Genjot Ekspor Kunci Atasi Defisit NPI
A
A
A
Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) kembali catat defisit. Kali ini, defisit periode November 2018 menembus USD2,05 miliar atau lebih tinggi dibanding bulan lalu yang tercetak sebesar USD1,82 miliar. Persoalan kinerja ekspor menjadi sorotan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang dinilai masih dalam kondisi tertekan. Dalam kondisi global yang tak menentu sangat berpengaruh pada kinerja ekspor, sebab sejumlah negara cenderung berhati-hati dalam menjalankan aktivitas impor. Selama ini, China yang menjadi tujuan ekspor terbesar Indonesia, perekonomiannya juga sedang bermasalah baik secara internal maupun akibat dari perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).
Adapun negara yang menjadi sasaran ekspor sebagai pasar baru, juga secara ekonomi dalam tendensi melemah sehingga dalam menyerap ekspor juga terbatas. Walau demikian, pemerintah tetap bertekad memacu kinerja ekspor dengan meningkatkan daya saing melalui sejumlah insentif yang dipersiapkan di tengah situasi perekonomian global yang tidak menentu. Sebaliknya, kebijakan impor akan terus dievaluasi termasuk kebijakan sebelumnya yang telah menaikkan tarif impor sebanyak 1.147 komoditas.
Dengan demikian, defisit NPI sebagaimana dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk periode Januari hingga November 2018 tercatat USD7,52 miliar. Defisit NPI secara kumulatif tersebut dipicu oleh tingginya angka impor minyak dan gas (migas). Tengok saja, ekspor migas hanya menembus USD15,658 miliar, sebaliknya impor migas meroket hingga mencapai USD27,81 miliar. Pemerintah belum menemukan solusi yang tepat untuk meminimalkan angka impor migas, walau berbagai kebijakan sudah ditempuh. Buktinya, angka impor migas tetap tidak terkendali.
Sebelumnya, publikasi terbaru BPS membeberkan defisit NPI periode November 2018 tercatat USD2,05 miliar, adalah angka defisit tertinggi sepanjang periode Januari hingga akhir bulan lalu. Kali ini, defisit NPI dipicu oleh defisit sektor migas sebesar USD1,46 miliar dan defisit sektor nonmigas sebesar USD0,58 miliar. Kenaikan defisit November 2018 termasuk melonjak tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu di mana tercatat surplus sebesar USD221 miliar. Sejumlah ekonom sudah memprediksi NPI bulan lalu kembali alami defisit yang ditandai arus impor yang makin deras dan tidak diimbangi pertumbuhan ekspor yang memadai.
Selama November 2018, berdasarkan data BPS, total nilai impor tercatat USD16,88 miliar atau setara dengan Rp244,76 triliun pada kurs Rp14.500. Angka impor tersebut melonjak sekitar 11,68% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Kenaikan nilai impor tersebut turut dikontribusi oleh impor nonmigas berupa impor sayuran yang naik senilai USD57 juta atau 140% dari bulan lalu. Impor sayuran tersebut didominasi dari China yang tercatat sebanyak 94 ton atau senilai USD81 juta. Lalu diikuti dari negeri Afrika, yakni Etiopia sebanyak 3 ton atau senilai USD3,04 juta dan dari Negeri Kanguru, Australia sebanyak 1,4 ton atau senilai USD1,4 juta.
Sementara itu, nilai ekspor sepanjang November 2018 tercatat USD14,83 miliar atau terjadi penurunan sekitar 6,69% dibandingkan Oktober lalu. Pemicu anjloknya angka ekspor salah satunya disebabkan terjadinya penurunan ekspor migas yang mencapai 10,75%. Sebaliknya, ekspor komoditas pertanian mencatat kenaikan sekitar 1,29% atau senilai USD320 juta. Untuk menggenjot kinerja ekspor dalam situasi perekonomian global yang tidak kondusif memang tidak gampang, tetapi itulah pilihan paling tepat untuk membuat NPI tidak terbelenggu oleh defisit.
Pembukaan pasar baru atau negara tujuan ekspor di luar pasar tradisional dalam hal ini China, AS, dan Jepang dan sejumlah negara Asia lainnya tak bisa ditunda lagi. Kabar terbaru, pemerintah telah menandatangani perjanjian kerja sama Ekonomi Komprehensif Indonesia—European Free Trade Association (EFTA) yang melibatkan empat negara Eropa meliputi Swiss, Liechtenstein, Islandia, dan Norwegia. Bagi Indonesia, melalui kerja sama itu dapat meningkatkan akses pasar untuk berbagai produk, di antaranya produk perikanan, tekstil, dan furnitur. Sebaliknya, rekanan empat negara tersebut bisa bebas mengakses pasar Indonesia dengan berbagai produk unggulannya, seperti obat-obatan hingga parfum. Kini persoalan di depan mata adalah bagaimana mendorong dunia usaha untuk memanfaatkan pasar baru itu.
