Dehumanisasi Uighur

Jum'at, 18 Januari 2019 - 07:08 WIB
Dehumanisasi Uighur
Dehumanisasi Uighur
A A A
Abdul Halim Analis Geopolitik dan Diplomasi Internasional,

Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity Jakarta

KEBIJAKAN sinofikasi yang dijalankan Presiden Xi Jinping terhadap masyarakat adat Uighur sontak memicu kemarahan dunia internasional. Hal ini menyusul diberlakukannya revisi undang-undang yang melegalisasi pengawasan pemerintah terhadap praktik-praktik keagamaan di Turkestan Timur atau Xinjiang Uyghur Autonomous Region (XUAR). Di samping itu kebijakan tersebut juga melegitimasi kewajiban masyarakat adat Uighur untuk menjalani program reedukasi.

The Guardian (Desember 2018) melaporkan, sedikitnya 1 juta muslim Uighur dipaksa untuk menjalani program reedukasi di Pusat Pelatihan Keterampilan Kejuruan yang dibangun di Xinjiang. Tak berlebihan apabila pemaksaan ini sarat pelanggaran hak asasi manusia seperti pemisahan paksa anak-anak usia sekolah dengan orang tuanya, kawin paksa antara Uighur dan keturunan Han, serta pelarangan pemakaian bahasa dan adat-istiadat Uighur dalam kehidupan sehari-hari. Inilah proses dehumanisasi Uighur yang diprakarsai Xi Jinping.

Sejarah mencatat, Dinasti Manchu menganeksasi Kerajaan Islam Uighur pada 18 November 1884 setelah melalui perang berdarah selama 8 tahun sejak 1876. Hal pertama yang dilakukan China adalah mengganti nama Turkestan Timur dengan sebutan Xinjiang (new frontier, tapal batas baru). Dengan perubahan inilah lambat-laun China mulai menjalankan kebijakan sinofikasi, tak terkecuali di Xinjiang. Lantas apa yang menjadi tujuan dari kebijakan tersebut? Tak lain adalah memperbaiki sikap politik muslim Uighur agar sejalan dengan Partai Komunis China.

Tak pelak, apa yang terjadi di Uighur jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP) yang disepakati pada September 2007. Hal ini setidaknya tergambar di dalam laporan yang diterbitkan Uyghur Human Rights Project (UHRP) dan Amnesty International (2018), yakni pertama, China memperlakukan masyarakat Uighur secara diskriminatif, tak terkecuali di pentas olahraga dunia. Hal ini dialami atlet asal Uighur yang berlaga di Olimpiade 2008. Betapa tidak, mereka dilarang menginap di Beijing selama pentas olahraga tersebut berlangsung.

Kedua, adanya pelabelan "ekstremis" dan "teroris" terhadap masyarakat muslim Uighur. Situasi ini jelas membatasi ekspresi keagamaan dan kebudayaan orang-orang yarlik (of the land), sebutan lain muslim Uighur, baik secara individu maupun kolektif. Ironisnya China juga berupaya menghilangkan identitas Uighur dengan membangun kembali masjid dan kuil yang tersebar di Xinjiang. Selain itu China membiarkan rusaknya makam Tomur Helipe, panglima perang Uighur yang menentang Jenderal Yang Zengxin pada 1910.

Setali tiga uang, China juga melakukan pemugaran terhadap makam Mahmud Kashgari, ahli bahasa yang masyhur dengan Kamus Bahasa Turki (Turki Tillar Divani) yang ditulisnya pada abad ke-11 serta makam Yusup Has Hajip, intelektual dan sastrawan kenamaan Uighur pada abad ke-11. Pemugaran ini dilakukan selain untuk menjadikan makam keduanya sebagai destinasi atraksi patriotik China, juga diarahkan untuk mempertegas kekuasaan Beijing atas Xinjiang. Padahal, secara genealogis, mereka memiliki kedekatan kultural dengan Turki.

