Niat KPU Konsultasikan Putusan MA dengan MK Dikritisi
A
A
A
JAKARTA - Niat Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan Mahkamah Agung (MA) yang membolehkan anggota partai politik (parpol) maju menjadi calon DPD dikritisi.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus menilai rencana KPU melakukan konsultasi dengan MK itu jelas tidak etis dan melanggar hukum acara yang berlaku."Konsultasi dan kompromi yang digagas oleh KPU jelas merupakan pembangkangan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang sudah berkekuatan hukum tetap yang bersifat final and binding," kata Petrus Selestinus dalam keterangan tertulisnya, Rabu(21/11/2018).
Maka itu kata dia, MK tidak boleh terjebak dalam manuver KPU melalui apa yang disebut sebagai konsultasi. "Karena pertemuan yang dibolehkan Undang-undang antara MK dan Lembaga Negara lainnya terkait perkara adalah hanya sepanjang perkara itu masih berjalan dan hanya boleh dilakukan di ruang sidang terbuka untuk umum," ucapnya.
Sehingga, pertemuan yang hendak dilakukan KPU dengan MK juga dianggap bersifat politis dan inkonstitusional. "KPU RI tidak boleh menyeret MK dalam mempolitisasi kepastian hukum dan keadilan yang sudah diperoleh OSO melalui putusan PTUN Jakarta yang bersifat final and binding," ujarnya.
Dia melanjutkan, pertemuan konsultasi hanya boleh dilakukan oleh pihak Oesman Sapta Odang (OSO). "Atau sebaliknya pihak KPU mengambil inisiatif untuk konsultasi dan/atau kompromi dengan OSO terkait dengan persoalan teknis pelaksanaan putusan PTUN Jakarta yang sudah bersifat final and binding serta Eksekutorial," katanya.
Maka itu menurut dia, sudah tidak ada lagi ruang bagi KPU untuk menunda-nunda pelaksanaan putusan PTUN Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan (SK) KPU tentang pencoretan nama OSO dalam DCT Calon Perseorangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu 2019. Selain itu, PTUN Jakarta juga memerintahkan KPU RI untuk mencantumkan kembali nama OSO dalam DCT Calon Perseorang DPD RI pada Pemilu 2019.
"Karena dengan menunda-nunda pelaksanaan putusan PTUN, maka OSO dan pendukungnya sudah sangat dirugikan dimana hal itu mengandung konsekuensi hukum lebih lanjut," paparnya.
Dia melanjutkan, konsekuensi logis dari sikap KPU menunda melaksanakan putusan PTUN dimaksud, maka seluruh komisioner KPU bisa diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena diduga melakukan pelanggaran etika, dengan sanksi dipecat.
"Karena perbuatan membangkangi putusan PTUN Jakarta yang bersifat eksekutorial bisa dikualifikasi sebagai pelanggaran Etika berkategori berat dan Pedoman Perilaku Komisioner KPU," imbuhnya.
Kemudian, pilihan sikap KPU untuk konsultasi dengan MK juga dianggap melecehkan MA dan PTUN Jakarta. Jika demikian akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum khususnya pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang selama ini dikenal sebagai macan ompong yang tidak berdaya.
Padahal lanjut dia, DPR sudah melakukan pembenahan terhadap Undang-undang Peradilan PTUN agar putusan PTUN memiliki daya paksa dan wibawa."Ini jelas merupakan langkah mundur dalam penegakan hukum dan demokrasi, karena memberi pesan konkrit bahwa Independensi KPU RI bisa digadaikan atau dibeli demi memenuhi ambisi politik pihak ketiga yang bertujuan menjegal OSO," tuturnya.
Dia menambahkan, KPU berada pada posisi terjebak dalam kepentingan pihak ketiga, sehingga tidak segan-segan melacurkan independensinya, melakukan politisasi terhadap kepastian hukum dan keadilan yang sudah menjadi milik OSO, baik melalui putusan MA maupun putusan PTUN Jakarta.
