Perlukah Menutup Taman Nasional Komodo?
A
A
A
Rencana Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat menutup Taman Nasional Komodo (TNK) selama satu tahun terus memicu pro dan kontra. Meskipun maksud atau tujuan dari penutupan TNK untuk menyelamatkan populasi komodo, namun perlu kajian cermat dan mendalam sebelum kebijakan itu diberlakukan.
Salah satu yang penting menjadi pertimbangan menutup TKN adalah ancaman terganggunya sektor pariwisata. Jika pariwisata terganggu, itu berdampak langsung pada perekonomian masyarakat setempat.
Wacana penutupan TNK ini didasari pertimbangan kondisi habitat komodo di Kabupaten Manggarai Barat yang terdapat di ujung barat Pulau Flores yang makin memburuk. Kehidupan hewan karnivora ini kian terancam akibat makin berkurangnya populasi rusa dan kambing yang menjadi makanan utama komodo.
Terutama rusa yang populasinya berkurang akibat banyak perburuan liar untuk memburu tanduk dan kulit serta mengonsumsi dagingnya. Akibat itu, rantai makanan komodo terganggu karena populasi rusa menurun. Kekhawatiran terbesar ketika komodo kekurangan makanan adalah mereka akan kanibal atau saling memakan. Komodo yang besar akan memakan komodo yang kecil.
Jika ini terjadi, rantai regenerasi terpotong dan membuat populasi komodo menurun. Dampak akhirnya adalah komodo menuju kepunahan. Atas kekhawatiran itu, Pemprov NTT berencana melakukan penataan dengan cara menutup sementara TKN. Itu dinilai solusi terbaik agar para pemburu bisa menghentikan aksinya dan populasi rusa bisa kembali membaik.
Saat ini sekitar 4.000-5.000 ekor komodo diperkirakan masih hidup di alam liar di wilayah Pulau Komodo dan sekitarnya. Populasi hewan yang sering disebut sebagai biawak raksasa ini menyebar di Pulau Rinca, Gili Motang, Gili Dasami, Komodo, dan Flores.
Komodo sejak lama telah menarik perhatian wisatawan dari segala penjuru dunia, terutama setelah ditetapkan menjadi salah satu keajaiban dunia atau New 7 Wonder of Nature pada 2012 oleh New 7 Wonders Foundation. Tubuhnya yang besar dan reputasinya yang mengerikan membuat komodo menjadi salah satu hewan paling terkenal di dunia.
Setiap harinya sekitar 150-200 wisatawan berkunjung ke TKN untuk melihat langsung hewan purba ini. Pulau Komodo pada 2016 ditetapkan sebagai salah satu dari sepuluh kawasan wisata utama yang dikembangkan pemerintah.
Sejatinya, rencana penutupan TNK oleh Pemprov NTT sangat baik untuk pelestarian komodo. Namun, seyogianya rencana tersebut melalui kajian dengan melibatkan multisektoral antara lain TNK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA), dan Kementerian Pariwisata.
Menteri LHK Siti Nurbaya menilai otoritas mengenai kawasan konservasi sepenuhnya berada di pusat sehingga harus ada diskusi antara KLHK dan Kementerian Pariwisata sebelum TNK ditutup sementara.
Sektor pariwisata menjadi alasan utama mengapa wacana penutupan TNK menjadi polemik. Apalagi, warga sekitar TNK menggantungkan perekonomiannya pada sektor pariwisata. Balai Taman Nasional Komodo mencatat pendapatan TNK dari kunjungan wisatawan sepanjang 2018 mencapai Rp32 miliar. Jumlah ini naik dari 2017 sebesar Rp29 miliar.
Kenaikan pendapatan tersebut akibat arus kunjungan wisatawan pada 2018 yang mencapai 176.830 orang. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada 2017 yang tercatat sebanyak 119.599 orang. Mayoritas pengunjung adalah wisatawan asing. Besarnya sumbangan di sektor pariwisata ini menjadi salah satu alasan mengapa rencana penutupan TKN selama setahun perlu kajian cermat dan mendalam.
Jika problem utama komodo terancam adalah berkurangnya populasi rusa, maka pertama yang perlu dilakukan adalah memerangi perburuan liar di Pulau Komodo dan sekitarnya. Itu bisa dilakukan dengan memperketat pengamanan di titik-titik tempat masuknya para pemburu. Selain itu, siapa pun yang terlibat perburuan harus diberi sanksi yang tegas sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Di saat yang sama perlu memikirkan untuk meningkatkan populasi rusa dengan melakukan pengembangbiakan di daerah lain di luar TKN.
