pantas disebut pesarung (baca: kiai dan ulama) yang qualified .

Petarung Politik
Selain sebagai pesarung, Ma’ruf Amin juga dikenal sebagai petarung politik. Ia aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebagai politisi PPP, ia menjadi anggota DPR RI (1973-1977) dan anggota DPRD DKI Jakarta (1977-1982). Sebagai politisi PKB, ia menjadi anggota MPR RI (1997-1999), anggota DPR RI (1999-2004), Ketua Dewan Syuro PKB (1998), dan mustasyar PKB (2002-2007). Karena kepakarannya di bidang ilmu agama dan pengaruhnya luas di kalangan masyarakat, KH Ma’ruf dipercaya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden selama dua periode (2007-2010 dan 2010-2014).

Dalam kampanyenya sebagai cawapres, Ma’ruf Amin menohok kubu lawan politiknya. Hanya orang budek, bisu, dan buta, kata Ma’ruf, yang tidak bisa melihat prestasi Presiden Jokowi. Ma’ruf mengklaim Jokowi telah berhasil membangun banyak infrastruktur dan ekonomi Indonesia tetap survive di tengah tekanan global. Orang yang tidak mau mengakui keberhasilan Jokowi, kata Ma’ruf, disebut shummum , bukmun , dan 'umyun . Kosakata ini diambil Ma’ruf dari bahasa Alquran Surah al-Baqarah:17-18.

Kecaman ini dalam Alquran ditujukan kepada kaum munafik di Madinah yang memusuhi umat Islam. Allah melabeli mereka dengan sebutan shummum , bukmun , dan 'umyun . Kritik tajam KH Ma’ruf tentu ditujukan kepada kubu Prabowo-Sandi yang antara lain mengkritik kebijakan ekonomi Presiden Jokowi tidak prorakyat, terjadi ketimpangan ekonomi, harga barang kebutuhan naik, dan hidup rakyat makin susah. Andre Rosiade (anggota Badan Komunikasi DPP Gerindra) menilai bahasa politik Ma'ruf tidak memberikan kesejukan dan tidak mencerminkan sosok ulama besar.

Dalam manuver politiknya untuk memenangkan capres Jokowi (dan dirinya sebagai cawapres), KH Ma’ruf meniru bahasa Alquran "lakum capreskum wa lana capresna" (bagimu capresmu dan bagi kami capres kami). Bahasa politik KH Ma’ruf ini ditiru dari Alquran Surah al-Kafirun ayat 6 (lakum dinukum wa liyadin /bagimu agamamu dan bagiku agamaku).

KH Agus Solachul A’am Wahab Wahib (dzurriyah KHA Wahab Hasbullah yang terkenal sebagai salah satu tokoh pendiri NU) mengkritik bahasa politik KH Ma’ruf itu telah "memolitisasi" ayat-ayat Alquran. Bukan hanya mengkritik, bahkan sejumlah kiai asal Jombang yang merupakan dzurriyah pendiri NU tidak mendukung cawapres KH Ma’ruf (dan capres Jokowi), tetapi mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Melihat realitas ini, komunitas NU terbelah dalam memberikan dukungan politik.

Pada Kamis, 17 Januari 2019, debat pertama capres digelar di Hotel Bidarakara, Jakarta. KH Ma’ruf terutama di awal debat hanya mengatakan "setuju" dan "mendukung" pemaparan visi, misi, strategi, dan argumen Jokowi di panggung perdebatan itu. Ketika masih ada sisa waktu yang diberikan kepadanya untuk menambahkan pemaparan visi-misi Jokowi, Ma’ruf hanya mengatakan "cukup." Kontribusi nyata yang disumbangkan KH Ma’ruf dalam debat capres itu adalah tentang terorisme. Merujuk keputusan fatwa MUI yang didasarkan pada dalil-dalil Alquran, Ma’ruf menyatakan bahwa terorisme bukan jihad, tetapi perbuatan sangat merusak karena itu hukumnya haram dan harus diberantas di samping dilakukan strategi dan program deradikalisasi.

Lirikan mata kubu koalisi partai-partai pendukung Jokowi terhadap Ma’ruf Amin tentu didasarkan pada kalkulasi politik. Paling tidak, ada dua alasan mengapa KH Ma’ruf dipilih sebagai cawapres. Pertama, Jokowi dan kubu pendukungnya ingin menangkis "serangan" kubu lawan yang menuding dirinya dan kubunya melakukan kriminalisasi terhadap ulama. Dengan memilih KH Ma’ruf sebagai cawapres, kubu Jokowi hendak membantah tudingan itu. Kedua, KH Ma’ruf Amin adalah tokoh terkenal senior NU yang berpengaruh dan didukung PBNU. Dengan mengusung dia sebagai cawapres, ditargetkan komunitas NU akan memilih paslon nomor 01 di Pilpres 2019.

Dengan demikian, secara kalkulasi dan target politik, tingkat elektabilitas Jokowi-Ma’ruf diprediksi semakin terdongkrak naik. Apakah kalkulasi dan target politik ini akan tercapai? Jawaban pasti akan ditentukan oleh hasil pilpres yang akan digelar pada 17 April 2019.*
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8892 seconds (0.1#10.140)