Ketiga, di laboratorium pendidikan, banyak intelektual Uighur yang mengalami perlakuan semena-mena dari pemerintah. Hal ini tampak pada penahanan 2 sejarawan Uighur, yakni Nurmemet Yasin dan Tohti Tunyaz, yang tidak didahului proses peradilan yang transparan. Bahkan pada 2002, sebanyak 52 dari 118 buku dibakar karena bertentangan dengan Partai Komunis China.

Keempat, di lapangan ekonomi, masyarakat Uighur menerima bayaran 20% lebih rendah ketimbang pekerja keturunan Han. Padahal mereka bekerja di bidang dan level yang sama. Lebih parah lagi, ongkos transportasi, konsumsi, dan akomodasi sepenuhnya menjadi beban orang-orang yarlik. Perlakuan sebaliknya justru diterima pekerja keturunan Han.

Dalam pengelolaan sumber daya alam, eksploitasi gas dan minyak gencar dilakukan Pemerintah China di Xinjiang, di antaranya di Korla. Sayangnya pelbagai aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang disponsori pemerintah ini justru tidak menghadirkan kemakmuran bagi masyarakat Uighur.

Kelima, di pentas politik Xinjiang, masyarakat Uighur justru sering kali dianggap sebagai warga negara kelas dua. Pasalnya setiap kebijakan yang diambil tak pernah dikonsultasikan terlebih dahulu kepada mereka. Alih-alih memiliki perwakilan di lembaga eksekutif dan legislatif, masyarakat Uighur justru tak memiliki kebebasan berkumpul dan berserikat guna menyuarakan kepentingan politiknya. Pada konteks inilah pemerintah lebih memprioritaskan suara komunitas China keturunan Han ketimbang Uighur.

Bertolak dari pelbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Turkestan Timur, seyogianya Pemerintah Republik Indonesia mempertegas kembali apa yang dikemukakan Presiden Soekarno, "Saya membenci imperialisme dan kolonialisme. Saya mengkhawatirkan konsekuensi yang teramat pahit dari perjuangan mereka yang menentang keduanya. Oleh karena itu, kita bertekad, bahwa bangsa kita dan dunia secara keseluruhan tidak akan menjadi permainan dari satu sudut kecil dunia." Pertanyaannya, dari mana harus memulainya?

Setidaknya terdapat 3 langkah diplomatik yang bisa diperankan Indonesia untuk mengatasi kian memburuknya situasi dehumanisasi yang terjadi di Turkestan Timur. Pertama, mendesak Pemerintah Republik Rakyat China untuk sungguh-sungguh menghentikan pelbagai bentuk pelanggaran HAM yang dialami lebih dari 22 juta masyarakat Uighur di Turkestan Timur. Bagaimana caranya? Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mendesak China untuk bersikap terbuka dan bekerja sama dengan PBB guna memastikan bahwa situasi pelanggaran HAM teratasi dengan menjalankan prinsip-prinsip dasar penghormatan terhadap masyarakat adat Uighur sebagaimana diatur di dalam Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP).

Kedua, merevitalisasi hak-hak masyarakat Uighur untuk berekspresi sesuai dengan agama dan nilai-nilai kebudayaan yang telah membentuk jati diri mereka. Berbagai bentuk pembatasan yang diterapkan oleh China harus dihentikan seperti penutupan masjid secara sewenang-wenang, larangan membangun masjid baru, persekusi terhadap ulama, dan menghentikan pengiriman pemuka-pemuka agama yang bertolak-belakang dengan nilai-nilai yang diyakini muslim Uighur.

Ketiga, memberikan kesempatan kepada masyarakat Uighur untuk menjalankan pemerintahannya secara otonom. Terlebih lagi hal ini sudah diatur di dalam Regional Ethnic Autonomy Law. Ikhtiar ini bisa ditempuh melalui penyediaan mekanisme partisipatoris bagi masyarakat Uighur untuk terlibat langsung dalam merumuskan dan menjalankan pembangunan otonomi di Turkestan Timur. Dengan ikhtiar diplomatik yang dikontribusi Indonesia inilah, niscaya masyarakat Uighur sanggup menghadirkan kebahagiaan dan kemakmuran rakyatnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0530 seconds (0.1#10.140)