Fenomena Donkey Voters & Kangaroo Ticket dalam Pemilu 2019
A
A
A
Junaedi Saibih
Dosen FHUI, Ketua LKBH UI, PhD Candidate (Canberra)
Pemilu dan Klasifikasi Rasionalitas Pemilih
PEMILIHAN umum atau pemilu adalah kegiatan konstitusional yang dilakukan oleh bangsa Indonesia semenjak kemerdekaan, yang biasanya memilih anggota legislatif pusat maupun daerah. Namun, tahun ini pesta demokrasi yang sudah diselenggarakan sejak 1955 itu mengalami perubahan signifikan, yaitu pemilihan anggota legislatif disertai pemilihan presiden. Lantaran bersamaannya pemilihan legislatif dan presiden secara langsung ini media mainstream lebih banyak diwarnai dengan serba-serbi pemilihan presiden ketimbang pemilihan anggota legislatif. Lembaga survei kerap menyiarkan hasil survei dengan menunjukkan ragam elektabilitas bagi masing-masing calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres), walau ada juga lembaga survei yang menyiarkan tentang keterpilihan partai politik.
Jika menilik pada perilaku pemilih, dapat diklasifikasikan rasionalitas pemilih atas keterpilihan suatu partai atau pasangan calon presiden berdasarkan beberapa model perilaku dari pemilih. Hal pertama adalah model perilaku berdasarkan pencitraan, dalam hal ini pemilih akan memperhatikan bagaimana keadaan suatu partai, ketua umum partainya, hingga seberapa banyak pengurusnya yang terlibat kasus korupsi atau citra yang dibangun oleh partai sebagai partai pelindung bagi kaum yang lemah. Dari sisi calon presiden dan wakilnya, citra yang dibangun dari sisi kedekatan dengan berbagai kalangan atau bagaimana preferensi akan prestasi calon presiden dan sebagainya. Kelompok pertama ini adalah pemilih yang memiliki rasionalitas yang didapatkan atas dasar referensi yang didapat secara langsung bersentuhan dengan capres atau pesan berantai melalui media sosial. Biasanya kelompok ini ada di perkotaan atas yang memiliki akses dengan media sosial sangat sering.
Kelompok kedua adalah kelompok yang memilih atas dasar political streaming atau aliran politik, di mana kelompok-kelompok pemilih ini mengelompokkan dirinya atas dasar komunitas nasional dan agama. Dalam hal ini, rasionalitas pemilih didasarkan atas bagaimana komunitas tempat berkumpulnya atau komunitas beraktivitas secara sosialnya itu menentukan preferensinya. Dalam hal ini politik aliran yang kini ada, preferensi pemilih banyak ditentukan bagaimana mimbar-mimbar nasional maupun keagamaan menyirkulasikan preferensi politik atas kedekatan calon dengan komunitas tersebut. Dalam hal ini berbagai kegiatan yang bernuansa komunitas political streaming sangat bisa menentukan bagaimana preferensi pemilih tersebut.
Kelompok ketiga adalah kelompok yang secara terus-menerus mendukung partai politik yang sama tanpa memperhatikan citra partai, akan tetapi tetap setia bersama partai yang sama semenjak pemilihan umum pertama kali diikuti. Banyak juga yang menyebut sebagai simpatisan setia. Kelompok terakhir ini adalah kelompok yang tidak memiliki preferensi khusus hanya mempertimbangkan atas pilihan sebelumnya, kemudian memberikan suara atau pilihannya kepada yang lain tanpa memperhatikan citra, program, atau pertimbangan preferensi yang lain. Kalau diibaratkan pilihan pemilih, pada kelompok terakhir ini lebih didominasi oleh kekecewaan atas anggapan yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan. Hal ini berdasarkan pengalaman pribadi atas ketiadaan perubahan yang dirasakannya sendiri, karena enggan mengalami hal yang sama untuk periode berikutnya maka pilihan ditujukan pada yang lain. Penulis menyebutnya sebagai pemilih yang tidak mau seperti keledai karena jatuh pada lubang yang sama. Fenomena donkey voters (pemilih model keledai) ini, sepertinya akan menjadi model yang fenomenanya bagaikan gunung es karena tidak terlihat secara jelas.
Fenomena Donkey Voters
Jika merujuk pada berbagai literatur terkait pemilihan umum di Australia, maka fenomena donkey voters sangat banyak sekali dibahas (Butler, 1968; hingga Kramer, 2018). Dalam hal ini pembahasan tentang donkey voters lebih dikaitkan karena pemilih yang tidak mengetahui secara mendalam tentang sistem dalam suara pemilihan, di mana mereka memilih atas dasar urutan teratas saja atau atas dasar urutan abjad tanpa ada preferensi partai tertentu. Fenomena donkey voters ini juga tidak saja ada dalam pemilihan di Australia, namun juga di Irlandia, Inggris, dan Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan mandatory voting (wajib) serta kertas suara yang panjang dan rumit (Umbers, 2018; Chakravarty, 2016).
