Kasus OTT dan Integritas Hakim
A
A
A
Untuk ke sekian kalinya, dunia peradilan kita tercoreng oleh perilaku oknum hakim yang tidak memiliki integritas. Pada Selasa (27/11) malam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat praktik suap-menyuap.
Salah satu di antara yang tertangkap adalah seorang hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Oknum hakim ini ditangkap terkait dugaan suap perkara kasus tambang. KPK total menetapkan lima tersangka dari enam orang yang dijaring saat OTT.
Dalam OTT itu, KPK mengamankan uang sekitar 45.000 dolar Singapura. KPK rencananya baru akan menggelar konferensi pers tadi malam guna mengumumkan identitas para tersangka.
Kasus OTT terhadap hakim ini kembali memunculkan pertanyaan, mengapa demikian mudah aparat penegak hukum menggadaikan kehormatannya. Padahal, seorang hakim menjalankan profesinya di bawah sumpah untuk selalu membela kebenaran dan menegakkan keadilan.
Kepercayaan masyarakat terhadap hakim bahkan sangat tinggi karena selama ini dia dianggap sebagai perwakilan Tuhan. Namun kenyataannya, kasus hakim yang tertangkap KPK sudah banyak. Sebelum kejadian ini, pada 12 Maret 2018 KPK menangkap Hakim Pengadilan Negeri Tangerang Wahyu Widya Nurfitri karena menerima suap.
Integritas dan moralitas memang jadi persoalan utama bagi seorang hakim dalam menjalankan pekerjaannya. Tanpa itu, maka sangat rentan untuk terjerumus. Dengan memiliki integritas, seorang hakim akan menghindarkan dirinya dari godaan uang atau hadiah dalam bentuk apa pun.
Selama ini seorang hakim sudah diberikan gaji dan fasilitas yang baik oleh negara. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung (PP 94/2012).
Harapannya tentu agar hakim tidak mudah tergoda oleh iming-iming pihak yang beperkara. Namun nyatanya, keserakahan mengalahkan segalanya sehingga sejumlah hakim harus berurusan dengan hukum.
Selama ini praktik pelanggaran etika dan hukum yang melibatkan hakim dilakukan di tengah kenyataan bahwa hakim dipantau secara kontinu oleh dua lembaga mapan, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).
Namun ketika kasus suap masih menjerat oknum hakim, berarti ada persoalan pada pengawasan, baik oleh MA maupun KY. Pengawasan kedua lembaga sejauh ini belum bisa dikatakan baik.
Selama ini kasus suap paling mendominasi pelanggaran hakim yakni 42,2%, disusul perselingkuhan 28,9% indisipliner 11,1%, narkoba 6,7%, memainkan putusan 4,4%, dan lainnya 6,7% (Komisi Yudisial, 2017). Data ini menggambarkan bahwa model pengawasan internal dan eksternal ini masih memiliki kelemahan. Khusus KY, masalah yang dihadapi adalah terbatasnya personel.
KY dihadapkan dengan kondisi rasio tak seimbang antara jumlah hakim yang diawasi dan pihak yang mengawasinya. Belum lagi masalah pada KY yang terpusat di ibu kota, sementara hakim justru bekerja hingga tingkat kabupaten/kota. Melihat jumlah komisioner KY yang hanya beranggotakan tujuh orang sedangkan hakim mencapai ribuan, maka memang akan sulit untuk menemukan pengawasan optimal.
Konsekuensinya KY akan sering kecolongan oleh pelanggaran yang dilakukan hakim. Untuk itu, perlu kembali memperkuat KY dengan mengoptimalkan potensinya. Hal yang perlu dipikirkan adalah mengoptimalkan peran KY Penghubung di daerah.
Demi mencegah kasus serupa terulang, ke depan perlu sinergitas yang lebih baik lagi antara MA sebagai lembaga pengawas internal hakim dan KY sebagai pengawas eksternal serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perlu ada sinergisitas dan konsolidasi antarlembaga tersebut untuk tujuan mulia, yaitu terwujudnya peradilan yang bersih.
Pertanyaan lain yang muncul saat oknum hakim terjerat kasus suap adalah bagaimana sesungguhnya proses rekrutmen hakim. Selama ini MA sebagai lembaga yudikatif melibatkan pihak eksternal dalam proses seleksi calon hakim di pengadilan tingkat pertama.
Lembaga tersebut seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, perguruan tinggi negeri, psikolog, hingga akademisi bidang hukum. Pada rekrutmen dengan model ini, diduga berpotensi terjadi campur tangan oleh lembaga di luar MA dalam menentukan kelulusan calon hakim sehingga hasil seleksi berpotensi bermasalah sejak awal.
