Perempuan-Anak Rentan Jadi Korban Intoleransi
A
A
A
JAKARTA - Komnas HAM menyatakan perempuan dan anak adalah dua kelompok paling rentan menjadi korban dari tindakan intoleransi, politik kebencian, ekstremisme, dan radikalisme. Bahkan untuk anak, selain menjadi korban, juga sering kali dilibatkan sebagai pelaku.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Beka Ulung Hapsara mengungkapkan, ada beberapa faktor penyebab perempuan dan anak rentan sebagai korban di antaranya intoleransi politik, kurangnya kesadaran akan pentingnya pemerintahan yang baik, rasa diasingkan atau alienasi.
“Demikian juga anak, rentan terpapar infiltrasi intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme. Bahkan, anak bukan hanya sebagai korban, namun sering kali dilibatkan sebagai pelaku,” ungkap Beka Ulung di Kantor Komnas HAM.
Ketua KPAI Susanto menjelaskan, anak yang terpapar paham radikalisme tetap di posisi sebagai korban. Apabila dia sebagai pelaku, maka harus mengacu ke UU Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
“Untuk memutus mata rantai agar anak tidak melakukan tindakan berulang dan tidak berdampak jangka panjang bagi anak, harus dipastikan bahwa yang bersangkutan direhabilitasi,” ujarnya.
Yunianti Chuzaifah, Anggota Komnas Perempuan mengungkapkan, intoleransi menimbulkan dampak berkepanjangan bagi perempuan. Sebab korban perempuan memiliki kerentanan khusus dibandingkan dengan korban laki-laki. “Meskipun korban laki-laki juga mengalami kesengsaraan dan penderitaan sama, tapi perempuan berhadapan dengan kerentanan khusus akibat peran gender yang dimainkannya, baik dalam perannya sebagai perempuan, istri, ibu, atau sebagai anggota masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menyebut maraknya intoleransi adalah buah dari politik kebencian. Menurutnya, politik kebencian memiliki dampak serius di masyarakat luas dan sebagai kemunduran penegakan HAM.
“Misalnya ada pawai demonstrasi waktu itu, anak-anak meneriakkan hal tidak manusiawi. Itu memperlihatkan kemunduran serius dalam HAM,” kata Usman. (Binti Mufarida)
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Beka Ulung Hapsara mengungkapkan, ada beberapa faktor penyebab perempuan dan anak rentan sebagai korban di antaranya intoleransi politik, kurangnya kesadaran akan pentingnya pemerintahan yang baik, rasa diasingkan atau alienasi.
“Demikian juga anak, rentan terpapar infiltrasi intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme. Bahkan, anak bukan hanya sebagai korban, namun sering kali dilibatkan sebagai pelaku,” ungkap Beka Ulung di Kantor Komnas HAM.
Ketua KPAI Susanto menjelaskan, anak yang terpapar paham radikalisme tetap di posisi sebagai korban. Apabila dia sebagai pelaku, maka harus mengacu ke UU Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
“Untuk memutus mata rantai agar anak tidak melakukan tindakan berulang dan tidak berdampak jangka panjang bagi anak, harus dipastikan bahwa yang bersangkutan direhabilitasi,” ujarnya.
Yunianti Chuzaifah, Anggota Komnas Perempuan mengungkapkan, intoleransi menimbulkan dampak berkepanjangan bagi perempuan. Sebab korban perempuan memiliki kerentanan khusus dibandingkan dengan korban laki-laki. “Meskipun korban laki-laki juga mengalami kesengsaraan dan penderitaan sama, tapi perempuan berhadapan dengan kerentanan khusus akibat peran gender yang dimainkannya, baik dalam perannya sebagai perempuan, istri, ibu, atau sebagai anggota masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menyebut maraknya intoleransi adalah buah dari politik kebencian. Menurutnya, politik kebencian memiliki dampak serius di masyarakat luas dan sebagai kemunduran penegakan HAM.
“Misalnya ada pawai demonstrasi waktu itu, anak-anak meneriakkan hal tidak manusiawi. Itu memperlihatkan kemunduran serius dalam HAM,” kata Usman. (Binti Mufarida)
(nfl)