Sebagaimana yang penulis ungkapkan dalam bagian terdahulu, fenomena donkey voters dalam pemilu di Indonesia bukan hal yang tidak mungkin terjadi. Akan tetapi, mengingat kondisi pilpres yang berulang sebagaimana yang terjadi dalam Pemilu 2014, kutub pemilih yang hanya ada dua sangat mungkin preferensi atas kutub yang kecewa akan pilihannya akan berubah pilihan kepada pihak yang sebelumnya. Pemilih yang beralih kepada pihak lain dalam pemilihan sebelumnya yang lebih karena kecewa atau tidak puas akan kinerja yang telah dipilih sebelumnya, disebut juga sebagai protest vote. Namun, selain itu banyak juga yang menjadi donkey voters karena memang apatis akan sistem politik sehingga rasionalitas hanya didasarkan bahwa sebelumnya sudah memilih A dalam pemilihan, maka kini pilihan perlu dijatuhkan ke B dan memberi kesempatan kepada B untuk membuktikan janjinya.
Donkey voters ini adalah fenomena yang seharusnya diantisipasi oleh tim sukses dari kedua calon, tentu saja dengan cara yang selalu berlawanan. Pada satu sisi, mengantisipasinya dengan kampanye keberhasilan, begitu pula sebaliknya, kampanye kegagalan atau janji upaya perbaikan secara ekonomi, hukum, dan sosial politik. Di bagian yang lain, petahana, untuk mengantisipasi meluasnya atau meningkatnya donkey voters, sangat perlu juga untuk terus menginformasikan langkah-langkah mitigasi ataupun rehabilitasi yang diambil dalam mengatasi bencana atau resesi ekonomi (Ashworth, 2018). Begitu pula sebaliknya, merekrut donkey voters yang paling efektif tentu saja melakukan evaluasi atas langkah yang diambil oleh pemerintahan petahana dalam mengatasi bencana alam dan resesi ekonomi.
Fenomena Kangaroo Ticket
Kangaroo ticket (tiket kanguru) adalah istilah slang yang digunakan dalam politik di Amerika Serikat yang ditujukan pada suatu situasi di mana calon wakil presiden terlihat lebih menarik daripada calon presidennya (Paulin, 1920; dan Boylan, 2005). Diambilnya kanguru dalam merepresentasikan ekspresi politik karena secara penampilan fisik, kanguru memiliki beban lebih di bagian belakangnya atau kekuatannya justru di kaki belakang daripada kaki depannya. Perilaku kanguru dalam bertarung adalah lebih mendasarkan pada kekuatan kaki belakang daripada kaki depan serta memanfaatkan buntut belakangnya sebagai tumpuan ketika kaki belakang digunakan dalam pertarungan.
Dalam percaturan politik pada Pilpres 2019 ini, jika dibandingkan dengan 2014, maka kontestan berbeda adalah pada posisi wapresnya. Maka dapatlah dikatakan bahwa pertarungan sesungguhnya adalah pada sosok cawapres bukan pada sosok capresnya. Isu citra terkait kedua capres dapat dikatakan hampir habis keluar pada Pilpres 2014, sehingga jika didiseminasikan isu yang sama pada 2019 akan dianggap sebagai hal pengulangan yang tidak punya makna. Untuk itu, peran daya tarik pencitraan dari cawapres adalah faktor yang paling menentukan sebagai pertarungan antara dua ekor kanguru. Hal ini mengingatkan kita semua akan Pilpres 1988, dalam analisis Pat Whitman, posisi Dan Quayle sebagai sosok yang menarik karena muda, kaya, dan berpenampilan menarik. Mungkin pembelajaran ini juga yang jadi pertimbangan capres Prabowo Subianto untuk memilih Sandiaga Uno sebagai cawapres.
Pada sisi lain, pilihan Jokowi pada Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya juga dengan pertimbangan karena posisinya sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara politik memang suatu majelis yang dibentuk pada masa Orde Baru sebagai dewan ulama yang bisa mempersatukan ormas Islam, terutama dua ormas besar yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Peran MUI yang sangat sentral sebagai dewan yang memproduksi fatwa bagi umat Islam diharapkan juga akan menjadi kekuatan “kaki belakang” bagi Jokowi dalam merangkul berbagai kelompok Islam, terutama yang secara tradisional pilihan politiknya banyak dipengaruhi oleh political streaming.
