Hilangkan Ego Sektoral
A
A
A
PEMERINTAH pusat ikut berupaya mengurai persoalan kemacetan ibu kota DKI Jakarta. Persoalan kemacetan ibu kota memang bukan hanya milik Pemerintah DKI Jakarta, namun juga menjadi persoalan pemerintahan Provinsi Jawa Barat dan Banten. Demikian juga kementerian terkait harus mempunyai solusi membantu persoalan klasik ibu kota ini.
Beberapa terobosan telah dilakukan Pemerintah DKI Jakarta dengan mengembangkan sistem transportasi massal salah satunya Transjakarta. Pembangunan MRT tahap pertama yang segera beroperasi juga sebagai upaya memecah kemacetan di pusat kota DKI Jakarta. Begitu juga dengan LRT yang sudah dan sedang dalam proses penyelesaian. Keberadaan Commuter Line oleh PT KA juga membantu memecahkan persoalan kemacetan. Selain langkah di atas, masih ada kebijakan-kebijakan, seperti ganjil genap, rekayasa lalu lintas, dan pembangunan jalan layang atau underpass, juga membantu persoalan macet.
Perlahan tapi pasti, moda transportasi massal tersebut telah menjadi bagian penting dari masyarakat di greater DKI Jakarta (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Bahkan, Transjakarta perlahan tapi pasti sudah menggantikan bus-bus lama, seperti kopaja, metromini, atau bus lainnya. Bukan hanya secara fisik yang berubah, tapi sistem pengelolaan bermuara pada kenyamanan penumpang juga sudah dilakukan sehingga Transjakarta maupun Commuter Line menjadi bagian penting mobilisasi masyarakat greater Jakarta.
Upaya itu memang menjadi penting meski belum menyelesaikan 100% persoalan kemacetan. Namun, ini menjadi langkah tepat untuk menjadi solusi persoalan kemacetan di ibu kota. Apresiasi tentu harus kita alamatkan pada pemerintah atau BUMN yang mampu memberikan pelayanan transportasi massal jauh lebih baik.
Akan menjadi lebih baik jika semua kebijakan tersebut di atas terintegrasi. Bukan hanya kebijakan dalam pengelolaan transportasi massal yang nyaman dan aman, tapi kebijakan-kebijakan seperti ganjil genap, rekayasa lalu lintas, dan pembangunan infrastruktur jalan, benar-benar terintegrasi. Bahkan, sistem transportasi ini juga harus terintegrasi dengan pembangunan bangunan-bangunan yang ada di wilayah greater Jakarta.
Konsep transit oriented development (TOD) harus benar-benar bisa diwujudkan karena ini juga menjadi solusi jitu menyelesaikan persoalan kemacetan. Integrasi pengelolaan harus dilakukan karena memang kebijakan-kebijakan di atas masuk lintas pemerintah dan kementerian. Cara ini tampaknya akan lebih jitu sehingga tidak ada tumpang tindih kebijakan dalam mengatasi kemacetan di ibu kota.
Selain itu, juga tidak ada kebijakan saling menunggu karena persoalan kewenangan. Pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan untuk semakin mengintegrasikan pengelolaan ini. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Wapres Jusuf Kalla (JK) untuk memimpin pengelolaan yang terintegrasi.
Semoga ini bukan hanya wacana atau hasil di atas meja rapat. Beberapa menteri terkait dan gubernur terkait hadir saat Presiden Jokowi meminta pengelolaan terintegrasi untuk persoalan kemacetan ini. Meski sudah ada Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), pemerintah tampaknya ingin memperluas hingga melibatkan unsur pemerintahan daerah. Memang aneh ketika BPTJ terbentuk untuk menyelesaikan persoalan di pemerintah daerah, namun belum melibatkan pemerintah daerah.
Kunci dari rencana kebijakan yang dikatakan Presiden Jokowi adalah integrasi atau bersinergi dan kolaborasi. Artinya, kebijakan semua pihak, baik kementerian atau pemerintah daerah, tidak boleh tumpang tindih dan saling menunggu. Kunci integrasi atau sinergi-kolaborasi adalah menghilangkan ego sektoral. Jika ego sektoral masih ada, dijamin integrasi pengelolaan transportasi di Jabodetabek tidak akan menjadi solusi kemacetan ibu kota.
Integrasi tidak boleh ada sekadar kepentingan sektoral. Integrasi harus dilakukan dialog terus menerus untuk menemukan kata sepakat. Kebijakan transpotasi antarkementerian dengan Pemerintah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, harus benar-benar menjadi satu kesatuan. Inilah saatnya kementerian dan pemerintah daerah bersinergi-kolaborasi untuk menyelesaikan persoalan klasik yang selalu dikeluhkan masyarakat Jabodetabek.
