Indonesia dan Usai Perang Dagang
A
A
A
PEMERINTAH China dan Amerika Serikat (AS) mulai “berdamai” dalam dagang akhir-akhir ini. Dua raksasa ekonomi dunia tersebut melakukan “gencatan senjata” setelah dua pimpinan negara bertemu di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Buenos Aires, Argentina. Langkah ini disambut pasar dengan baik. Pasar di Asia langsung membaik. Di China, Indeks Hang Seng merangkak 2,5% dan Indeks Shanghai Composite naik 2,6%. Indeks Nikkei 225 di Jepang juga naik 1%.
Perkembangan positif juga terjadi di Eropa. Indeks FTSE 100 di Inggris, Cac 40 di Prancis, dan Dax di Jerman masing-masing naik 2% pada awal perdagangan pekan ini. Indonesia juga merasakan sentimen positif.Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada perdagangan Senin (3/12/2018) dibuka menguat. Indeks Bloomberg mencatat rupiah dibuka bertenaga 31 poin ke level Rp14.280 per dolar AS, padahal pada Jumat pekan lalu di level Rp14.301 per dolar AS.
Sayangnya, hanya Pemerintah AS yang memberikan banyak statement soal “gencatan senjata” ini. Pemerintah China lebih memilih menahan komentar soal langkah baru ini. Opini publik didominasi oleh AS sehingga seolah pemerintahan China yang disalahkan dalam perang dagang ini. Dalam banyak pernyataannya, Pemerintah AS memberikan alasan kenapa harus menaikkan tarif barang dari China yang masuk ke AS yaitu untuk menyeimbangkan neraca ekspor dan impor AS. Sekali lagi, karena tidak ada pernyataan resmi dari Pemerintah China, seolah negeri Tirai Bambu ini yang menjadi antagonis.
Namun, yang lebih penting dari siapa yang banyak memberikan pernyataan dalam kebijakan baru tersebut adalah dampaknya bagi Indonesia. IHSG dan rupiah memang menguat meskipun pada saat panas-panasnya perang dagang Indonesia juga memanas. Nilai rupiah melemah hingga Rp15.000 per dolar yang berdampak pada perdagangan dan jasa yang menggunakan dolar. Ekonomi di Indonesia sempat dikhawatirkan tidak akan mampu mengatasi dampak dari perang dagang ini. Apalagi menjelang tahun politik (2019).
Persoalan ekonomi ditarik kencang ke ranah politik. Tentu dengan argumen masing-masing. Pemerintah menganggap fundamental ekonomi Tanah Air masih cukup kuat. Sedangkan lawan politik menganggap ekonomi Indonesia rawan terhadap gejolak internasional. Meskipun jika dikaji mendalam, dua kelompok politik memang ada benarnya. Namun, karena pada persaingan politik, kelompok-kelompok di bawahnya juga ikut memanaskan dengan keluhan-keluhan ekonomi (oposisi) serta keyakinan-keyakinan ketahanan ekonomi (incumbent).
Meski terjadi perdebatan yang dibalut politik tentu objektivitas menjadi taruhan. Namun, ada pelajaran yang penting bagi Indonesia dari perang dagang tersebut. Memang benar jika kekuatan fundamental di Tanah Air semakin kuat, tentu tidak akan terlalu berpengaruh kepada negeri ini. Dan, Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk bisa meningkatkan fundamental ekonominya. Dua bidang besar yang dimiliki Indonesia dan sedikit atau bahkan tidak dimiliki negara lain adalah pertanian dan pariwisata.
Pertanian dalam hal ini termasuk perikanan baik laut maupun darat. Dua bidang ini bisa jadi core business Indonesia untuk memperkuat fundamental ekonomi. Pemerintah memang mulai memikirkan untuk memperkuat ini, namun tampaknya butuh kerja yang lebih keras dan ikhlas. Persoalan beras juga masih menjadi polemik meski pada sektor perikanan menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik.
Begitu juga sektor pariwisata. Bangsa ini telah dianugerahi alam terbentang dari Sabang hingga Merauke dalam bentuk lautan maupun pegunungan. Budaya Indonesia yang beragam pun menjadi daya tarik luar biasa bagi wisatawan. Di bidang pertanian Indonesia mempunyai sejarah besar tentang rempah-rempah sehingga menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa. Belum lagi buah-buahan khas negara tropis. Belum lagi perikanan laut yang sangat melimpah adalah potensi sangat besar untuk memperkuat ekonomi bangsa Indonesia.