Dosen FHUI, Ketua LKBH UI, PhD Candidate (Canberra)
Pemilu dan Klasifikasi Rasionalitas Pemilih
PEMILIHAN umum atau pemilu adalah kegiatan konstitusional yang dilakukan oleh bangsa Indonesia semenjak kemerdekaan, yang biasanya memilih anggota legislatif pusat maupun daerah. Namun, tahun ini pesta demokrasi yang sudah diselenggarakan sejak 1955 itu mengalami perubahan signifikan, yaitu pemilihan anggota legislatif disertai pemilihan presiden. Lantaran bersamaannya pemilihan legislatif dan presiden secara langsung ini media mainstream lebih banyak diwarnai dengan serba-serbi pemilihan presiden ketimbang pemilihan anggota legislatif. Lembaga survei kerap menyiarkan hasil survei dengan menunjukkan ragam elektabilitas bagi masing-masing calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres), walau ada juga lembaga survei yang menyiarkan tentang keterpilihan partai politik.
Jika menilik pada perilaku pemilih, dapat diklasifikasikan rasionalitas pemilih atas keterpilihan suatu partai atau pasangan calon presiden berdasarkan beberapa model perilaku dari pemilih. Hal pertama adalah model perilaku berdasarkan pencitraan, dalam hal ini pemilih akan memperhatikan bagaimana keadaan suatu partai, ketua umum partainya, hingga seberapa banyak pengurusnya yang terlibat kasus korupsi atau citra yang dibangun oleh partai sebagai partai pelindung bagi kaum yang lemah. Dari sisi calon presiden dan wakilnya, citra yang dibangun dari sisi kedekatan dengan berbagai kalangan atau bagaimana preferensi akan prestasi calon presiden dan sebagainya. Kelompok pertama ini adalah pemilih yang memiliki rasionalitas yang didapatkan atas dasar referensi yang didapat secara langsung bersentuhan dengan capres atau pesan berantai melalui media sosial. Biasanya kelompok ini ada di perkotaan atas yang memiliki akses dengan media sosial sangat sering.
Kelompok kedua adalah kelompok yang memilih atas dasar political streaming atau aliran politik, di mana kelompok-kelompok pemilih ini mengelompokkan dirinya atas dasar komunitas nasional dan agama. Dalam hal ini, rasionalitas pemilih didasarkan atas bagaimana komunitas tempat berkumpulnya atau komunitas beraktivitas secara sosialnya itu menentukan preferensinya. Dalam hal ini politik aliran yang kini ada, preferensi pemilih banyak ditentukan bagaimana mimbar-mimbar nasional maupun keagamaan menyirkulasikan preferensi politik atas kedekatan calon dengan komunitas tersebut. Dalam hal ini berbagai kegiatan yang bernuansa komunitas political streaming sangat bisa menentukan bagaimana preferensi pemilih tersebut.
Kelompok ketiga adalah kelompok yang secara terus-menerus mendukung partai politik yang sama tanpa memperhatikan citra partai, akan tetapi tetap setia bersama partai yang sama semenjak pemilihan umum pertama kali diikuti. Banyak juga yang menyebut sebagai simpatisan setia. Kelompok terakhir ini adalah kelompok yang tidak memiliki preferensi khusus hanya mempertimbangkan atas pilihan sebelumnya, kemudian memberikan suara atau pilihannya kepada yang lain tanpa memperhatikan citra, program, atau pertimbangan preferensi yang lain. Kalau diibaratkan pilihan pemilih, pada kelompok terakhir ini lebih didominasi oleh kekecewaan atas anggapan yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan. Hal ini berdasarkan pengalaman pribadi atas ketiadaan perubahan yang dirasakannya sendiri, karena enggan mengalami hal yang sama untuk periode berikutnya maka pilihan ditujukan pada yang lain. Penulis menyebutnya sebagai pemilih yang tidak mau seperti keledai karena jatuh pada lubang yang sama. Fenomena donkey voters (pemilih model keledai) ini, sepertinya akan menjadi model yang fenomenanya bagaikan gunung es karena tidak terlihat secara jelas.
Fenomena Donkey Voters
Jika merujuk pada berbagai literatur terkait pemilihan umum di Australia, maka fenomena donkey voters sangat banyak sekali dibahas (Butler, 1968; hingga Kramer, 2018). Dalam hal ini pembahasan tentang donkey voters lebih dikaitkan karena pemilih yang tidak mengetahui secara mendalam tentang sistem dalam suara pemilihan, di mana mereka memilih atas dasar urutan teratas saja atau atas dasar urutan abjad tanpa ada preferensi partai tertentu. Fenomena donkey voters ini juga tidak saja ada dalam pemilihan di Australia, namun juga di Irlandia, Inggris, dan Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan mandatory voting (wajib) serta kertas suara yang panjang dan rumit (Umbers, 2018; Chakravarty, 2016).
