Menunggu Perpres Kendaraan Listrik
A
A
A
Pengembangan kendaraan listrik bukan sekadar latah tetapi menyangkut kebutuhan di masa depan. Kendaraan listrik memiliki sejumlah keunggulan, di antaranya hemat energi, tanpa emisi, dan ramah lingkungan, serta biaya operasional lebih rendah dibandingkan kendaraan konvensional.
Sebagai bukti pemerintah serius dalam pengembangan kendaraan listrik, Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menandatangani peraturan presiden (perpres) yang akan menjadi payung hukum industri itu. Paling lambat awal 2019, perpres sudah diterbitkan.
Saat ini kebijakan tersebut masih dalam proses penyelarasan sejumlah kementerian, meliputi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perhubungan. Selain menyiapkan aturan sejumlah infrastruktur pendukung, keberadaan kendaraan listrik sedang disiapkan, misalnya industri pembuat baterai hingga stasiun penyediaan listrik umum (SPLU).
Upaya pemerintah dalam mengambangkan kendaraan emisi karbon rendah (low carbon emission vehicle /LECV) termasuk kendaraan listrik memang tidak pernah surut. Untuk mendorong industri yang mengembangkan LECV, pemerintah siap memberikan sejumlah insentif dalam bentuk fiskal.
Hanya, menghadirkan kendaraan listrik harus didukung industri pendukung yang memadai, misalnya baterai kendaraan listrik. Saat ini negara yang memproduksi baterai kendaraan listrik masih terbatas, yakni China, Jepang, dan Korea Selatan (Korsel). Untuk menghindari ketergantungan impor baterai maka tidak ada jalan selain membangun pabrik baterai.
Hanya, untuk memproduksi baterai sendiri dibutuhkan investasi yang tidak kecil, paling tidak memerlukan dana Rp140 triliun. Kabarnya, sejumlah investor asing terutama dari China mulai menyatakan minat untuk berinvestasi pada industri baterai di Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga mendorong PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) untuk menghadirkan baterai kendaraan listrik yang berbahan dasar litium. Pemerintah menilai pengembangan baterai listrik di dalam negeri terutama oleh badan usaha milik negara (BUMN) dinilai sangat strategis.
Pasalnya, baterai listrik tidak hanya untuk dikonsumsi kendaraan listrik, tetapi juga sejumlah peralatan elektronik yang menjadi tren di masa depan. Salah satu kendala dalam memproduksi kendaraan listrik adalah produksi baterai di dalam negeri belum bisa. Akibatnya, harga kendaraan listrik dipastikan jauh lebih mahal dari kendaraan konvensional.
Bagi Indonesia, pengembangan kendaraan listrik bukan sekadar ikut kecenderungan dari negara-negara maju yang sedang giat-giatnya mengembangkan mobil listrik, tetapi salah satu upaya dalam mengurangi ketergantungan impor minyak. Tengok saja, produksi minyak di dalam negeri saat ini sebanyak 775.000 barel per hari, sementara konsumsi minyak sekitar 1,3 juta barel per hari.
Dengan demikian, tak kurang dari 400.000 barel per hari harus ditalangi melalui impor. Selain itu, kendaraan listrik mampu menekan pencemaran udara dibandingkan kendaraan konvensional yang menggunakan energi fosil. Hal itu sejalan dengan program pemerintah yang tengah mendorong meminimalkan emisi gas buang yang diatur dalam rencana umum energi nasional (RUEN).
Lalu, bagaimana prospek kendaraan listrik di Indonesia? Mengacu pada perkiraan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) akan terdapat 5,7 juta kendaraan listrik di Indonesia hingga 2035, terdiri atas kendaraan listrik roda empat 1,2 juta dan kendaraan listrik roda dua 4,5 juta.
Melihat prospek kendaraan listrik yang begitu besar, pemerintah siap membuka pintu lebar-lebar buat investor asing, baik untuk investasi pada produk baterai maupun kendaraan listrik. Meski terbuka luas bagi investor asing, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan tetap memberi rambu-rambu tegas, di antaranya produk yang dihasilkan harus ramah lingkungan, memberikan nilai tambah, dan menggunakan sebanyak mungkin pekerja Indonesia. Boleh menggunakan pekerja asing, namun dibatasi hingga empat tahun saja.
Sekarang tinggal menunggu perpres kendaraan listrik yang akan menjadi payung hukum kelak. Namun, harus dipahami perpres tidak cukup tanpa langka nyata dalam implementasi mendorong tumbuhnya industri kendaraan listrik, termasuk industri pendukungnya.
China sukses mengembangkan kendaraan listrik karena pemerintah Negeri Bambu itu tidak pelit dalam memberikan insentif, baik terhadap industri kendaraan listrik maupun kepada masyarakat pemakai. Apalagi, target pemerintah pada 2020 setidaknya produksi LCEV termasuk kendaraan listrik sudah berkontribusi sekitar 10% dari total produksi kendaraan di Indonesia.
