Prostitusi Online dalam Hukum Pidana Materiil
A
A
A
Abdul Gafur SangadjiKonsultan Hukum di Jakarta, Alumnus Fakultas Hukum UI
PROSTITUSI merupakan suatu perbuatan yang terhinakan. Prostitusi atau disebut pelacuran berasal dari bahasa Latin yaitu pro-situare yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan perbuatan persundalan, pencabulan, atau pergendakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pelacuran berasal dari kata lacur yang berarti malang, celaka, sial, gagal, dan buruk laku. Pelacur adalah wanita yang melacur, wanita tunasusila, atau sundal. Pelacuran adalah perihal menjual diri sebagai pelacur, persundalan.
Prostitusi online menjadi pembicaraan hangat di awal 2019 ini. Artis VA digerebek di salah satu hotel di Surabaya karena diduga terlibat prostitusi online. Tarif yang wah senilai Rp80 juta untuk sekali kencan pun menjadi viral di kalangan netizen. Terlepas dari apakah tarif itu benar atau tidak, tapi dari sisi hukum patut dijadikan bahan diskusi karena muncul banyak pertanyaan di publik terkait aspek pidana prostitusi online.
Apakah pelaku prostitusi online, terutama artis yang terlibat, dapat dipidana berdasarkan aturan perundang-undangan? Hukum pidana materiil apa yang dilanggar oleh para pelaku prostitusi online ? Tulisan ini hendak membuka diskursus tersebut.
Asas Legalitas Untuk menentukan apakah suatu perbuatan (feit ) dikategorikan sebagai tindak pidana, maka berlaku asas legalitas yang sangat klasik dalam ilmu hukum pidana: "Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali". Secara harfiah dalam bahasa Indonesia asas tersebut diartikan: "Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya". Sering juga dipakai istilah Latin: "Nullum crimen sine lege stricta ", yaitu "Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas".
Dalam KUHP Indonesia, yang berasal dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda, asas legalitas tersebut dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang bunyinya: "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan". Dalam doktrin hukum, asas legalitas mengandung tiga pengertian: (1) tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; (2) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi; dan (3) aturan hukum pidana tidak berlaku surut (retroaktif).
Menurut Profesor POMPE, arti Pasal 1 ayat (1) KUHP memuat dua aturan yang sangat mendasar dalam perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pertama, apa yang disebut sebagai tindak pidana haruslah dirumuskan dalam suatu ketentuan pidana menurut UU. Kedua, ketentuan pidana tersebut haruslah telah ada terlebih dahulu daripada perbuatan itu sendiri.
Berdasarkan asas legalitas tersebut, maka perlu pengujian terhadap prostitusi online apakah termasuk tindak pidana atau tidak. Suatu perbuatan disebut sebagai tindak pidana, delik, atau strafbaar feit harus merupakan suatu tindakan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang. Pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban tersebut harus terlebih dahulu dinyatakan sebagai tindak pidana oleh aturan perundang-undangan. Kemudian agar suatu perbuatan itu dapat dihukum, harus memenuhi semua unsur delik yang dirumuskan dalam undang-undang.
Merujuk pada asas legalitas dalam KUHP, prostitusi online dapat diperdebatkan dari sisi hukum apakah dapat dijerat secara pidana atau tidak. Bila dilihat dari penyedia jasa pelacuran melalui media online, sontak pikiran publik akan tertuju pada ketentuan pidana di luar KUHP, yaitu UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016.
Masalahnya, UU ITE tidak menyebut kata prostitusi dalam semua pasalnya. Kecuali norma Pasal 27 yang berisikan perbuatan yang dilarang yaitu mendistribusikan atau membuat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan. Pasal 27 UU ITE tidak dapat digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi online yaitu VA termasuk juga mucikarinya karena tidak berhubungan dengan kejahatan "mendistribusikan atau membuat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan", tetapi berhubungan dengan perbuatan penyedia jasa pelacuran yang dipesan melalui layanan online yang tidak diatur sanksi pidananya dalam UU ITE.
