Menyikapi Pangkalan Militer Australia
A
A
A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
CALON presiden Prabowo Subianto minggu lalu berpidato dan bertemu dengan komunitas jurnalis asing di Indonesia. Ada dua pertanyaan yang menarik diajukan kepada beliau.
Pertama adalah tentang niat Australia dan Amerika Serikat (AS) untuk membangun pangkalan militer di Papua Nugini (Papua New Guinea/PNG) dan kedua adalah pertanyaan tentang ide Australia untuk memindahkan kedutaan besar dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Dua pertanyaan ini sebetulnya bukan pertanyaan yang terpisah. Pertanyaan itu bisa dikatakan cermin dari atmosfir politik yang berkembang di dalam negeri Australia. Sayangnya, reaksi yang lahir dari media massa, publik dan politisi di Indonesia hanya kepada isu Palestina, sementara isu pangkalan militer malah tidak terangkat.
Dukungan Australia kepada Israel dalam bentuk pernyataan kemungkinan untuk memindahkan kedutaan besar mereka dari Tel Aviv ke Yerusalem perlu dilihat sebagai bentuk komitmen Australia untuk tetap berada dalam koalisi AS. Amerika dan Israel tentu juga mengapresiasi dukungan Australia kepada mereka.
Bentuk dukungan ini terutama salah satunya dalam restu AS untuk Australia membangun pangkalan militernya di Pulau Manus, PNG. Kehadiran pangkalan militer AS dan Australia di PNG tentu akan mengubah peta politik pertahanan dan keamanan di Asia-Pasifik.
Apabila kita bicara tentang kepentingan militer Australia maka kita juga berbicara tentang kepentingan militer AS. Artinya, pangkalan militer di Pulau Manus juga akan memperkuat keberadaan AS secara fisik di Asia Pasifik.
Dalam konteks politik internasional, kehadiran pangkalan militer bersama AS, Australia dan PNG menunjukkan intensitas dari aliansi di antara mereka. Dari sisi teknis pertahanan dan keamanan, pangkalan militer ini memperluas kemampuan tempur Australia dan AS untuk menangkal pengaruh dari negara lain, terutama Tiongkok.
Tiongkok memang menjadi alasan rencana pendirian pangkalan militer ini. Pangkalan militer ini sendiri secara terbuka dinyatakan sebagai strategi untuk menahan pengaruh Tiongkok di Asia khususnya Asia Tenggara.
AS dan Australia menganggap bahwa negara-negara yang sudah melakukan kerjasama pembangunan dengan Tiongkok otomatis dianggap sudah pasti akan membantu Tiongkok di masa depan. Pangkalan militer tersebut juga dapat dianggap sebagai strategi Australia untuk lepas dari tekanan negara-negara Asia Tenggara yang cenderung berlawanan atau tidak sejalan dengan kepentingan AS.
Adanya pangkalan militer AS dan Australia akan meninggikan posisi tawar Australia dan AS ke negara-negara lain di sekitar Kawasan Asia-Pasifik. Permasalahannya, kita tidak pernah tahu apa yang akan dilakukan oleh Australia dan AS di pangkalan militer tersebut. Apa yang kita tahu saat ini bahwa AS sudah menarik diri dari banyak perjanjian perdamaian terutama sejak peristiwa 9/11 tahun 2001.
AS sudah menarik diri dari The Anti-Ballistic Missile Treaty yaitu perjanjian kontrol senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk sistem rudal anti-balistik (ABM) yang digunakan dalam mempertahankan wilayah terhadap senjata nuklir rudal balistik yang dikirim.
Penarikan diri AS itu kemudian dibalas oleh Rusia dengan segera membangun system pertahanan rudal yang lebih canggih. Salah satu di antara senjata-senjata rudal balistik antarbenua yang kuat adalah SS-18. Rudal yang disebut oleh NATO sebagai rudal setan itu dirancang untuk menggantikan R-36M2 Voevoda.
Sebulan lalu (Oktober 2018), AS juga telah mengatakan akan mundur dari The Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty yaitu sebuah perjanjian yang menghapus semua rudal nuklir dan konvensional, serta peluncur mereka, dengan rentang 500-1.000 kilometer (310–620 mi) (jarak pendek) dan 1.000–5.500 km (620–3,420 mi) (jarak menengah).