Salah satu di antara yang tertangkap adalah seorang hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Oknum hakim ini ditangkap terkait dugaan suap perkara kasus tambang. KPK total menetapkan lima tersangka dari enam orang yang dijaring saat OTT.
Dalam OTT itu, KPK mengamankan uang sekitar 45.000 dolar Singapura. KPK rencananya baru akan menggelar konferensi pers tadi malam guna mengumumkan identitas para tersangka.
Kasus OTT terhadap hakim ini kembali memunculkan pertanyaan, mengapa demikian mudah aparat penegak hukum menggadaikan kehormatannya. Padahal, seorang hakim menjalankan profesinya di bawah sumpah untuk selalu membela kebenaran dan menegakkan keadilan.
Kepercayaan masyarakat terhadap hakim bahkan sangat tinggi karena selama ini dia dianggap sebagai perwakilan Tuhan. Namun kenyataannya, kasus hakim yang tertangkap KPK sudah banyak. Sebelum kejadian ini, pada 12 Maret 2018 KPK menangkap Hakim Pengadilan Negeri Tangerang Wahyu Widya Nurfitri karena menerima suap.
Integritas dan moralitas memang jadi persoalan utama bagi seorang hakim dalam menjalankan pekerjaannya. Tanpa itu, maka sangat rentan untuk terjerumus. Dengan memiliki integritas, seorang hakim akan menghindarkan dirinya dari godaan uang atau hadiah dalam bentuk apa pun.
Selama ini seorang hakim sudah diberikan gaji dan fasilitas yang baik oleh negara. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung (PP 94/2012).
Harapannya tentu agar hakim tidak mudah tergoda oleh iming-iming pihak yang beperkara. Namun nyatanya, keserakahan mengalahkan segalanya sehingga sejumlah hakim harus berurusan dengan hukum.
Selama ini praktik pelanggaran etika dan hukum yang melibatkan hakim dilakukan di tengah kenyataan bahwa hakim dipantau secara kontinu oleh dua lembaga mapan, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).
Namun ketika kasus suap masih menjerat oknum hakim, berarti ada persoalan pada pengawasan, baik oleh MA maupun KY. Pengawasan kedua lembaga sejauh ini belum bisa dikatakan baik.
Selama ini kasus suap paling mendominasi pelanggaran hakim yakni 42,2%, disusul perselingkuhan 28,9% indisipliner 11,1%, narkoba 6,7%, memainkan putusan 4,4%, dan lainnya 6,7% (Komisi Yudisial, 2017). Data ini menggambarkan bahwa model pengawasan internal dan eksternal ini masih memiliki kelemahan. Khusus KY, masalah yang dihadapi adalah terbatasnya personel.
KY dihadapkan dengan kondisi rasio tak seimbang antara jumlah hakim yang diawasi dan pihak yang mengawasinya. Belum lagi masalah pada KY yang terpusat di ibu kota, sementara hakim justru bekerja hingga tingkat kabupaten/kota. Melihat jumlah komisioner KY yang hanya beranggotakan tujuh orang sedangkan hakim mencapai ribuan, maka memang akan sulit untuk menemukan pengawasan optimal.
Konsekuensinya KY akan sering kecolongan oleh pelanggaran yang dilakukan hakim. Untuk itu, perlu kembali memperkuat KY dengan mengoptimalkan potensinya. Hal yang perlu dipikirkan adalah mengoptimalkan peran KY Penghubung di daerah.
Demi mencegah kasus serupa terulang, ke depan perlu sinergitas yang lebih baik lagi antara MA sebagai lembaga pengawas internal hakim dan KY sebagai pengawas eksternal serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perlu ada sinergisitas dan konsolidasi antarlembaga tersebut untuk tujuan mulia, yaitu terwujudnya peradilan yang bersih.
Pertanyaan lain yang muncul saat oknum hakim terjerat kasus suap adalah bagaimana sesungguhnya proses rekrutmen hakim. Selama ini MA sebagai lembaga yudikatif melibatkan pihak eksternal dalam proses seleksi calon hakim di pengadilan tingkat pertama.
Lembaga tersebut seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, perguruan tinggi negeri, psikolog, hingga akademisi bidang hukum. Pada rekrutmen dengan model ini, diduga berpotensi terjadi campur tangan oleh lembaga di luar MA dalam menentukan kelulusan calon hakim sehingga hasil seleksi berpotensi bermasalah sejak awal.
(nag)