Kesaksian Perdana Penyidik Senior KPK Novel Baswedan

Kamis, 10 Januari 2019 - 21:50 WIB
Kesaksian Perdana Penyidik...
Kesaksian Perdana Penyidik Senior KPK Novel Baswedan
A A A
JAKARTA - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, mengungkap peran sentral terdakwa advokat sekaligus pendiri dan Chairman kantor hukum Lucas & Partners‎, Lucas.

Novel Baswedan dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK sebagai saksi dalam persidangan terdakwa Lucas ‎di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (10/11/2019).

Untuk diketahui, ini menjadi kesaksian perdana Novel dalam sebuah kasus. Setelah dirinya menjalani proses penyembuhan mata akibat peristiwa penyiraman air keras yang dialaminya.

‎Selain Novel, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga menghadirkan Anak Eddy Sindoro, Michael Sindoro, dua staf Custumer Service Garuda Indonesia Muhammad Ridwan dan David Jousa Rubingan serta pegawai Imigrasi Bandara Soekarno Hatta (Soetta), Andi Sofyar.

Perkara Lucas yakni dengan sengaja menghalang‎-halangi penyidikan kasus suap pengurusan beberapa perkara Lippo Group di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tersangka mantan petinggi sejumlah anak perusahaan Lippo Group sekaligus chairman PT Paramount Enterprise International Eddy Sindoro.‎

Novel Baswedan mengaku kenal dengan terdakwa Lucas sejak 1 Oktober 2018. Saat itu tim satuan tugas (satgas) yang dipimpin Novel memeriksa Lucas sebagai saksi untuk tersangka Eddy Sindoro di Gedung Merah Putih KPK. Setelah pemeriksaan tersebut, Lucas ditetapkan sebagai tersangka dan diperiksa sebagai tersangka menghalang-halangi penyidikan.

Novel membeberkan, sekitar September 2018 KPK menerima informasi bahwa Eddy Sindoro yang sebelumnya kabur ke luar negeri ternyata sudah dideportasi otoritas Malaysia ke Indonesia. Tim penyidik lantas turun dan mengecek data perlintasan Imigrasi.

Rupanya data perlintasan Imigrasi Eddy tidak ditemukan. Tim lantas menyita Closed Circuit Television (CCTV) di Bandara Soetta. Rupanya dari CCTV tersebut ditemukan fakta bahwa ada sejumlah pihak yang membantu Eddy bisa keluar dari Indonesia lagi pada 29 Agustus 2018. Eddy tiba di Indonesia dan keluar negeri tanpa melewati perlintasan Imigrasi.

"November 2016 kami tahu ada pembicaraan Eddy Sindoro dengan terdakwa (Lucas). Dalam salah satu pembicaraan, Eddy Sindoro mengatakan ingin pulang dan menghadapi proses hukum. Terdakwa memberikan masukan (ke Eddy) untuk tidak pulang," ujar Novel di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Saat menghubungi Eddy, Lucas diduda menggunakan telepon seluler (ponsel) pihak lain. Komunikasi yang terjadi dengan menggukan aplikasi FaceTime (biasa digunakan di Iphone). Novel mengaku tidak mengetahui akun FaceTime apa yang digunakan ketika itu. Yang pasti pembicaraan tersebut didengar secara saksama oleh tim KPK.

"Suaranya kami kemudian kami uji. Kami meyakini itu (suara) terdakwa (Lucas). Selain itu kami juga ada beberapa rekaman (suara) terdakwa di penyelidikan yang lain dan kami bandingkan (dengan suara di FaceTime), benar suara terdakwa. Dan kami bawa ke ahli forensik saat terdakwa masih jadi tersangka. Ahli menyatakan itu benar identik," tegasnya.

Novel mengungkapkan, penyidik menemukan sejumlah bukti elektronik saat penggeledahan pada 2018 ketika kasus Lucas masih di tahap penyidikan. Bukti elektronik tersebut berupa chating e-mail dan percakapan via FaceTime antara Lucas dengan anak buah pengusaha kakap, Riza Chalid sekaligus Sekretaris PT Gajendra Adhi Sakti saat itu Dina Soraya ‎Putranto.

"Dari bukti elektronik itu memunculkan keterlibatan terdakwa sangat jelas. Dalam pembicaraan itu, terdakwa disebut profesor atau kaisar, yang memanggil dengan sebutan itu adalah Dina dan satu lagi saya lupa," imbuhnya.

Dia mengaku lupa apakah ada satu sebutan lain untuk Lucas yakni 'Tan'. Novel menuturkan, tim menemukan fakta untuk mengeluarkan Eddy Sindoro dari Indonesia ke luar negeri pada 29 Agustus 2018 rupanya Dina membantu Lucas. Dari bukti CCTV Bandara Soetta, rupanya ada Dina di bandara bersama di antaranya Dwi Hendro Wibowo alias Bowo. Bowo merupakan pegawai protokoler direksi dan komisaris PT AirAsia Indonesia sekaligus mantan pegawai PT Angkasa Pura I Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta).

