Hanura Beberkan Bukti Komitmen Jokowi terhadap Pemberantasan Korupsi
A
A
A
JAKARTA - Ketua Fraksi Hanura, Inas N Zubir menilai kubu Prabowo-Sandi sedang panik karena kerap mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal dalam pemberantasan korupsi atau tren di era Jokowi menyedihkan. Dia justru melihat sebaliknya penanganan korupsi di era Jokowi justru semakin membaik akibat sejumlah kebijakan pemerintah terutama kebijakan pencegahan korupsi.
Yang pertama, kata Inas, Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dimana kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah wajib mengimplementasikan Inpres tersebut.
"Inpres ini fokus kepada pencegahan tindak pidana korupsi dan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi untuk diimplementasikan dalam tujuh sektor, yakni industri ekstraktif/pertambangan, infrastruktur, sektor privat, penerimaan negara, tata niaga, BUMN dan pengadaan barang dan jasa," ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews, Senin (7/1/2018).
Kedua, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sempat merencanakan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dimana dalam draf revisi PP No 99/2012, ketentuan justice collaborator (JC) sebagai syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika dihilangkan.
"Karena revisi PP 99/2012 dianggap mempermudah remisi bagi koruptor dengan hilangnya syarat menjadi JC, maka Jokowi menolak untuk menanda tangani revisi yang tengah disusun Kementerian Hukum dan HAM apabila sampai di mejanya," ucap dia.
Kemudian yang ketiga, Juru Bicara TKN ini menuturkan pada tanggal Juli 2018, Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, dimana Perpres mengamanatkan pembentukan Tim Nasional Pencegahan Korupsi dengan tugas mengkoordinasikan pelaksanakan strategis nasional pemberantasan korupsi sekaligus menyampaikan laporan kepada presiden.
Ketentuan dalam Perpres ini adalah setiap menteri, pimpinan lembaga dan kepala daerah, juga wajib melaporkan aksi pencegahan korupsi kepada Tim Nasional Pencegahan Korupsi berkala setiap tiga bulan, dimana Perpres ini fokus kepada perizinan dan tata niaga, keuangan negara dan penegakkan hukum dan reformasi birokrasi.
"Dalam Perpres KPK berperan sebagai koordinator dan supervisi yang melibatkan kementerian dan lembaga pemerintah lainnya, misalnya Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala Staf Presiden," jelasnya.
Selanjutnya, Pemerintahan Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2018 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dimaan dalam PP 43/2018 ini masyarakat akan memperoleh reward sampai dengan Rp200 juta apabila memberikan informasi yang akurat kepada penegak hukum tentang dugaan korupsi.
Yang terakhir, kata Inas, jumlah penyidik yang sebelumnya hanya lima puluhan orang saja terus ditingkatkan sehingga sekarang mencapai dua ratusan orang. Dengan demikian jumlah tindak pidana korupsi yang sebelumnya masih lolos dari pantauan KPK di era SBY, akhirnya dapat ditangani lebih signifikan jadi tidak heran jika banyak pejabat publik yang tertangkap oleh KPK di era Jokowi ini.
"Bukti bahwa komitmen tersebut benar-benar berhasil adalah menurut Transparency International peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia membaik dari peringkat nilai IPK 32 di tahun 2013 menjadi peringkat nilai IPK 37 di tahun 2017," tutupnya.
Yang pertama, kata Inas, Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dimana kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah wajib mengimplementasikan Inpres tersebut.
"Inpres ini fokus kepada pencegahan tindak pidana korupsi dan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi untuk diimplementasikan dalam tujuh sektor, yakni industri ekstraktif/pertambangan, infrastruktur, sektor privat, penerimaan negara, tata niaga, BUMN dan pengadaan barang dan jasa," ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews, Senin (7/1/2018).
Kedua, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sempat merencanakan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dimana dalam draf revisi PP No 99/2012, ketentuan justice collaborator (JC) sebagai syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika dihilangkan.
"Karena revisi PP 99/2012 dianggap mempermudah remisi bagi koruptor dengan hilangnya syarat menjadi JC, maka Jokowi menolak untuk menanda tangani revisi yang tengah disusun Kementerian Hukum dan HAM apabila sampai di mejanya," ucap dia.
Kemudian yang ketiga, Juru Bicara TKN ini menuturkan pada tanggal Juli 2018, Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, dimana Perpres mengamanatkan pembentukan Tim Nasional Pencegahan Korupsi dengan tugas mengkoordinasikan pelaksanakan strategis nasional pemberantasan korupsi sekaligus menyampaikan laporan kepada presiden.
Ketentuan dalam Perpres ini adalah setiap menteri, pimpinan lembaga dan kepala daerah, juga wajib melaporkan aksi pencegahan korupsi kepada Tim Nasional Pencegahan Korupsi berkala setiap tiga bulan, dimana Perpres ini fokus kepada perizinan dan tata niaga, keuangan negara dan penegakkan hukum dan reformasi birokrasi.
"Dalam Perpres KPK berperan sebagai koordinator dan supervisi yang melibatkan kementerian dan lembaga pemerintah lainnya, misalnya Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala Staf Presiden," jelasnya.
Selanjutnya, Pemerintahan Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2018 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dimaan dalam PP 43/2018 ini masyarakat akan memperoleh reward sampai dengan Rp200 juta apabila memberikan informasi yang akurat kepada penegak hukum tentang dugaan korupsi.
Yang terakhir, kata Inas, jumlah penyidik yang sebelumnya hanya lima puluhan orang saja terus ditingkatkan sehingga sekarang mencapai dua ratusan orang. Dengan demikian jumlah tindak pidana korupsi yang sebelumnya masih lolos dari pantauan KPK di era SBY, akhirnya dapat ditangani lebih signifikan jadi tidak heran jika banyak pejabat publik yang tertangkap oleh KPK di era Jokowi ini.
"Bukti bahwa komitmen tersebut benar-benar berhasil adalah menurut Transparency International peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia membaik dari peringkat nilai IPK 32 di tahun 2013 menjadi peringkat nilai IPK 37 di tahun 2017," tutupnya.
(kri)