Ada juga UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang tidak mengatur sanksi pidana prostitusi online. UU ini hanya membatasi pada ihwal membuat kecabulan atau eksploitasi seksual melalui gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. UU ini tidak dapat digunakan untuk menjerat artis dan mucikari dalam kasus prostitusi online.
Sama pula dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tidak ada sanksi pidana bagi pelaku prostitusi online bilamana perbuatan tersebut dilakukan secara sukarela tanpa pelakunya merasa tereksploitasi karena UU tersebut hanya secara spesifik mengatur perdagangan orang yang harus dilakukan dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Dengan begitu, UU ini tidak dapat menjerat artis dan mucikarinya karena tidak memenuhi unsur delik dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Satu-satunya ketentuan pidana yang barangkali dapat digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi online adalah KUHP. Namun, Buku Kedua KUHP tentang Kejahatan tidak secara jelas dan tegas mengatur sanksi pidana bagi pelaku prostitusi online . KUHP hanya mengatur beberapa jenis delik pelanggaran kesopanan (zeden delicten ), salah satunya adalah delik persundalan sebagaimana diatur Pasal 296 KUHP: "barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain sebagai pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak seribu rupiah".
Menurut R Soesilo (KUHP serta Komentar-Komentarnya ), pasal itu sebenarnya ditujukan kepada orang yang mengadakan bordil atau tempat pelacuran yang harus dibuktikan bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya. Misalnya, orang tersebut menyediakan rumah atau kamar dan menyediakan tempat tidur dengan menerima pembayaran untuk terjadinya perbuatan cabul. Pasal ini dikenakan kepada mucikari yang sengaja membuka tempat pelacuran. Sedangkan bagi pelacur, pasal ini tidak dapat diterapkan sebagai dasar pemidanaan.
Bila dihubungkan dengan prostitusi online, Pasal 296 KUHP tidak dapat menjerat kalangan artis yang terlibat dalam prostitusi online. Artis dengan tarif Rp80 juta tidak dapat dipidana dengan Pasal 296 KUHP karena unsur tindak pidananya tidak terpenuhi. Yang barangkali dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah mucikari yang menjadi perantara dalam penyediaan jasa pelacuran dengan menerima bayaran dari jasanya memudahkan perbuatan cabul. Namun, pasal ini pun masih lemah untuk menjerat mucikari yang menyediakan jasa pelacuran melalui media online.
Perlu Perubahan
Mencuatnya kasus VA membuka tabir begitu lemahnya hukum pidana materiil dalam menjerat pelaku prostitusi online, baik yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP. Maka itu, seharusnya DPR dan pemerintah melakukan revisi terhadap aturan perundang-undangan terkait, terutama UU ITE dan UU Perdagangan Orang agar prostitusi online dapat dipidana tanpa melanggar asas legalitas dan hak asasi manusia. Hukum pidana harus lebih responsif terhadap berbagai modus kejahatan prostitusi yang berkembang di masyarakat.
Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick (Toward Responsive Law , 1978), hukum responsif harus dilakukan dengan cara mendorong instrumen-instrumen hukum yang lebih dinamis bagi penataan sosial dan perubahan sosial. Hukum harus menjawab keresahan masyarakat atas berbagai fenomena yang melanggar tatanan sosial. Untuk itu, masyarakat membutuhkan perubahan UU terkait karena prostitusi online adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan norma agama, kesusilaan, dan kesopanan dalam masyarakat.
Namun, terlepas dari masih lemahnya hukum pidana materiil untuk menjerat pelaku prostitusi online, upaya pemberantasan prostitusi onlien harus dilakukan dengan mengedepankan due process of law (proses hukum yang adil), bukan dengan arbitrary process (melalui kesewenang-wewenangan aparat penegak hukum). Jangan sampai penegakan hukum dilakukan dengan melanggar hukum itu sendiri.