Sebagaimana yang penulis ungkapkan dalam bagian terdahulu, fenomena donkey voters dalam pemilu di Indonesia bukan hal yang tidak mungkin terjadi. Akan tetapi, mengingat kondisi pilpres yang berulang sebagaimana yang terjadi dalam Pemilu 2014, kutub pemilih yang hanya ada dua sangat mungkin preferensi atas kutub yang kecewa akan pilihannya akan berubah pilihan kepada pihak yang sebelumnya. Pemilih yang beralih kepada pihak lain dalam pemilihan sebelumnya yang lebih karena kecewa atau tidak puas akan kinerja yang telah dipilih sebelumnya, disebut juga sebagai protest vote. Namun, selain itu banyak juga yang menjadi donkey voters karena memang apatis akan sistem politik sehingga rasionalitas hanya didasarkan bahwa sebelumnya sudah memilih A dalam pemilihan, maka kini pilihan perlu dijatuhkan ke B dan memberi kesempatan kepada B untuk membuktikan janjinya.
Donkey voters ini adalah fenomena yang seharusnya diantisipasi oleh tim sukses dari kedua calon, tentu saja dengan cara yang selalu berlawanan. Pada satu sisi, mengantisipasinya dengan kampanye keberhasilan, begitu pula sebaliknya, kampanye kegagalan atau janji upaya perbaikan secara ekonomi, hukum, dan sosial politik. Di bagian yang lain, petahana, untuk mengantisipasi meluasnya atau meningkatnya donkey voters, sangat perlu juga untuk terus menginformasikan langkah-langkah mitigasi ataupun rehabilitasi yang diambil dalam mengatasi bencana atau resesi ekonomi (Ashworth, 2018). Begitu pula sebaliknya, merekrut donkey voters yang paling efektif tentu saja melakukan evaluasi atas langkah yang diambil oleh pemerintahan petahana dalam mengatasi bencana alam dan resesi ekonomi.
Fenomena Kangaroo Ticket
Kangaroo ticket (tiket kanguru) adalah istilah slang yang digunakan dalam politik di Amerika Serikat yang ditujukan pada suatu situasi di mana calon wakil presiden terlihat lebih menarik daripada calon presidennya (Paulin, 1920; dan Boylan, 2005). Diambilnya kanguru dalam merepresentasikan ekspresi politik karena secara penampilan fisik, kanguru memiliki beban lebih di bagian belakangnya atau kekuatannya justru di kaki belakang daripada kaki depannya. Perilaku kanguru dalam bertarung adalah lebih mendasarkan pada kekuatan kaki belakang daripada kaki depan serta memanfaatkan buntut belakangnya sebagai tumpuan ketika kaki belakang digunakan dalam pertarungan.
Dalam percaturan politik pada Pilpres 2019 ini, jika dibandingkan dengan 2014, maka kontestan berbeda adalah pada posisi wapresnya. Maka dapatlah dikatakan bahwa pertarungan sesungguhnya adalah pada sosok cawapres bukan pada sosok capresnya. Isu citra terkait kedua capres dapat dikatakan hampir habis keluar pada Pilpres 2014, sehingga jika didiseminasikan isu yang sama pada 2019 akan dianggap sebagai hal pengulangan yang tidak punya makna. Untuk itu, peran daya tarik pencitraan dari cawapres adalah faktor yang paling menentukan sebagai pertarungan antara dua ekor kanguru. Hal ini mengingatkan kita semua akan Pilpres 1988, dalam analisis Pat Whitman, posisi Dan Quayle sebagai sosok yang menarik karena muda, kaya, dan berpenampilan menarik. Mungkin pembelajaran ini juga yang jadi pertimbangan capres Prabowo Subianto untuk memilih Sandiaga Uno sebagai cawapres.
Pada sisi lain, pilihan Jokowi pada Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya juga dengan pertimbangan karena posisinya sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara politik memang suatu majelis yang dibentuk pada masa Orde Baru sebagai dewan ulama yang bisa mempersatukan ormas Islam, terutama dua ormas besar yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Peran MUI yang sangat sentral sebagai dewan yang memproduksi fatwa bagi umat Islam diharapkan juga akan menjadi kekuatan “kaki belakang” bagi Jokowi dalam merangkul berbagai kelompok Islam, terutama yang secara tradisional pilihan politiknya banyak dipengaruhi oleh political streaming.
(kri)