"Jadi dari bukti-bukti elektronik yang kami temukan, Eddy Sindoro dibelokkan (diterbangkan) ke Thailand, setelah tiba di Indonesia," tuturnya.

Novel menambahkan, pada November 2016 KPK menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka pemberi suap pengurusan perkara-perkara Lippo Group. Rupanya sebelum itu dan sebelum pencegahan ke luar negeri efektif pada April 2016, Eddy sudah lebih dulu berada kabur ke luar negeri. Sepanjang 2016 hingga awal Oktober 2018, Eddy beberapa kali dipanggil untuk diperiksa KPK tapi Eddy tidak hadir.

Sekitar awal September 2018, KPK mengirimkan permohonan ke Mabes Polri untuk memasukan Eddy Sindoro dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dengan rednotice. Saat Polri masih memproses rednotice Eddy dan proses penyidikan Lucas berlangsung di KPK, rupanya KPK mendapat informasi bahwa Eddy ingin menyerahkan diri ke KPK.

"Kami dibantu KBRI Singapura (12) Oktober 2018 dan melakukan penangkapan terhadap Eddy Sindoro kemudian dibawa ke Jakarta untuk diperiksa di Jakarta. Jadi Eddy Sindoro tidak ditangkap berdasarkan rednotice. Eddy ditangkap saat Mabes Polri masih memproses rednotice," ucapnya.

Michael Sindoro membeberkan, ‎ayahnya yakni Eddy Sindoro memang saling kenal dengan Lucas. Michael juga sempat dikenalkan oleh Eddy dengan Lucas saat hadir dalan sebuah acara pernikahan pada 2010. Michael mengaku mengetahui ayahnya menjadi tersangka sekitar November 2016 dari pemberitaan media massa. Ketika penetapan tersebut, berdasarkan cerita ibu kandung Michael ternyata sang ayah sudah berada di luar negeri.

Pekan pertama Agustus 2018, Michael dihubungi seseorang yang menyampaikan bahwa Eddy mengalami masalah paspor di Malaysia. Sekitar 8 Agustus, seseorang bernama Mr Tan mendatangi Micahel di rumah Michael di Gading Serpong. Tan rupanya adalah orang yang sebelumnya menghubungi Michael. Saat berkunjung itu, Tan meminta Michael agar menghubungi Chua Chwee Chye alias Jimmy. Tan juga meminta agar Michael ke Kuala Lumpur, Malaysia guna menemui Jimmy.

Setelah mendapat biaya dari sang ibu, Michael terbang ke Malaysia menemui Jimmy sekitar 16 Agustus. Jimmy menceritakan ke Michael, Eddy ditangkap Imigrasi Malaysia karena menggunakan paspor palsu dengan paspor Republi Dominika. Michael perlu menandatangi surat kuasa untuk lawyer.

Ketua JPU Abdul Basir membaca isi BAP Michael. Di dalamnya tertuang keterangan Michael bahwa saat bertemu Jimmy, Michael ditelepon Lucas. Lucas memberikan saran agar supaya Eddy bisa keluar dari tahanan Imigrasi Malaysia secepatnya. 17 Agustus 2018 Lucas menelepon lagi dan menanyakan perkembangan kasus paspor palsu Eddy. Michael menyampaikan bahwa Eddy sudah divonis bersalah dan ditahan di Malaysia. Berikutnya masih dari BAP Michael, Lucas menelepon Michal pada 22 dan 23 Agustus masih menanyakan perkembangan.

Saat dikonfirmasi JPU, Michael meralat isi BAP. Menurut Michael, berdasarkan suara yang menghubunginya pada 16, 17, 22, dan 23 Agustus itu bukan Lucas tapi Mr Tan. Suara itu dibandingkan dengan suara Mr Tan saat Mr Tan menemui Michael pada 8 Agustus.

Singkat cerita, Michael kemudian terbang lagi ke Singapura 29 Agustus 2018. Saat itu Eddy dideportasi dan terbang ke Indonesia bersama Michael dan Jimmy. "Setelah tiba (di Indonesia), papa saya dan Jimmy yang terbang ke Thailand," ucapnya.

Muhammad Ridwan, David Jousa Rubingan, Andi Sofyar mengakui sedikit membantu untuk mengeluarkan kembali Eddy Sindoro pada 29 Agustus 2018. Mereka dimintai tolong oleh Dwi Hendro Wibowo alias Bowo. Andi Sofyar hanya mengecek status cekal Eddy, sedangkan Ridwan dan David terkait booking tiket dan pencetakan boardingpass.

Atas bantuan tersebut, Andi menerima Rp30 juta dari yang dijanjikan dan menerima satu ponsel. Ridwan menerima Rp500 ribu dan satu ponsel. David menerima Rp500 ribu.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1484 seconds (0.1#10.140)