Fintech Abal-abal Sudah Telan Korban
A
A
A
PERKEMBANGAN perusahaanfinancial technology (fintech) tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Pengandaian itu tidak berlebihan untuk menggambarkan bagaimana pesatnya perkembangan fintech di negeri ini.
Fintech yang berkembang di Indonesia, khususnya yang memberikan layanan kredit secara online, bukan sepenuhnya milik anak bangsa, tetapi juga banyak dari negara lain, terutama dari Negeri Tirai Bambu dengan nama-nama lokal. Memang melalui fintech urusan pinjam-meminjam atau kredit menjadi mudah bagi masyarakat.
Sayangnya di balik kemudahan itu sejumlah jebakan bagi masyarakat menjadi ancaman serius. Terutama dari fintech ilegal atau lebih akrab disebut fintech abal-abal yang bisa merugikan masyarakat banyak.
Keberadaan fintech abal-abal kini mulai menjadi momok di tengah masyarakat. Dari publikasi terbaru dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terdapat sebanyak 341 aplikasi fintech ilegal yang sudah diblokir. Bagaimana caranya mengetahui sebuah fintech abal-abal?
Untuk urusan ini, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hendrikus Passagi, berbagi pengetahuan bahwa fintech abal-abal pada umumnya menyamarkan identitas perusahaan, misalnya alamat perusahaan tak pernah dicantumkan pada aplikasi. Jadi dari awal mulai terdeteksi perusahaan tersebut tidak transparan sehingga kalau terjadi pelanggaran tak bisa dilacak oleh otoritas keuangan dan pihak berwajib.
Selain itu sejumlah ciri umum fintech abal-abal yang harus menjadi perhatian masyarakat adalah pemberian pinjaman begitu mudah. Dana pinjaman akan mengucur secepatnya seusai nasabah mengisi formulir.
Bandingkan dengan fintech legal yang membutuhkan sejumlah persyaratan, harus jelas kerja apa dan di mana, slip gaji dan butuh waktu untuk proses pencairan pinjaman. Dengan berbekal data kontak yang diisi nasabah dalam formulir itulah yang dijadikan senjata dalam menangih apabila nasabah telat membayar dengan cara meneror.
Saat ini Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mulai banjir laporan dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh perusahaan fintech. Jenis laporan bermacam-macam seperti pengenaan bunga yang sangat tinggi, pelanggaran privacy dengan menghubungi orang yang terdapat dalam daftar kontak nasabah yang telat membayar.
Bagi masyarakat yang dirugikan perusahaan fintech, LBH Jakarta telah memfasilitasinya melalui posko pengaduan online. Sejak Mei lalu telah masuk pengaduan sebanyak 283 dari berbagai bentuk pelanggaran hukum. Di antaranya penagihan dengan mempermalukan, memaki, mengancam hingga memfitnah.
Penagihan dilakukan kepada nomor kontak keluarga nasabah. Penagihan tanpa kenal waktu. Betul, membayar pinjaman adalah sebuah kewajiban, tetapi jangan menimbulkan persoalan pelanggaran hukum.
Terlepas dari maraknya fintech abal-abal yang sudah banyak menelan korban masyarakat, pihak OJK memprediksi penyaluran pinjaman online bakal mencapai Rp20 triliun hingga akhir tahun ini. Berdasarkan data terbaru OJK, jumlah penyaluran pinjaman online telah menembus Rp11,68 triliun hingga Agustus lalu.
Melesatnya angka penyaluran pinjaman tak lepas dari kemudahan yang ditawarkan oleh perusahaan fintech. Adapun jumlah pencari pinjaman terdapat 1,8 juta per Agustus 2018 dan diperkirakan akan mencapai 3 juta pada akhir tahun.
Bagaimana dengan bunga pinjaman? Pihak OJK tidak mencampuri soal penetapan bunga pinjaman bagi perusahaan fintech hanya mengarahkan bunga pinjaman disesuaikan dengan kondisi ekonomi yang tercermin dari pasar. Selain itu, sudah ada kesepakatan di antara perusahaan fintech yang dirumuskan melalui asosiasi bahwa bunga dan denda maksimal tidak boleh melebihi pokok pinjaman.
Harus diakui bahwa perkembangan fintech yang begitu pesat belum bisa diimbangi dengan regulasi yang ada. Memang, pemerintah tidak tinggal diam tetapi begitu banyak celah aturan yang dimanfaatkan oleh perusahaan fintech abal-abal untuk mengecoh masyarakat.
Karena itu, masyarakat jangan mudah terprovokasi untuk melakukan pinjaman online yang hanya melihat sisi kemudahan saja dalam mencairkan pinjaman. Masyarakat harus jeli mencermati deskripsi pada setiap aplikasi. Dan tak kalah penting periksa keberadaan perusahaan fintech apakah sudah terdaftar di OJK.
