Soal Wadah Tunggal Profesi Advokat, MK Diminta Segera Buat Keputusan
A
A
A
JAKARTA - Pada hari ini Senin 17 September 2018 kembali digelar Sidang Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK). Yang menjadi Pemohon Bahrul Ilmi Yakup, Shalih Mangara Sitompul, Gunadi Handoko, Rynaldo P Batubara, Ismail Ngaggon yang merupakan Para advokat yang tergabung dalam organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Iwan Kurniawan yang merupakan calon advokat.
Pengajuan permohonan ini berkaitan dengan ketentuan mengenai wadah tunggal advokat dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mempersoalkan mengenai “Frasa organisasi advokat” dalam Pasal 1 ayat (4); Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat 1 huruf f; Pasal 4 ayat (3); Pasal 7 ayat (2); Pasal 8 ayat (1) huruf C, Pasal 11; Pasal 12 ayat (1) ; Pasal 13 ayat (1) dan (3); Pasal 23 ayat (1); Pasal 26 ayat (1) hingga ayat (7); Pasal 27 ayat (1), (3), (5); Pasal 28 ayat (1), (2) dan (3); Pasal 29 ayat (1), (2), (4) dan (5); Pasal 30 ayat (1); Pasal 32 ayat (3) dan (4); Pasal 33; dan Penjelasan Pasal 3 huruf F dan Pasal 5 ayat (2)
Para Pemohon berpendapat organisasi advokat boleh saja banyak tetapi organisasi advokat yang menjalankan kewenangan dalam UU Advokat harusnya ditetapkan hanya satu dalam hal ini Peradi agar ada kepastian hukum. Menurut Bahrul Ulum Yakup, selaku Pemohon pertama dalam perkara aquo menyampaikan bahwa Frasa organisasi advokat yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut di atas mengandung lebih dari satu pengertian sehingga menimbulkan multi tafsir (ambigu).
"Hal ini melenceng dari ketentuan norma hukum yang baik yaitu harus bersifat jelas, padat dan lengkap/utuh,” ujarnya lewat rilis yang diterima SINDOnews, Selasa (18/12/2018).
Shalih Mangara Sitompul, selaku Pemohon kedua menyampaikan pendapatnya saat ini Frasa Organisasi Advokat telah dimanipulasi oleh berbagai pihak sehingga banyak bermunculan organisasi advokat yang mengklaim dirinya seolah-olah sah dan berwenang menjalankan organisasi advokat sesuai ketentuan dalam UU Advokat.
"Seperti menyelanggarakan pendidikan calon advokat, mengangkat advokat, menyelenggarakan ujian profesi advokat, melakukan pengawasan dan menjatuhkan sanksi etik kepada advokat, dan kegiatan lain yang diatur oleh ketentuan UU Advokat, hal ini jelas tidak benar,” tegasnya.
Pada sidang hari ini, Pemohon mengajukan Prof Dr Yusril Ihza Mahendra selaku Ahli yang memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait menguji frasa kata “Organisasi Advokat” yang terdapat dalam keseluruhan norma UU tersebut terhadap norma konstitusi di dalam UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) yang memuat norma adanya hak dan jaminan kepastian hukum yang adil bagi setiap orang.
Yusril Ihza Mahendra dipandang sebagai salah seorang saksi sejarah dan pelaku yang secara aktif terlibat dalam perumusan RUU Advokat ini dan ketika itu bertindak mewakili Presiden RI Megawati Sorkarnoputri membahas RUU ini dengan DPR sampai selesai dan disepakati bersama untuk disahkan menjadi UU.
“Terhadap organisasi profesi, demi menjaga kualitas profesionalitas seseorang dalam menjalankan profesinya, pemerintah menganut kebijakan untuk membentuk hanya satu organisasi dalam profesi tertentu. Hal ini berlaku antara lain pada profesi jabatan notaris, dokter, tenaga kesehatan, insinyur dan advokat," ujar Yusril.
"Pembatasan ini bukanlah untuk mengekang kebebasan berserikat dan berkumpul dalam arti yang luas, namun semata-mata ditujukan untuk menjaga standar, kualitas dan profesionalitas, penegakan etika profesi, penjatuhan sanksi dan seterusnya, ketika seseorang dalam menjalankan profesinya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pembatasan seperti itu hanya dimungkinkan dilakukan dengan uu,” sambungnya.
Yusril berpendapat alangkah baiknya jika MK yang salah satu tugasnya adalah menjaga tegaknya negara hukum yang konstitusional berdasarkan UUD 1945 untuk mengambil keputusan guna mengakhiri sifat multi tafsir terhadap frasa kata Organisasi Advokat dalam UU Advokat ini. Putusan ini akan menjadi sangat penting dan monumental untuk melengkapi penegasan MK dalam pertimbangan hukum putusan sebelumnya yang dengan tegas telah menyatakan bahwa Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat pada dasarnya adalah “organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri”.