PROSTITUSI merupakan suatu perbuatan yang terhinakan. Prostitusi atau disebut pelacuran berasal dari bahasa Latin yaitu pro-situare yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan perbuatan persundalan, pencabulan, atau pergendakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pelacuran berasal dari kata lacur yang berarti malang, celaka, sial, gagal, dan buruk laku. Pelacur adalah wanita yang melacur, wanita tunasusila, atau sundal. Pelacuran adalah perihal menjual diri sebagai pelacur, persundalan.
Prostitusi online menjadi pembicaraan hangat di awal 2019 ini. Artis VA digerebek di salah satu hotel di Surabaya karena diduga terlibat prostitusi online. Tarif yang wah senilai Rp80 juta untuk sekali kencan pun menjadi viral di kalangan netizen. Terlepas dari apakah tarif itu benar atau tidak, tapi dari sisi hukum patut dijadikan bahan diskusi karena muncul banyak pertanyaan di publik terkait aspek pidana prostitusi online.
Apakah pelaku prostitusi online, terutama artis yang terlibat, dapat dipidana berdasarkan aturan perundang-undangan? Hukum pidana materiil apa yang dilanggar oleh para pelaku prostitusi online ? Tulisan ini hendak membuka diskursus tersebut.
Asas Legalitas Untuk menentukan apakah suatu perbuatan (feit ) dikategorikan sebagai tindak pidana, maka berlaku asas legalitas yang sangat klasik dalam ilmu hukum pidana: "Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali". Secara harfiah dalam bahasa Indonesia asas tersebut diartikan: "Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya". Sering juga dipakai istilah Latin: "Nullum crimen sine lege stricta ", yaitu "Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas".
Dalam KUHP Indonesia, yang berasal dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda, asas legalitas tersebut dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang bunyinya: "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan". Dalam doktrin hukum, asas legalitas mengandung tiga pengertian: (1) tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; (2) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi; dan (3) aturan hukum pidana tidak berlaku surut (retroaktif).
Menurut Profesor POMPE, arti Pasal 1 ayat (1) KUHP memuat dua aturan yang sangat mendasar dalam perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pertama, apa yang disebut sebagai tindak pidana haruslah dirumuskan dalam suatu ketentuan pidana menurut UU. Kedua, ketentuan pidana tersebut haruslah telah ada terlebih dahulu daripada perbuatan itu sendiri.
Berdasarkan asas legalitas tersebut, maka perlu pengujian terhadap prostitusi online apakah termasuk tindak pidana atau tidak. Suatu perbuatan disebut sebagai tindak pidana, delik, atau strafbaar feit harus merupakan suatu tindakan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang. Pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban tersebut harus terlebih dahulu dinyatakan sebagai tindak pidana oleh aturan perundang-undangan. Kemudian agar suatu perbuatan itu dapat dihukum, harus memenuhi semua unsur delik yang dirumuskan dalam undang-undang.
Merujuk pada asas legalitas dalam KUHP, prostitusi online dapat diperdebatkan dari sisi hukum apakah dapat dijerat secara pidana atau tidak. Bila dilihat dari penyedia jasa pelacuran melalui media online, sontak pikiran publik akan tertuju pada ketentuan pidana di luar KUHP, yaitu UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016.
Masalahnya, UU ITE tidak menyebut kata prostitusi dalam semua pasalnya. Kecuali norma Pasal 27 yang berisikan perbuatan yang dilarang yaitu mendistribusikan atau membuat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan. Pasal 27 UU ITE tidak dapat digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi online yaitu VA termasuk juga mucikarinya karena tidak berhubungan dengan kejahatan "mendistribusikan atau membuat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan", tetapi berhubungan dengan perbuatan penyedia jasa pelacuran yang dipesan melalui layanan online yang tidak diatur sanksi pidananya dalam UU ITE.
