PSSI Pasca-Edy Rahmayadi
A
A
A
Kabar mengejutkan datang dari Nusa Dua, Bali, kemarin. Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi menyatakan mundur dari jabatannya sebagai pemimpin tertinggi organisasi sepak bola Tanah Air itu.
Keputusan tersebut diungkapkan Edy yang juga Gubernur Sumatera Utara ketika membuka Kongres Tahunan PSSI yang digelar di Hotel Sofitel, Nusa Dua. Edy memilih mengambil tanggung jawab mundur karena menganggap diri gagal memimpin organisasi.
Sepeninggal Edy, tongkat estafet kepemimpinan organisasi sesuai dengan statuta diambil alih Joko Driyono selaku wakil ketua umum PSSI. Joko Driyono akan menjabat sebagai pelaksana ketua umum hingga batas waktu yang belum ditentukan. Sebagian suara pengurus daerah menginginkan tak ada kongres luar biasa (KLB) hingga masa kepengurusan selesai pada 2020. Pertimbangannya adalah klub-klub perlu konsentrasi menyiapkan kompetisi musim ini.
Namun ada pula yang meminta agar dilakukan KLB. Alasannya perlu segera ada perombakan di tubuh PSSI dengan mengganti sejumlah pengurus lama. Desakan KLB antara lain datang dari Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto. Menurutnya, pengunduran Edy merupakan momentum PSSI berbenah.
Meski mengejutkan, kabar mundurnya Edy sebagai ketua umum induk organisasi tertinggi sepak bola Indonesia ini disambut baik sejumlah kalangan. Apalagi sebelumnya memang sudah banyak dorongan agar dia meletakkan jabatan menyusul banyaknya masalah di tubuh PSSI.
Salah satu soal yang paling mencolok adalah mafia pengaturan skor yang terbongkar beberapa waktu lalu. Tim Satgas Antimafia Bola sudah menetapkan setidaknya 11 tersangka dalam kasus yang mencoreng persepakbolaan nasional tersebut. Mereka yang terlibat pengaturan skor berasal dari berbagai macam unsur mulai dari pemain, wasit, pengawas pertandingan hingga pengurus PSSI.
Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI yang juga Ketua Pengurus Provinsi (Pengprov) PSSI Jawa Tengah Johar Lin Eng bahkan ditetapkan sebagai tersangka.
Nama Johar Lin Eng pertama kali muncul ke publik lewat pernyataan Bupati Banjarnegara Budhi Warsono dan anaknya yang juga mantan Manajer Persibara Banjarnegara dalam sebuah acara talk show di sebuah televisi swasta jelang pengujung 2018. Mereka mengaku dimintai uang Rp500 juta oleh tersangka agar bisa menjadi tuan rumah fase gugur Liga 3.
Pemilik suara di kongres tahunan PSSI kemarin juga mulai bersuara mendorong pelaksanaan KLB. Ketua Asosiasi PSSI Provinsi DKI Jakarta Uden Kusuma Wijaya seperti yang dilansir Antara menyebut kondisi PSSI saat ini sangat buruk karena beberapa petingginya, khususnya di jajaran Komite Eksekutif, terjerat kasus pengaturan skor, bahkan ada yang menjadi tersangka.
Semangat pembaruan memang perlu diusung ketua umum baru, baik itu pelaksana tugas atau hasil KLB. Selain harus memiliki kecakapan dan kemampuan memimpin yang baik, dia juga dituntut menemukan orang-orang baru yang kompeten untuk membantunya pada posisi-posisi pengambil keputusan.
Seperti dikatakan Sesmenpora Gatot S Dewa Broto, pengalaman-pengalaman terdahulu jangan sampai terulang, yakni ketika pucuk pimpinan PSSI diganti, motor-motor penggerak organisasi justru masih wajah itu-itu juga.
Di sisi lain langkah kepolisian meringkus pihak-pihak yang diduga terlibat dalam skandal pengaturan skor selama ini banyak mendapat apresiasi. Sebab tanpa satgas ini, harapan pemberantasan mafia sepak bola akan jauh panggang dari api.
Paling tidak ketegasan ini bisa sedikit memulihkan kepercayaan masyarakat sehingga masih bersedia menjadi penikmat sepak bola Tanah Air. Bisa dibayangkan jika oknum-oknum pengatur skor ini tetap leluasa berkeliaran, kemungkinan dengan mudah mereka bisa terus menjalankan kejahatannya.
Maka itu Ketua Umum PSSI yang baru juga perlu melakukan koordinasi dengan tim Satgas Antimafia Bola yang dibentuk Polri. Mundurnya Edy tidak berarti pengusutan kasus pengaturan skor ikut berakhir. PSSI harus bisa bekerja sama membongkar kejahatan yang merusak nilai-nilai sportivitas dalam olahraga tersebut.