"Karena 'dia' adalah 'organ negara' maka sifat multi tafsirnya harus dihilangkan dan penjelmaannya ke dalam wadah organisasi seharusnya bersifat tunggal, bukan banyak seperti terjadi sekarang ini," paparnya.
Sidang selanjutnya akan digelar kembali pada kamis tanggal 10 Januari 2018.
Pengajuan permohonan ini berkaitan dengan ketentuan mengenai wadah tunggal advokat dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mempersoalkan mengenai “Frasa organisasi advokat” dalam Pasal 1 ayat (4); Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat 1 huruf f; Pasal 4 ayat (3); Pasal 7 ayat (2); Pasal 8 ayat (1) huruf C, Pasal 11; Pasal 12 ayat (1) ; Pasal 13 ayat (1) dan (3); Pasal 23 ayat (1); Pasal 26 ayat (1) hingga ayat (7); Pasal 27 ayat (1), (3), (5); Pasal 28 ayat (1), (2) dan (3); Pasal 29 ayat (1), (2), (4) dan (5); Pasal 30 ayat (1); Pasal 32 ayat (3) dan (4); Pasal 33; dan Penjelasan Pasal 3 huruf F dan Pasal 5 ayat (2)
Para Pemohon berpendapat organisasi advokat boleh saja banyak tetapi organisasi advokat yang menjalankan kewenangan dalam UU Advokat harusnya ditetapkan hanya satu dalam hal ini Peradi agar ada kepastian hukum. Menurut Bahrul Ulum Yakup, selaku Pemohon pertama dalam perkara aquo menyampaikan bahwa Frasa organisasi advokat yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut di atas mengandung lebih dari satu pengertian sehingga menimbulkan multi tafsir (ambigu).
"Hal ini melenceng dari ketentuan norma hukum yang baik yaitu harus bersifat jelas, padat dan lengkap/utuh,” ujarnya lewat rilis yang diterima SINDOnews, Selasa (18/12/2018).
Shalih Mangara Sitompul, selaku Pemohon kedua menyampaikan pendapatnya saat ini Frasa Organisasi Advokat telah dimanipulasi oleh berbagai pihak sehingga banyak bermunculan organisasi advokat yang mengklaim dirinya seolah-olah sah dan berwenang menjalankan organisasi advokat sesuai ketentuan dalam UU Advokat.
"Seperti menyelanggarakan pendidikan calon advokat, mengangkat advokat, menyelenggarakan ujian profesi advokat, melakukan pengawasan dan menjatuhkan sanksi etik kepada advokat, dan kegiatan lain yang diatur oleh ketentuan UU Advokat, hal ini jelas tidak benar,” tegasnya.
Pada sidang hari ini, Pemohon mengajukan Prof Dr Yusril Ihza Mahendra selaku Ahli yang memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait menguji frasa kata “Organisasi Advokat” yang terdapat dalam keseluruhan norma UU tersebut terhadap norma konstitusi di dalam UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) yang memuat norma adanya hak dan jaminan kepastian hukum yang adil bagi setiap orang.
Yusril Ihza Mahendra dipandang sebagai salah seorang saksi sejarah dan pelaku yang secara aktif terlibat dalam perumusan RUU Advokat ini dan ketika itu bertindak mewakili Presiden RI Megawati Sorkarnoputri membahas RUU ini dengan DPR sampai selesai dan disepakati bersama untuk disahkan menjadi UU.
“Terhadap organisasi profesi, demi menjaga kualitas profesionalitas seseorang dalam menjalankan profesinya, pemerintah menganut kebijakan untuk membentuk hanya satu organisasi dalam profesi tertentu. Hal ini berlaku antara lain pada profesi jabatan notaris, dokter, tenaga kesehatan, insinyur dan advokat," ujar Yusril.
"Pembatasan ini bukanlah untuk mengekang kebebasan berserikat dan berkumpul dalam arti yang luas, namun semata-mata ditujukan untuk menjaga standar, kualitas dan profesionalitas, penegakan etika profesi, penjatuhan sanksi dan seterusnya, ketika seseorang dalam menjalankan profesinya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pembatasan seperti itu hanya dimungkinkan dilakukan dengan uu,” sambungnya.
Yusril berpendapat alangkah baiknya jika MK yang salah satu tugasnya adalah menjaga tegaknya negara hukum yang konstitusional berdasarkan UUD 1945 untuk mengambil keputusan guna mengakhiri sifat multi tafsir terhadap frasa kata Organisasi Advokat dalam UU Advokat ini. Putusan ini akan menjadi sangat penting dan monumental untuk melengkapi penegasan MK dalam pertimbangan hukum putusan sebelumnya yang dengan tegas telah menyatakan bahwa Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat pada dasarnya adalah “organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri”.
"Karena 'dia' adalah 'organ negara' maka sifat multi tafsirnya harus dihilangkan dan penjelmaannya ke dalam wadah organisasi seharusnya bersifat tunggal, bukan banyak seperti terjadi sekarang ini," paparnya.
Sidang selanjutnya akan digelar kembali pada kamis tanggal 10 Januari 2018.
(kri)