Adapun negara yang menjadi sasaran ekspor sebagai pasar baru, juga secara ekonomi dalam tendensi melemah sehingga dalam menyerap ekspor juga terbatas. Walau demikian, pemerintah tetap bertekad memacu kinerja ekspor dengan meningkatkan daya saing melalui sejumlah insentif yang dipersiapkan di tengah situasi perekonomian global yang tidak menentu. Sebaliknya, kebijakan impor akan terus dievaluasi termasuk kebijakan sebelumnya yang telah menaikkan tarif impor sebanyak 1.147 komoditas.
Dengan demikian, defisit NPI sebagaimana dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk periode Januari hingga November 2018 tercatat USD7,52 miliar. Defisit NPI secara kumulatif tersebut dipicu oleh tingginya angka impor minyak dan gas (migas). Tengok saja, ekspor migas hanya menembus USD15,658 miliar, sebaliknya impor migas meroket hingga mencapai USD27,81 miliar. Pemerintah belum menemukan solusi yang tepat untuk meminimalkan angka impor migas, walau berbagai kebijakan sudah ditempuh. Buktinya, angka impor migas tetap tidak terkendali.
Sebelumnya, publikasi terbaru BPS membeberkan defisit NPI periode November 2018 tercatat USD2,05 miliar, adalah angka defisit tertinggi sepanjang periode Januari hingga akhir bulan lalu. Kali ini, defisit NPI dipicu oleh defisit sektor migas sebesar USD1,46 miliar dan defisit sektor nonmigas sebesar USD0,58 miliar. Kenaikan defisit November 2018 termasuk melonjak tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu di mana tercatat surplus sebesar USD221 miliar. Sejumlah ekonom sudah memprediksi NPI bulan lalu kembali alami defisit yang ditandai arus impor yang makin deras dan tidak diimbangi pertumbuhan ekspor yang memadai.
Selama November 2018, berdasarkan data BPS, total nilai impor tercatat USD16,88 miliar atau setara dengan Rp244,76 triliun pada kurs Rp14.500. Angka impor tersebut melonjak sekitar 11,68% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Kenaikan nilai impor tersebut turut dikontribusi oleh impor nonmigas berupa impor sayuran yang naik senilai USD57 juta atau 140% dari bulan lalu. Impor sayuran tersebut didominasi dari China yang tercatat sebanyak 94 ton atau senilai USD81 juta. Lalu diikuti dari negeri Afrika, yakni Etiopia sebanyak 3 ton atau senilai USD3,04 juta dan dari Negeri Kanguru, Australia sebanyak 1,4 ton atau senilai USD1,4 juta.
Sementara itu, nilai ekspor sepanjang November 2018 tercatat USD14,83 miliar atau terjadi penurunan sekitar 6,69% dibandingkan Oktober lalu. Pemicu anjloknya angka ekspor salah satunya disebabkan terjadinya penurunan ekspor migas yang mencapai 10,75%. Sebaliknya, ekspor komoditas pertanian mencatat kenaikan sekitar 1,29% atau senilai USD320 juta. Untuk menggenjot kinerja ekspor dalam situasi perekonomian global yang tidak kondusif memang tidak gampang, tetapi itulah pilihan paling tepat untuk membuat NPI tidak terbelenggu oleh defisit.
Pembukaan pasar baru atau negara tujuan ekspor di luar pasar tradisional dalam hal ini China, AS, dan Jepang dan sejumlah negara Asia lainnya tak bisa ditunda lagi. Kabar terbaru, pemerintah telah menandatangani perjanjian kerja sama Ekonomi Komprehensif Indonesia—European Free Trade Association (EFTA) yang melibatkan empat negara Eropa meliputi Swiss, Liechtenstein, Islandia, dan Norwegia. Bagi Indonesia, melalui kerja sama itu dapat meningkatkan akses pasar untuk berbagai produk, di antaranya produk perikanan, tekstil, dan furnitur. Sebaliknya, rekanan empat negara tersebut bisa bebas mengakses pasar Indonesia dengan berbagai produk unggulannya, seperti obat-obatan hingga parfum. Kini persoalan di depan mata adalah bagaimana mendorong dunia usaha untuk memanfaatkan pasar baru itu.
(pur)