"Jika seorang OSO saja diperlakukan demikian, bagaimana dengan nasib rakyat kecil pencari keadilan. Untuk itu kasus ini harus di bawa ke DKPP untuk diproses dan tidak tertutup kemungkinan seluruh komisioner KPU diberhentikan dari jabatan di KPU," pungkasnya.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus menilai rencana KPU melakukan konsultasi dengan MK itu jelas tidak etis dan melanggar hukum acara yang berlaku."Konsultasi dan kompromi yang digagas oleh KPU jelas merupakan pembangkangan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang sudah berkekuatan hukum tetap yang bersifat final and binding," kata Petrus Selestinus dalam keterangan tertulisnya, Rabu(21/11/2018).
Maka itu kata dia, MK tidak boleh terjebak dalam manuver KPU melalui apa yang disebut sebagai konsultasi. "Karena pertemuan yang dibolehkan Undang-undang antara MK dan Lembaga Negara lainnya terkait perkara adalah hanya sepanjang perkara itu masih berjalan dan hanya boleh dilakukan di ruang sidang terbuka untuk umum," ucapnya.
Sehingga, pertemuan yang hendak dilakukan KPU dengan MK juga dianggap bersifat politis dan inkonstitusional. "KPU RI tidak boleh menyeret MK dalam mempolitisasi kepastian hukum dan keadilan yang sudah diperoleh OSO melalui putusan PTUN Jakarta yang bersifat final and binding," ujarnya.
Dia melanjutkan, pertemuan konsultasi hanya boleh dilakukan oleh pihak Oesman Sapta Odang (OSO). "Atau sebaliknya pihak KPU mengambil inisiatif untuk konsultasi dan/atau kompromi dengan OSO terkait dengan persoalan teknis pelaksanaan putusan PTUN Jakarta yang sudah bersifat final and binding serta Eksekutorial," katanya.
Maka itu menurut dia, sudah tidak ada lagi ruang bagi KPU untuk menunda-nunda pelaksanaan putusan PTUN Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan (SK) KPU tentang pencoretan nama OSO dalam DCT Calon Perseorangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu 2019. Selain itu, PTUN Jakarta juga memerintahkan KPU RI untuk mencantumkan kembali nama OSO dalam DCT Calon Perseorang DPD RI pada Pemilu 2019.
"Karena dengan menunda-nunda pelaksanaan putusan PTUN, maka OSO dan pendukungnya sudah sangat dirugikan dimana hal itu mengandung konsekuensi hukum lebih lanjut," paparnya.
Dia melanjutkan, konsekuensi logis dari sikap KPU menunda melaksanakan putusan PTUN dimaksud, maka seluruh komisioner KPU bisa diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena diduga melakukan pelanggaran etika, dengan sanksi dipecat.
"Karena perbuatan membangkangi putusan PTUN Jakarta yang bersifat eksekutorial bisa dikualifikasi sebagai pelanggaran Etika berkategori berat dan Pedoman Perilaku Komisioner KPU," imbuhnya.
Kemudian, pilihan sikap KPU untuk konsultasi dengan MK juga dianggap melecehkan MA dan PTUN Jakarta. Jika demikian akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum khususnya pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang selama ini dikenal sebagai macan ompong yang tidak berdaya.
Padahal lanjut dia, DPR sudah melakukan pembenahan terhadap Undang-undang Peradilan PTUN agar putusan PTUN memiliki daya paksa dan wibawa."Ini jelas merupakan langkah mundur dalam penegakan hukum dan demokrasi, karena memberi pesan konkrit bahwa Independensi KPU RI bisa digadaikan atau dibeli demi memenuhi ambisi politik pihak ketiga yang bertujuan menjegal OSO," tuturnya.
Dia menambahkan, KPU berada pada posisi terjebak dalam kepentingan pihak ketiga, sehingga tidak segan-segan melacurkan independensinya, melakukan politisasi terhadap kepastian hukum dan keadilan yang sudah menjadi milik OSO, baik melalui putusan MA maupun putusan PTUN Jakarta.
"Jika seorang OSO saja diperlakukan demikian, bagaimana dengan nasib rakyat kecil pencari keadilan. Untuk itu kasus ini harus di bawa ke DKPP untuk diproses dan tidak tertutup kemungkinan seluruh komisioner KPU diberhentikan dari jabatan di KPU," pungkasnya.
(maf)