Keputusan tersebut diungkapkan Edy yang juga Gubernur Sumatera Utara ketika membuka Kongres Tahunan PSSI yang digelar di Hotel Sofitel, Nusa Dua. Edy memilih mengambil tanggung jawab mundur karena menganggap diri gagal memimpin organisasi.
Sepeninggal Edy, tongkat estafet kepemimpinan organisasi sesuai dengan statuta diambil alih Joko Driyono selaku wakil ketua umum PSSI. Joko Driyono akan menjabat sebagai pelaksana ketua umum hingga batas waktu yang belum ditentukan. Sebagian suara pengurus daerah menginginkan tak ada kongres luar biasa (KLB) hingga masa kepengurusan selesai pada 2020. Pertimbangannya adalah klub-klub perlu konsentrasi menyiapkan kompetisi musim ini.
Namun ada pula yang meminta agar dilakukan KLB. Alasannya perlu segera ada perombakan di tubuh PSSI dengan mengganti sejumlah pengurus lama. Desakan KLB antara lain datang dari Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto. Menurutnya, pengunduran Edy merupakan momentum PSSI berbenah.
Meski mengejutkan, kabar mundurnya Edy sebagai ketua umum induk organisasi tertinggi sepak bola Indonesia ini disambut baik sejumlah kalangan. Apalagi sebelumnya memang sudah banyak dorongan agar dia meletakkan jabatan menyusul banyaknya masalah di tubuh PSSI.
Salah satu soal yang paling mencolok adalah mafia pengaturan skor yang terbongkar beberapa waktu lalu. Tim Satgas Antimafia Bola sudah menetapkan setidaknya 11 tersangka dalam kasus yang mencoreng persepakbolaan nasional tersebut. Mereka yang terlibat pengaturan skor berasal dari berbagai macam unsur mulai dari pemain, wasit, pengawas pertandingan hingga pengurus PSSI.
Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI yang juga Ketua Pengurus Provinsi (Pengprov) PSSI Jawa Tengah Johar Lin Eng bahkan ditetapkan sebagai tersangka.
Nama Johar Lin Eng pertama kali muncul ke publik lewat pernyataan Bupati Banjarnegara Budhi Warsono dan anaknya yang juga mantan Manajer Persibara Banjarnegara dalam sebuah acara talk show di sebuah televisi swasta jelang pengujung 2018. Mereka mengaku dimintai uang Rp500 juta oleh tersangka agar bisa menjadi tuan rumah fase gugur Liga 3.
Pemilik suara di kongres tahunan PSSI kemarin juga mulai bersuara mendorong pelaksanaan KLB. Ketua Asosiasi PSSI Provinsi DKI Jakarta Uden Kusuma Wijaya seperti yang dilansir Antara menyebut kondisi PSSI saat ini sangat buruk karena beberapa petingginya, khususnya di jajaran Komite Eksekutif, terjerat kasus pengaturan skor, bahkan ada yang menjadi tersangka.
Semangat pembaruan memang perlu diusung ketua umum baru, baik itu pelaksana tugas atau hasil KLB. Selain harus memiliki kecakapan dan kemampuan memimpin yang baik, dia juga dituntut menemukan orang-orang baru yang kompeten untuk membantunya pada posisi-posisi pengambil keputusan.
Seperti dikatakan Sesmenpora Gatot S Dewa Broto, pengalaman-pengalaman terdahulu jangan sampai terulang, yakni ketika pucuk pimpinan PSSI diganti, motor-motor penggerak organisasi justru masih wajah itu-itu juga.
Di sisi lain langkah kepolisian meringkus pihak-pihak yang diduga terlibat dalam skandal pengaturan skor selama ini banyak mendapat apresiasi. Sebab tanpa satgas ini, harapan pemberantasan mafia sepak bola akan jauh panggang dari api.
Paling tidak ketegasan ini bisa sedikit memulihkan kepercayaan masyarakat sehingga masih bersedia menjadi penikmat sepak bola Tanah Air. Bisa dibayangkan jika oknum-oknum pengatur skor ini tetap leluasa berkeliaran, kemungkinan dengan mudah mereka bisa terus menjalankan kejahatannya.
Maka itu Ketua Umum PSSI yang baru juga perlu melakukan koordinasi dengan tim Satgas Antimafia Bola yang dibentuk Polri. Mundurnya Edy tidak berarti pengusutan kasus pengaturan skor ikut berakhir. PSSI harus bisa bekerja sama membongkar kejahatan yang merusak nilai-nilai sportivitas dalam olahraga tersebut.
(nag)