Produksi Gas Pertamina Jeblok

Rabu, 28 November 2018 - 08:03 WIB
Produksi Gas Pertamina Jeblok
Produksi Gas Pertamina Jeblok
A A A
Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Antimafia Migas

DATA Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) per 17 November 2018 menunjukkan bahwa produksi Gas PT Pertamina (Persero) cenderung jeblok. Produksi gas, dari semua anak perusahaan Pertamina, terdiri atas Pertamina Hulu Mahakam (PHM), Pertamina Eksplorasi dan Produksi (PEP), Pertamina Hulu Energi (PHE) WMO, Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS), dan PHE ONWJ belum mencapai target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Rata-rata produksi Gas PHM baru mencapai sebesar 76,7%, PEP sebesar 98,3%, PHE WMO sebesar 94,1%, PHSS 99%, dan PHE ONWJ 63% dari target ditetapkan dalam APBN.

Anomalinya, di tengah penurunan produksi gas tersebut, cost recovery Pertamina justru mengalami peningkatan. Bahkan, cost recovery Pertamina lebih besar dari rata-rata cost recovery dari seluruh kontraktor yang dihitung sebesar USD19 per barel setara harga minyak mentah. Cost recovery PHM mencapai USD23,1, PEP mencapai USD23,3, dan PT PHE WMO bahkan jauh lebih besar yang mencapai USD40,6 per barel setara harga minyak. Tidak berlebihan dikatakan pencapaian kinerja Pertamina cenderung jeblok di tengah penurunan produksi gas dan penaikan cost recovery.

Jebloknya kinerja Pertamina tersebut tidak bisa semata-mata mengambinghitamkan kondisi Wilayah Kerja (WK) blok terminasi yang semuanya merupakan sumur-sumur tua. Pasalnya, dalam waktu bersamaan pencapaian produksi gas dari perusahaan asing dan perusahaan swasta nasional justru mengalami peningkatan, bahkan produksinya melampaui target ditetapkan APBN. BP Berau Ltd. yang bisa mencapai 107,6%, Conophillip Ltd. mencapai 103,9%, Premier Oil Indonesia mencapai 111,5%, dan Medco E&P Natuna bisa mencapai 109,4% dari target ditetapkan dalam APBN.

Jebloknya kinerja Pertamina itu mengindikasikan bahwa perusahaan pelat merah ini tidak mampu memenuhi komitmen awal saat mengajukan pengelolaan blok terminasi, termasuk Blok Mahakam. Pertamina sejak 2008 telah berulang kali mengajukan usulan ke Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengelola Blok Mahakam secara mandiri. Pertamina juga menyatakan kesanggupannya mengalokasi dana investasi yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan produksi agar produksinya tidak turun, jika kelak ditunjuk sebagai operator tunggal Blok Mahakam. Namun, faktanya Pertamina tidak mampu memenuhi komitmennya untuk menaikkan produksi gas, bahkan produksi Blok Mahakam justru semakin turun.

Di satu sisi, penyerahan hampir semua WK Blok terminasi kepada Pertamina sebagai bentuk komitmen Pemerintah untuk memprioritaskan Pertamina sebagai representasi negara dalam pengelolaan migas, sesuai amanah konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 ayat 3 berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Namun, di sisi lain, pemberian Blok Terminasi kepada Pertamina memunculkan ketidakpastian dalam mempertahankan volume produksi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan produksi Blok Terminasi akan turun pada saat dikelola oleh Pertamina. Data menunjukkan bahwa produksi di semua Blok Terminasi yang diserahkan kepada Pertamina mengalami penurunan sehingga tidak bisa mencapai target ditetapkan dalam APBN. Penurunan produksi itu mengindikasikan bahwa Pertamina tidak mampu mempergunakan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya buat kemakmuran rakyat, sesuai amanah konstitusi.

Agar amanah konstitusi Pasal 33 UUD ayat 3 dapat dicapai secara utuh (kaffah), Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan dalam penyerahan Blok Terminasi kepada Pertamina. Salah satunya adalah tetap melibatkan existing kontraktor dalam pengelolaan di setiap Blok Terminasi. Tujuannya agar produksi di Blok Terminasi tidak mengalami penurunan Namun, pelibatan existing kontraktor itu harus memenuhi beberapa syarat.

Pertama
, kendali pengelolaan Blok Terminasi harus dipegang oleh Pertamina, dengan minimal 51% saham dikuasai Pertamina dan 10% Participating Interest (PI) diberikan kepada Pemerintah daerah. Kedua, tidak boleh ada penurunan volume produksi migas. Ketiga, harus meningkatkan efisiensi pengelolaan Blok Terminasi sehingga dapat menurunkan cost recovery per unit, yang harus lebih rendah dibandingkancost recovery per unit saat dikelola oleh existing kontraktor.

Untuk memberikan kepastian dalam mempertahankan dan meningkatkan produksi migas serta menjaga kelangsungan investasi pada WK Blok Terminasi, Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM (Permen ESDM) Nomor 23 Tahun 2018. Dalam permen itu, Pemerintah memberikan kesempatan yang sama antara Pertamina dan existing investor untuk mengelola WK Blok Terminasi, dengan mengajukan proposal kepada Pemerintah. Jika proposal perpanjangan ditolak, Pemerintah akan menyerahkan Blok Terminasi itu kepada Pertamina. Namun, jika Pertamina menolak, Pemerintah akan melelang WK Blok Terminasi, yang sudah habis kontraknya

Semangat Permen ESDM 23/2018 ini lebih untuk menjaga, bahkan meningkatkan produksi migas dari Blok Terminasi, serta menjaga kelangsungan investasi pada blok migas tersebut. Selain itu, permen itu juga untuk mendorong kiprah Pertamina dalam melakukan investasi pada WK Blok Baru. Dengan demikian, kiprah Pertamina tidak selamanya hanya berkutat pada pengelolaan WK Blok Terminasi, yang volume produksi relatif lebih rendah ketimbang WK Blok Baru.

Masuknya Pertamina pada WK Blok Baru diharapkan dapat meningkatkan volume produksi dan nilai tambah migas, yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, seperti diamanahkan oleh Konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Sudah saatnya bagi Pertamina untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di WK Blok Baru, bukan hanya berkutat pada Blok Terminasi, seakan Pertamina hanya mencari gampangnya saja dengan risiko yang rendah.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6659 seconds (0.1#10.140)