Kampanye Sensasional

Rabu, 21 November 2018 - 05:59 WIB
Kampanye Sensasional
Kampanye Sensasional
A A A
Kampanye Pemilu 2019 sudah berlangsung selama kurang lebih dua bulan. Sejak kampanye untuk memilih calon anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan calon presiden dan wakil presiden ini dimulai pada 23 September 2018, pemberitaan tentang itu telah ramai di media massa. Tidak hanya itu, lini masa media sosial (medsos) juga tak kalah gempita.

Pemilu yang digelar 17 April tahun depan itu sejatinya berlangsung serentak untuk pertama kalinya. Selain memilih wakil rakyat, baik anggota DPR, DPD maupun DPRD, juga dilakukan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres). Namun, harus diakui bahwa kampanye pilpres lebih membetot perhatian publik Tanah Air. Publik tampaknya lebih tertarik membahas persaingan antara Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno selaku pasangan capres-cawapres.

Memang kenyataannya magnet pilpres jauh lebih kuat dibandingkan pemilihan legislatif. Terlebih lagi, pilpres menawarkan persaingan yang sengit antardua kubu. Sejak kampanye dimulai, berbagai pernyataan dari tim pemenangan atau juru kampanye masing-masing kerap mengundang perhatian, bahkan tak jarang memantik reaksi keras dari kubu lawan. Setiap celah atau kesalahan yang dilakukan kubu lawan terlihat dimanfaatkan kubu sebelah untuk menangguk dukungan. Sejauh mana manuver tersebut berpengaruh pada elektoral calon yang didukung, itu perkara belakangan. Hal yang utama adalah bagaimana mengapitalisasi isu yang berangkat dari kekeliruan lawan dalam berucap atau berkomentar. Pendeknya, kampanye pilpres ibarat penghitungan poin pada permainan badminton. Setiap kesalahan yang dibuat lawan adalah poin bagi kita.

Akibat dari semua itu adalah kegaduhan. Pemberitaan dan lini masa medsos ramai oleh sensasi namun kering akan substansi. Penglihatan dan pendengaran kita lebih sering dipenuhi noise ketimbang voice atau aspirasi yang mewakili suara rakyat. Kritik kubu lawan dibalas dengan reaksi defensif yakni mencari jurus lain untuk menyerang balik. Kritik dari kubu oposisi yang dimotori Partai Gerindra kerap dilontarkan tanpa dibarengi penyajian data yang akurat, terutama di bidang ekonomi. Sebaliknya, kubu Istana juga terlihat gagap dalam menghadapi tekanan sehingga memilih menyerang tanpa berupaya membantah tudingan lawan dengan data-data.

Ironisnya lagi, kandidat capres juga tak luput menjadi produsen kegaduhan. Itu bisa dilihat dari produksi kata-kata yang mengundang kontroversi. Dimulai dari pernyataan Jokowi yang menyebut ada “politisi sontoloyo”. Sejumlah kalangan menilai istilah ini tidak patut terlontar dari seorang kepala negara. Tak berselang lama Prabowo juga jadi sasaran kritik ketika menyampaikan perumpamaan dengan menyebut “tampang Boyolali”. Reaksi keras datang terutama dari warga Boyolali. Tak berselang lama, Jokowi lagi-lagi menyebut “politik genderuwo”.

Sama dengan kontroversi sebelumnya. ini kemudian menggelinding dan membesar serta memicu kegaduhan. Entah apalagi diksi kontraproduktif yang akan muncul setelah ini. Pertanyaannya, sampai kapan publik akan disuguhi dengan pertarungan yang hanya ramai di permukaan namun tidak menyentuh hal paling mendasar dari apa yang dibutuhkan publik saat ini? Kita tidak dapat menutup mata bahwa tantangan ekonomi saat ini demikian berat ketika nilai tukar rupiah terus terkulai terhadap dolar AS. Harga sejumlah kebutuhan pokok terus naik dan membebani ekonomi golongan bawah. Kita mendapati harga tarif listrik dan BBM yang terus naik. Lapangan kerja juga bukan hal yang mudah diperoleh.

Seluruh kondisi ini membutuhkan solusi konkret. Seyogianya visi-misi pasangan capres dan cawapres disampaikan secara baik ke publik guna membangun optimisme. Bahwa setiap persoalan yang dihadapi negara saat ini akan bisa teratasi dengan program kerja yang telah disusun melalui visi-misi. Sejatinya, program yang dimaksud ada pada setiap pasangan calon, hanya itu tidak tersampaikan karena nyaris semua pihak terjebak dalam pertarungan yang bersifat sensasional.

Peneliti Lembaga Survei Indonesia Adjie Alfaraby menyebut kampanye pilpres lebih menjual sensasi ketimbang gagasan yang akan dijalankan jika capres terpilih nanti. Top isu dalam survei LSI adalah hal yang sensasional. Itu yang mendominasi media massa dan media sosial.

Masih tersisa waktu lima bulan sebelum pemilihan digelar. Ada baiknya para elite politik, terutama tim pemenangan capres untuk introspeksi diri. Saatnya kampanye diisi dengan adu gagasan yang mencerahkan dan membangun optimisme, bukan justru saling menjatuhkan dan menebar ketakutan.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3100 seconds (0.1#10.140)