Bisa dibayangkan jika dua bidang itu begitu kuat di pasar internasional. Meskipun ada perang dagang antardua negara besar, dampak negatif ke Indonesia tidak akan terlalu kuat. Pemerintah harus terus fokus menggarap bidang pertanian dan pariwisata karena dua bidang ini mempunyai potensi besar yang tidak dimiliki bangsa lain.
Perkembangan positif juga terjadi di Eropa. Indeks FTSE 100 di Inggris, Cac 40 di Prancis, dan Dax di Jerman masing-masing naik 2% pada awal perdagangan pekan ini. Indonesia juga merasakan sentimen positif.Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada perdagangan Senin (3/12/2018) dibuka menguat. Indeks Bloomberg mencatat rupiah dibuka bertenaga 31 poin ke level Rp14.280 per dolar AS, padahal pada Jumat pekan lalu di level Rp14.301 per dolar AS.
Sayangnya, hanya Pemerintah AS yang memberikan banyak statement soal “gencatan senjata” ini. Pemerintah China lebih memilih menahan komentar soal langkah baru ini. Opini publik didominasi oleh AS sehingga seolah pemerintahan China yang disalahkan dalam perang dagang ini. Dalam banyak pernyataannya, Pemerintah AS memberikan alasan kenapa harus menaikkan tarif barang dari China yang masuk ke AS yaitu untuk menyeimbangkan neraca ekspor dan impor AS. Sekali lagi, karena tidak ada pernyataan resmi dari Pemerintah China, seolah negeri Tirai Bambu ini yang menjadi antagonis.
Namun, yang lebih penting dari siapa yang banyak memberikan pernyataan dalam kebijakan baru tersebut adalah dampaknya bagi Indonesia. IHSG dan rupiah memang menguat meskipun pada saat panas-panasnya perang dagang Indonesia juga memanas. Nilai rupiah melemah hingga Rp15.000 per dolar yang berdampak pada perdagangan dan jasa yang menggunakan dolar. Ekonomi di Indonesia sempat dikhawatirkan tidak akan mampu mengatasi dampak dari perang dagang ini. Apalagi menjelang tahun politik (2019).
Persoalan ekonomi ditarik kencang ke ranah politik. Tentu dengan argumen masing-masing. Pemerintah menganggap fundamental ekonomi Tanah Air masih cukup kuat. Sedangkan lawan politik menganggap ekonomi Indonesia rawan terhadap gejolak internasional. Meskipun jika dikaji mendalam, dua kelompok politik memang ada benarnya. Namun, karena pada persaingan politik, kelompok-kelompok di bawahnya juga ikut memanaskan dengan keluhan-keluhan ekonomi (oposisi) serta keyakinan-keyakinan ketahanan ekonomi (incumbent).
Meski terjadi perdebatan yang dibalut politik tentu objektivitas menjadi taruhan. Namun, ada pelajaran yang penting bagi Indonesia dari perang dagang tersebut. Memang benar jika kekuatan fundamental di Tanah Air semakin kuat, tentu tidak akan terlalu berpengaruh kepada negeri ini. Dan, Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk bisa meningkatkan fundamental ekonominya. Dua bidang besar yang dimiliki Indonesia dan sedikit atau bahkan tidak dimiliki negara lain adalah pertanian dan pariwisata.
Pertanian dalam hal ini termasuk perikanan baik laut maupun darat. Dua bidang ini bisa jadi core business Indonesia untuk memperkuat fundamental ekonomi. Pemerintah memang mulai memikirkan untuk memperkuat ini, namun tampaknya butuh kerja yang lebih keras dan ikhlas. Persoalan beras juga masih menjadi polemik meski pada sektor perikanan menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik.
Begitu juga sektor pariwisata. Bangsa ini telah dianugerahi alam terbentang dari Sabang hingga Merauke dalam bentuk lautan maupun pegunungan. Budaya Indonesia yang beragam pun menjadi daya tarik luar biasa bagi wisatawan. Di bidang pertanian Indonesia mempunyai sejarah besar tentang rempah-rempah sehingga menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa. Belum lagi buah-buahan khas negara tropis. Belum lagi perikanan laut yang sangat melimpah adalah potensi sangat besar untuk memperkuat ekonomi bangsa Indonesia.
Bisa dibayangkan jika dua bidang itu begitu kuat di pasar internasional. Meskipun ada perang dagang antardua negara besar, dampak negatif ke Indonesia tidak akan terlalu kuat. Pemerintah harus terus fokus menggarap bidang pertanian dan pariwisata karena dua bidang ini mempunyai potensi besar yang tidak dimiliki bangsa lain.
(kri)