Fintech yang berkembang di Indonesia, khususnya yang memberikan layanan kredit secara online, bukan sepenuhnya milik anak bangsa, tetapi juga banyak dari negara lain, terutama dari Negeri Tirai Bambu dengan nama-nama lokal. Memang melalui fintech urusan pinjam-meminjam atau kredit menjadi mudah bagi masyarakat.
Sayangnya di balik kemudahan itu sejumlah jebakan bagi masyarakat menjadi ancaman serius. Terutama dari fintech ilegal atau lebih akrab disebut fintech abal-abal yang bisa merugikan masyarakat banyak.
Keberadaan fintech abal-abal kini mulai menjadi momok di tengah masyarakat. Dari publikasi terbaru dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terdapat sebanyak 341 aplikasi fintech ilegal yang sudah diblokir. Bagaimana caranya mengetahui sebuah fintech abal-abal?
Untuk urusan ini, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hendrikus Passagi, berbagi pengetahuan bahwa fintech abal-abal pada umumnya menyamarkan identitas perusahaan, misalnya alamat perusahaan tak pernah dicantumkan pada aplikasi. Jadi dari awal mulai terdeteksi perusahaan tersebut tidak transparan sehingga kalau terjadi pelanggaran tak bisa dilacak oleh otoritas keuangan dan pihak berwajib.
Selain itu sejumlah ciri umum fintech abal-abal yang harus menjadi perhatian masyarakat adalah pemberian pinjaman begitu mudah. Dana pinjaman akan mengucur secepatnya seusai nasabah mengisi formulir.
Bandingkan dengan fintech legal yang membutuhkan sejumlah persyaratan, harus jelas kerja apa dan di mana, slip gaji dan butuh waktu untuk proses pencairan pinjaman. Dengan berbekal data kontak yang diisi nasabah dalam formulir itulah yang dijadikan senjata dalam menangih apabila nasabah telat membayar dengan cara meneror.
Saat ini Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mulai banjir laporan dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh perusahaan fintech. Jenis laporan bermacam-macam seperti pengenaan bunga yang sangat tinggi, pelanggaran privacy dengan menghubungi orang yang terdapat dalam daftar kontak nasabah yang telat membayar.
Bagi masyarakat yang dirugikan perusahaan fintech, LBH Jakarta telah memfasilitasinya melalui posko pengaduan online. Sejak Mei lalu telah masuk pengaduan sebanyak 283 dari berbagai bentuk pelanggaran hukum. Di antaranya penagihan dengan mempermalukan, memaki, mengancam hingga memfitnah.
Penagihan dilakukan kepada nomor kontak keluarga nasabah. Penagihan tanpa kenal waktu. Betul, membayar pinjaman adalah sebuah kewajiban, tetapi jangan menimbulkan persoalan pelanggaran hukum.
Terlepas dari maraknya fintech abal-abal yang sudah banyak menelan korban masyarakat, pihak OJK memprediksi penyaluran pinjaman online bakal mencapai Rp20 triliun hingga akhir tahun ini. Berdasarkan data terbaru OJK, jumlah penyaluran pinjaman online telah menembus Rp11,68 triliun hingga Agustus lalu.
Melesatnya angka penyaluran pinjaman tak lepas dari kemudahan yang ditawarkan oleh perusahaan fintech. Adapun jumlah pencari pinjaman terdapat 1,8 juta per Agustus 2018 dan diperkirakan akan mencapai 3 juta pada akhir tahun.
Bagaimana dengan bunga pinjaman? Pihak OJK tidak mencampuri soal penetapan bunga pinjaman bagi perusahaan fintech hanya mengarahkan bunga pinjaman disesuaikan dengan kondisi ekonomi yang tercermin dari pasar. Selain itu, sudah ada kesepakatan di antara perusahaan fintech yang dirumuskan melalui asosiasi bahwa bunga dan denda maksimal tidak boleh melebihi pokok pinjaman.
Harus diakui bahwa perkembangan fintech yang begitu pesat belum bisa diimbangi dengan regulasi yang ada. Memang, pemerintah tidak tinggal diam tetapi begitu banyak celah aturan yang dimanfaatkan oleh perusahaan fintech abal-abal untuk mengecoh masyarakat.
Karena itu, masyarakat jangan mudah terprovokasi untuk melakukan pinjaman online yang hanya melihat sisi kemudahan saja dalam mencairkan pinjaman. Masyarakat harus jeli mencermati deskripsi pada setiap aplikasi. Dan tak kalah penting periksa keberadaan perusahaan fintech apakah sudah terdaftar di OJK.
(kri)