Keinginan mundur ini sudah dinyatakan oleh Presiden Donald Trump tetapi masih menunggu perkembangan politik di AS. Penarikan diri dari sejumlah perjanjian perlu konsultasi dengan anggota Senat. Melihat komposisi Senat AS yang dikuasai Partai Republikan maka bukan tidak mungkin penarikan diri itu menjadi kenyataan.
Pihak Rusia tidak diam. Presiden Vladimir Putin sudah memperingatkan bahwa penarikan diri AS akan dibalas oleh Rusia. Putin mengangkat kembali konsekuensi penarikan diri AS di tahun 2001 yang menyebabkan Rusia mengembangkan senjata yang lebih canggih daripada yang telah diatur sebelumnya. Dalam situasi semacam itu, kehadiran pangkalan militer AS dan Australia di PNG jelas akan menyebabkan stabilitas regional di Kawasan Asia-Pasifik juga terancam.
Jadi saya berpendapat bahwa para capres, Joko Widodo dan Prabowo, perlu menegaskan sikap menolak kehadiran pangkalan militer itu dan merasa sangat terganggu dengan kehadiran pangkalan militer Australia di PNG. Dari sisi politik, hal itu tidak diperlukan mengingat Asia-Pasifik adalah kawasan regional yang paling stabil dibandingkan kawasan lain, bahkan lebih stabil dari kawasan Eropa.
Sejarah negara-negara di kawasan ini yang cenderung netral karena berangkat dari perjuangan kolonialisme secara bersama-sama telah mendekatkan diri mereka satu sama secara alamiah.
Kita memang menghormati kedaulatan tetapi kedaulatan itu sendiri sekarang juga telah mengalami pergeseran makna sesuai dengan pergerakan zaman. Sebelum ada senjata yang mampu melintasi benua, kedaulatan memang dapat dijaga lewat benteng-benteng di perbatasan.
Namun saat ini, dengan teknologi yang makin canggih, ancaman kedaulatan justru datang dari teknologi senjata yang dapat memusnahkan sebuah negara tanpa perlu kehadiran fisik negara yang menyerang. Oleh sebab itu penting untuk semua negara terikat dalam kerjasama dan perjanjian perdamaian dunia agar semua pihak dapat mengetahui posisi semua orang dan tidak timbul perasaan terancam.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
CALON presiden Prabowo Subianto minggu lalu berpidato dan bertemu dengan komunitas jurnalis asing di Indonesia. Ada dua pertanyaan yang menarik diajukan kepada beliau.
Pertama adalah tentang niat Australia dan Amerika Serikat (AS) untuk membangun pangkalan militer di Papua Nugini (Papua New Guinea/PNG) dan kedua adalah pertanyaan tentang ide Australia untuk memindahkan kedutaan besar dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Dua pertanyaan ini sebetulnya bukan pertanyaan yang terpisah. Pertanyaan itu bisa dikatakan cermin dari atmosfir politik yang berkembang di dalam negeri Australia. Sayangnya, reaksi yang lahir dari media massa, publik dan politisi di Indonesia hanya kepada isu Palestina, sementara isu pangkalan militer malah tidak terangkat.
Dukungan Australia kepada Israel dalam bentuk pernyataan kemungkinan untuk memindahkan kedutaan besar mereka dari Tel Aviv ke Yerusalem perlu dilihat sebagai bentuk komitmen Australia untuk tetap berada dalam koalisi AS. Amerika dan Israel tentu juga mengapresiasi dukungan Australia kepada mereka.
Bentuk dukungan ini terutama salah satunya dalam restu AS untuk Australia membangun pangkalan militernya di Pulau Manus, PNG. Kehadiran pangkalan militer AS dan Australia di PNG tentu akan mengubah peta politik pertahanan dan keamanan di Asia-Pasifik.
Apabila kita bicara tentang kepentingan militer Australia maka kita juga berbicara tentang kepentingan militer AS. Artinya, pangkalan militer di Pulau Manus juga akan memperkuat keberadaan AS secara fisik di Asia Pasifik.
Dalam konteks politik internasional, kehadiran pangkalan militer bersama AS, Australia dan PNG menunjukkan intensitas dari aliansi di antara mereka. Dari sisi teknis pertahanan dan keamanan, pangkalan militer ini memperluas kemampuan tempur Australia dan AS untuk menangkal pengaruh dari negara lain, terutama Tiongkok.