Ada juga UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang tidak mengatur sanksi pidana prostitusi online. UU ini hanya membatasi pada ihwal membuat kecabulan atau eksploitasi seksual melalui gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. UU ini tidak dapat digunakan untuk menjerat artis dan mucikari dalam kasus prostitusi online.
Sama pula dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tidak ada sanksi pidana bagi pelaku prostitusi online bilamana perbuatan tersebut dilakukan secara sukarela tanpa pelakunya merasa tereksploitasi karena UU tersebut hanya secara spesifik mengatur perdagangan orang yang harus dilakukan dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Dengan begitu, UU ini tidak dapat menjerat artis dan mucikarinya karena tidak memenuhi unsur delik dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Satu-satunya ketentuan pidana yang barangkali dapat digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi online adalah KUHP. Namun, Buku Kedua KUHP tentang Kejahatan tidak secara jelas dan tegas mengatur sanksi pidana bagi pelaku prostitusi online . KUHP hanya mengatur beberapa jenis delik pelanggaran kesopanan (zeden delicten ), salah satunya adalah delik persundalan sebagaimana diatur Pasal 296 KUHP: "barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain sebagai pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak seribu rupiah".
Menurut R Soesilo (KUHP serta Komentar-Komentarnya ), pasal itu sebenarnya ditujukan kepada orang yang mengadakan bordil atau tempat pelacuran yang harus dibuktikan bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya. Misalnya, orang tersebut menyediakan rumah atau kamar dan menyediakan tempat tidur dengan menerima pembayaran untuk terjadinya perbuatan cabul. Pasal ini dikenakan kepada mucikari yang sengaja membuka tempat pelacuran. Sedangkan bagi pelacur, pasal ini tidak dapat diterapkan sebagai dasar pemidanaan.
Bila dihubungkan dengan prostitusi online, Pasal 296 KUHP tidak dapat menjerat kalangan artis yang terlibat dalam prostitusi online. Artis dengan tarif Rp80 juta tidak dapat dipidana dengan Pasal 296 KUHP karena unsur tindak pidananya tidak terpenuhi. Yang barangkali dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah mucikari yang menjadi perantara dalam penyediaan jasa pelacuran dengan menerima bayaran dari jasanya memudahkan perbuatan cabul. Namun, pasal ini pun masih lemah untuk menjerat mucikari yang menyediakan jasa pelacuran melalui media online.
Perlu Perubahan
Mencuatnya kasus VA membuka tabir begitu lemahnya hukum pidana materiil dalam menjerat pelaku prostitusi online, baik yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP. Maka itu, seharusnya DPR dan pemerintah melakukan revisi terhadap aturan perundang-undangan terkait, terutama UU ITE dan UU Perdagangan Orang agar prostitusi online dapat dipidana tanpa melanggar asas legalitas dan hak asasi manusia. Hukum pidana harus lebih responsif terhadap berbagai modus kejahatan prostitusi yang berkembang di masyarakat.
Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick (Toward Responsive Law , 1978), hukum responsif harus dilakukan dengan cara mendorong instrumen-instrumen hukum yang lebih dinamis bagi penataan sosial dan perubahan sosial. Hukum harus menjawab keresahan masyarakat atas berbagai fenomena yang melanggar tatanan sosial. Untuk itu, masyarakat membutuhkan perubahan UU terkait karena prostitusi online adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan norma agama, kesusilaan, dan kesopanan dalam masyarakat.
Namun, terlepas dari masih lemahnya hukum pidana materiil untuk menjerat pelaku prostitusi online, upaya pemberantasan prostitusi onlien harus dilakukan dengan mengedepankan due process of law (proses hukum yang adil), bukan dengan arbitrary process (melalui kesewenang-wewenangan aparat penegak hukum). Jangan sampai penegakan hukum dilakukan dengan melanggar hukum itu sendiri.
(mhd)