Beberapa terobosan telah dilakukan Pemerintah DKI Jakarta dengan mengembangkan sistem transportasi massal salah satunya Transjakarta. Pembangunan MRT tahap pertama yang segera beroperasi juga sebagai upaya memecah kemacetan di pusat kota DKI Jakarta. Begitu juga dengan LRT yang sudah dan sedang dalam proses penyelesaian. Keberadaan Commuter Line oleh PT KA juga membantu memecahkan persoalan kemacetan. Selain langkah di atas, masih ada kebijakan-kebijakan, seperti ganjil genap, rekayasa lalu lintas, dan pembangunan jalan layang atau underpass, juga membantu persoalan macet.
Perlahan tapi pasti, moda transportasi massal tersebut telah menjadi bagian penting dari masyarakat di greater DKI Jakarta (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Bahkan, Transjakarta perlahan tapi pasti sudah menggantikan bus-bus lama, seperti kopaja, metromini, atau bus lainnya. Bukan hanya secara fisik yang berubah, tapi sistem pengelolaan bermuara pada kenyamanan penumpang juga sudah dilakukan sehingga Transjakarta maupun Commuter Line menjadi bagian penting mobilisasi masyarakat greater Jakarta.
Upaya itu memang menjadi penting meski belum menyelesaikan 100% persoalan kemacetan. Namun, ini menjadi langkah tepat untuk menjadi solusi persoalan kemacetan di ibu kota. Apresiasi tentu harus kita alamatkan pada pemerintah atau BUMN yang mampu memberikan pelayanan transportasi massal jauh lebih baik.
Akan menjadi lebih baik jika semua kebijakan tersebut di atas terintegrasi. Bukan hanya kebijakan dalam pengelolaan transportasi massal yang nyaman dan aman, tapi kebijakan-kebijakan seperti ganjil genap, rekayasa lalu lintas, dan pembangunan infrastruktur jalan, benar-benar terintegrasi. Bahkan, sistem transportasi ini juga harus terintegrasi dengan pembangunan bangunan-bangunan yang ada di wilayah greater Jakarta.
Konsep transit oriented development (TOD) harus benar-benar bisa diwujudkan karena ini juga menjadi solusi jitu menyelesaikan persoalan kemacetan. Integrasi pengelolaan harus dilakukan karena memang kebijakan-kebijakan di atas masuk lintas pemerintah dan kementerian. Cara ini tampaknya akan lebih jitu sehingga tidak ada tumpang tindih kebijakan dalam mengatasi kemacetan di ibu kota.
Selain itu, juga tidak ada kebijakan saling menunggu karena persoalan kewenangan. Pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan untuk semakin mengintegrasikan pengelolaan ini. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Wapres Jusuf Kalla (JK) untuk memimpin pengelolaan yang terintegrasi.
Semoga ini bukan hanya wacana atau hasil di atas meja rapat. Beberapa menteri terkait dan gubernur terkait hadir saat Presiden Jokowi meminta pengelolaan terintegrasi untuk persoalan kemacetan ini. Meski sudah ada Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), pemerintah tampaknya ingin memperluas hingga melibatkan unsur pemerintahan daerah. Memang aneh ketika BPTJ terbentuk untuk menyelesaikan persoalan di pemerintah daerah, namun belum melibatkan pemerintah daerah.
Kunci dari rencana kebijakan yang dikatakan Presiden Jokowi adalah integrasi atau bersinergi dan kolaborasi. Artinya, kebijakan semua pihak, baik kementerian atau pemerintah daerah, tidak boleh tumpang tindih dan saling menunggu. Kunci integrasi atau sinergi-kolaborasi adalah menghilangkan ego sektoral. Jika ego sektoral masih ada, dijamin integrasi pengelolaan transportasi di Jabodetabek tidak akan menjadi solusi kemacetan ibu kota.
Integrasi tidak boleh ada sekadar kepentingan sektoral. Integrasi harus dilakukan dialog terus menerus untuk menemukan kata sepakat. Kebijakan transpotasi antarkementerian dengan Pemerintah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, harus benar-benar menjadi satu kesatuan. Inilah saatnya kementerian dan pemerintah daerah bersinergi-kolaborasi untuk menyelesaikan persoalan klasik yang selalu dikeluhkan masyarakat Jabodetabek.
(rhs)