Tiongkok memang menjadi alasan rencana pendirian pangkalan militer ini. Pangkalan militer ini sendiri secara terbuka dinyatakan sebagai strategi untuk menahan pengaruh Tiongkok di Asia khususnya Asia Tenggara.
AS dan Australia menganggap bahwa negara-negara yang sudah melakukan kerjasama pembangunan dengan Tiongkok otomatis dianggap sudah pasti akan membantu Tiongkok di masa depan. Pangkalan militer tersebut juga dapat dianggap sebagai strategi Australia untuk lepas dari tekanan negara-negara Asia Tenggara yang cenderung berlawanan atau tidak sejalan dengan kepentingan AS.
Adanya pangkalan militer AS dan Australia akan meninggikan posisi tawar Australia dan AS ke negara-negara lain di sekitar Kawasan Asia-Pasifik. Permasalahannya, kita tidak pernah tahu apa yang akan dilakukan oleh Australia dan AS di pangkalan militer tersebut. Apa yang kita tahu saat ini bahwa AS sudah menarik diri dari banyak perjanjian perdamaian terutama sejak peristiwa 9/11 tahun 2001.
AS sudah menarik diri dari The Anti-Ballistic Missile Treaty yaitu perjanjian kontrol senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk sistem rudal anti-balistik (ABM) yang digunakan dalam mempertahankan wilayah terhadap senjata nuklir rudal balistik yang dikirim.
Penarikan diri AS itu kemudian dibalas oleh Rusia dengan segera membangun system pertahanan rudal yang lebih canggih. Salah satu di antara senjata-senjata rudal balistik antarbenua yang kuat adalah SS-18. Rudal yang disebut oleh NATO sebagai rudal setan itu dirancang untuk menggantikan R-36M2 Voevoda.
Sebulan lalu (Oktober 2018), AS juga telah mengatakan akan mundur dari The Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty yaitu sebuah perjanjian yang menghapus semua rudal nuklir dan konvensional, serta peluncur mereka, dengan rentang 500-1.000 kilometer (310–620 mi) (jarak pendek) dan 1.000–5.500 km (620–3,420 mi) (jarak menengah).
Keinginan mundur ini sudah dinyatakan oleh Presiden Donald Trump tetapi masih menunggu perkembangan politik di AS. Penarikan diri dari sejumlah perjanjian perlu konsultasi dengan anggota Senat. Melihat komposisi Senat AS yang dikuasai Partai Republikan maka bukan tidak mungkin penarikan diri itu menjadi kenyataan.
Pihak Rusia tidak diam. Presiden Vladimir Putin sudah memperingatkan bahwa penarikan diri AS akan dibalas oleh Rusia. Putin mengangkat kembali konsekuensi penarikan diri AS di tahun 2001 yang menyebabkan Rusia mengembangkan senjata yang lebih canggih daripada yang telah diatur sebelumnya. Dalam situasi semacam itu, kehadiran pangkalan militer AS dan Australia di PNG jelas akan menyebabkan stabilitas regional di Kawasan Asia-Pasifik juga terancam.
Jadi saya berpendapat bahwa para capres, Joko Widodo dan Prabowo, perlu menegaskan sikap menolak kehadiran pangkalan militer itu dan merasa sangat terganggu dengan kehadiran pangkalan militer Australia di PNG. Dari sisi politik, hal itu tidak diperlukan mengingat Asia-Pasifik adalah kawasan regional yang paling stabil dibandingkan kawasan lain, bahkan lebih stabil dari kawasan Eropa.
Sejarah negara-negara di kawasan ini yang cenderung netral karena berangkat dari perjuangan kolonialisme secara bersama-sama telah mendekatkan diri mereka satu sama secara alamiah.
Kita memang menghormati kedaulatan tetapi kedaulatan itu sendiri sekarang juga telah mengalami pergeseran makna sesuai dengan pergerakan zaman. Sebelum ada senjata yang mampu melintasi benua, kedaulatan memang dapat dijaga lewat benteng-benteng di perbatasan.
Namun saat ini, dengan teknologi yang makin canggih, ancaman kedaulatan justru datang dari teknologi senjata yang dapat memusnahkan sebuah negara tanpa perlu kehadiran fisik negara yang menyerang. Oleh sebab itu penting untuk semua negara terikat dalam kerjasama dan perjanjian perdamaian dunia agar semua pihak dapat mengetahui posisi semua orang dan tidak timbul perasaan terancam.
(poe)