Salah satu yang penting menjadi pertimbangan menutup TKN adalah ancaman terganggunya sektor pariwisata. Jika pariwisata terganggu, itu berdampak langsung pada perekonomian masyarakat setempat.
Wacana penutupan TNK ini didasari pertimbangan kondisi habitat komodo di Kabupaten Manggarai Barat yang terdapat di ujung barat Pulau Flores yang makin memburuk. Kehidupan hewan karnivora ini kian terancam akibat makin berkurangnya populasi rusa dan kambing yang menjadi makanan utama komodo.
Terutama rusa yang populasinya berkurang akibat banyak perburuan liar untuk memburu tanduk dan kulit serta mengonsumsi dagingnya. Akibat itu, rantai makanan komodo terganggu karena populasi rusa menurun. Kekhawatiran terbesar ketika komodo kekurangan makanan adalah mereka akan kanibal atau saling memakan. Komodo yang besar akan memakan komodo yang kecil.
Jika ini terjadi, rantai regenerasi terpotong dan membuat populasi komodo menurun. Dampak akhirnya adalah komodo menuju kepunahan. Atas kekhawatiran itu, Pemprov NTT berencana melakukan penataan dengan cara menutup sementara TKN. Itu dinilai solusi terbaik agar para pemburu bisa menghentikan aksinya dan populasi rusa bisa kembali membaik.
Saat ini sekitar 4.000-5.000 ekor komodo diperkirakan masih hidup di alam liar di wilayah Pulau Komodo dan sekitarnya. Populasi hewan yang sering disebut sebagai biawak raksasa ini menyebar di Pulau Rinca, Gili Motang, Gili Dasami, Komodo, dan Flores.
Komodo sejak lama telah menarik perhatian wisatawan dari segala penjuru dunia, terutama setelah ditetapkan menjadi salah satu keajaiban dunia atau New 7 Wonder of Nature pada 2012 oleh New 7 Wonders Foundation. Tubuhnya yang besar dan reputasinya yang mengerikan membuat komodo menjadi salah satu hewan paling terkenal di dunia.
Setiap harinya sekitar 150-200 wisatawan berkunjung ke TKN untuk melihat langsung hewan purba ini. Pulau Komodo pada 2016 ditetapkan sebagai salah satu dari sepuluh kawasan wisata utama yang dikembangkan pemerintah.
Sejatinya, rencana penutupan TNK oleh Pemprov NTT sangat baik untuk pelestarian komodo. Namun, seyogianya rencana tersebut melalui kajian dengan melibatkan multisektoral antara lain TNK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA), dan Kementerian Pariwisata.
Menteri LHK Siti Nurbaya menilai otoritas mengenai kawasan konservasi sepenuhnya berada di pusat sehingga harus ada diskusi antara KLHK dan Kementerian Pariwisata sebelum TNK ditutup sementara.
Sektor pariwisata menjadi alasan utama mengapa wacana penutupan TNK menjadi polemik. Apalagi, warga sekitar TNK menggantungkan perekonomiannya pada sektor pariwisata. Balai Taman Nasional Komodo mencatat pendapatan TNK dari kunjungan wisatawan sepanjang 2018 mencapai Rp32 miliar. Jumlah ini naik dari 2017 sebesar Rp29 miliar.
Kenaikan pendapatan tersebut akibat arus kunjungan wisatawan pada 2018 yang mencapai 176.830 orang. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada 2017 yang tercatat sebanyak 119.599 orang. Mayoritas pengunjung adalah wisatawan asing. Besarnya sumbangan di sektor pariwisata ini menjadi salah satu alasan mengapa rencana penutupan TKN selama setahun perlu kajian cermat dan mendalam.
Jika problem utama komodo terancam adalah berkurangnya populasi rusa, maka pertama yang perlu dilakukan adalah memerangi perburuan liar di Pulau Komodo dan sekitarnya. Itu bisa dilakukan dengan memperketat pengamanan di titik-titik tempat masuknya para pemburu. Selain itu, siapa pun yang terlibat perburuan harus diberi sanksi yang tegas sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Di saat yang sama perlu memikirkan untuk meningkatkan populasi rusa dengan melakukan pengembangbiakan di daerah lain di luar TKN.
(maf)