Sebagai bukti pemerintah serius dalam pengembangan kendaraan listrik, Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menandatangani peraturan presiden (perpres) yang akan menjadi payung hukum industri itu. Paling lambat awal 2019, perpres sudah diterbitkan.
Saat ini kebijakan tersebut masih dalam proses penyelarasan sejumlah kementerian, meliputi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perhubungan. Selain menyiapkan aturan sejumlah infrastruktur pendukung, keberadaan kendaraan listrik sedang disiapkan, misalnya industri pembuat baterai hingga stasiun penyediaan listrik umum (SPLU).
Upaya pemerintah dalam mengambangkan kendaraan emisi karbon rendah (low carbon emission vehicle /LECV) termasuk kendaraan listrik memang tidak pernah surut. Untuk mendorong industri yang mengembangkan LECV, pemerintah siap memberikan sejumlah insentif dalam bentuk fiskal.
Hanya, menghadirkan kendaraan listrik harus didukung industri pendukung yang memadai, misalnya baterai kendaraan listrik. Saat ini negara yang memproduksi baterai kendaraan listrik masih terbatas, yakni China, Jepang, dan Korea Selatan (Korsel). Untuk menghindari ketergantungan impor baterai maka tidak ada jalan selain membangun pabrik baterai.
Hanya, untuk memproduksi baterai sendiri dibutuhkan investasi yang tidak kecil, paling tidak memerlukan dana Rp140 triliun. Kabarnya, sejumlah investor asing terutama dari China mulai menyatakan minat untuk berinvestasi pada industri baterai di Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga mendorong PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) untuk menghadirkan baterai kendaraan listrik yang berbahan dasar litium. Pemerintah menilai pengembangan baterai listrik di dalam negeri terutama oleh badan usaha milik negara (BUMN) dinilai sangat strategis.
Pasalnya, baterai listrik tidak hanya untuk dikonsumsi kendaraan listrik, tetapi juga sejumlah peralatan elektronik yang menjadi tren di masa depan. Salah satu kendala dalam memproduksi kendaraan listrik adalah produksi baterai di dalam negeri belum bisa. Akibatnya, harga kendaraan listrik dipastikan jauh lebih mahal dari kendaraan konvensional.
Bagi Indonesia, pengembangan kendaraan listrik bukan sekadar ikut kecenderungan dari negara-negara maju yang sedang giat-giatnya mengembangkan mobil listrik, tetapi salah satu upaya dalam mengurangi ketergantungan impor minyak. Tengok saja, produksi minyak di dalam negeri saat ini sebanyak 775.000 barel per hari, sementara konsumsi minyak sekitar 1,3 juta barel per hari.
Dengan demikian, tak kurang dari 400.000 barel per hari harus ditalangi melalui impor. Selain itu, kendaraan listrik mampu menekan pencemaran udara dibandingkan kendaraan konvensional yang menggunakan energi fosil. Hal itu sejalan dengan program pemerintah yang tengah mendorong meminimalkan emisi gas buang yang diatur dalam rencana umum energi nasional (RUEN).
Lalu, bagaimana prospek kendaraan listrik di Indonesia? Mengacu pada perkiraan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) akan terdapat 5,7 juta kendaraan listrik di Indonesia hingga 2035, terdiri atas kendaraan listrik roda empat 1,2 juta dan kendaraan listrik roda dua 4,5 juta.
Melihat prospek kendaraan listrik yang begitu besar, pemerintah siap membuka pintu lebar-lebar buat investor asing, baik untuk investasi pada produk baterai maupun kendaraan listrik. Meski terbuka luas bagi investor asing, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan tetap memberi rambu-rambu tegas, di antaranya produk yang dihasilkan harus ramah lingkungan, memberikan nilai tambah, dan menggunakan sebanyak mungkin pekerja Indonesia. Boleh menggunakan pekerja asing, namun dibatasi hingga empat tahun saja.
Sekarang tinggal menunggu perpres kendaraan listrik yang akan menjadi payung hukum kelak. Namun, harus dipahami perpres tidak cukup tanpa langka nyata dalam implementasi mendorong tumbuhnya industri kendaraan listrik, termasuk industri pendukungnya.
China sukses mengembangkan kendaraan listrik karena pemerintah Negeri Bambu itu tidak pelit dalam memberikan insentif, baik terhadap industri kendaraan listrik maupun kepada masyarakat pemakai. Apalagi, target pemerintah pada 2020 setidaknya produksi LCEV termasuk kendaraan listrik sudah berkontribusi sekitar 10% dari total produksi kendaraan di Indonesia.
(nag)