Ibu Rumah Tangga dan Hoaks
A
A
A
MABES Polri merilis identitas para tersangka penyebar berita bohong (hoaks) yang ditangkap di beberapa tempat selama kurun 31 Oktober-6 November 2018. Fakta yang cukup mengejutkan, para tersangka tersebut didominasi ibu rumah tangga muda. Rentang usia mereka antara 20-42 tahun. Dari belasan orang yang ditetapkan tersangka, delapan orang di antaranya adalah ibu rumah tangga. Mereka berinisial DNL (20), A (30), O (30), TK (34), S (33), NY (22), AZ (21), dan NV (29). Dari delapan itu, satu orang ditangkap karena mengunggah hoaks kecelakaan Lion Air. Sementara sisanya berurusan dengan polisi karena hoaks penculikan anak.
Namun, kendati tersangka adalah mayoritas ibu rumah tangga tidak berarti bahwa secara umum atau keseluruhan penyebar hoaks di tanah Air didominasi kalangan ibu. Untuk membuat kesimpulan tersebut tentu memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun, betapapun fakta yang diungkapkan Mabes Polri ini menyisakan banyak pertanyaan. Mengapa ibu rumah tangga muda rentan menjadi produsen hoaks? Apa motif mereka sehingga dengan mudah mereproduksi berita bohong yang meresahkan?
Mengacu hasil pemeriksaan polisi, para ibu rumah tangga ini bukan pembuat konten hoaks, mereka hanya menyebarkan melalui akun masing-masing. Hasil pemeriksaan polisi diketahui bahwa para ibu rumah tangga ini mengaku hanya iseng memposting ulang informasi yang mereka terima melalui media sosial (medsos). Mereka umumnya tidak menyadari bahwa dengan memposting ulang, apalagi dengan menambahkan komentar yang sejatinya bukan fakta, itu merupakan pelanggaran atas Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana.
Ada sejumlah alasan yang bisa dimajukan untuk mengetahui penyebab mengapa ibu rumah tangga muda demikian rentan menjadi penyebar berita bohong. Pertama, ibu rumah tangga merupakan kalangan yang paling berpotensi menjadi pengguna medsos paling aktif dibanding segmen lain. Ini tidak lepas dari faktor intensitas ibu rumah tangga dalam mengakses internet dalam setiap harinya. Diketahui bersama bahwa banyak ibu rumah tangga yang memilih berada di sektor domestik dengan mengurus rumah tangga ketimbang bekerja sebagai karyawan atau pekerja kantoran. Kondisi ini memungkinkan ibu rumah tangga memiliki banyak waktu luang untuk berselancar ria di berbagai platform medsos yang ada. Di era 90-an, waktu dan perhatian ibu rumah tangga lebih banyak tercurah untuk menonton tayangan telenovela atau sinetron di televisi. Kini era telenovela sudah berlalu, dan tergantikan dengan “mainan” baru bernama medsos.
Kedua, masalah literasi digital yang harus diakui masih sangat buruk. Media sosial merupakan ruang publik yang tetap perlu batasan dan filter dalam menggunakannya. Namun, di saat masyarakat begitu aktif menggunakan medsos, kemampuannya dalam memahami aturan yang berlaku di dunia maya justru minim. Akibatnya, mereka mudah meneruskan pesan yang diterimanya tanpa klarifikasi, tabayyun. Tidak terpikirkan lagi bahwa apa yang disebarnya itu kebohongan sehingga menimbulkan keresahan.
Apa pun motif dan alasannya, penyebaran kabar bohong di medsos tidak dibenarkan dan bisa dipidana karena berdampak buruk untuk masyarakat umum. Tercipta keresahan dan ketakutan.
Selama ini pemerintah sudah cukup gencar menyampaikan betapa pentingnya masyarakat bijak dalam bermedia sosial. Termasuk mengingatkan dampak hukum yang terjadi jika terjadi pelanggaran atas UU ITE. Namun, upaya tersebut rupanya tidak sebanding dengan massifnya penggunaan medsos. Terjadi banjir bandang informasi melalui medsos. Pada banjir ini bukan hanya air yang hanyut, melainkan ikut pula sampah-sampahnya. Ironisnya, sebagian masyarakat mengambil apa saja yang dilihatnya menarik, tak lagi peduli kalau itu sampah informasi.
Karopenmas Mabes Polri Brig jen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, tren hoaks di medsos kurun waktu tiga bulan terakhir mengalami peningkatan. Hal yang bisa dilakukan untuk meminimalkan penyebaran hoaks di antaranya adalah melakukan penegakan hukum yang tegas. Jika terjadi pelanggaran maka aparat kepolisian jangan pandang bulu. Ini penting untuk memberi efek jera kepada orang lain. Berikutnya adalah memberikan edukasi secara terus menerus kepada masyarakat awam agar bijak dalam bermedsos. Ini penting karena tak jarang sesorang jadi tersangka hanya karena dia tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu sebuah pelanggaran.
Namun, kendati tersangka adalah mayoritas ibu rumah tangga tidak berarti bahwa secara umum atau keseluruhan penyebar hoaks di tanah Air didominasi kalangan ibu. Untuk membuat kesimpulan tersebut tentu memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun, betapapun fakta yang diungkapkan Mabes Polri ini menyisakan banyak pertanyaan. Mengapa ibu rumah tangga muda rentan menjadi produsen hoaks? Apa motif mereka sehingga dengan mudah mereproduksi berita bohong yang meresahkan?
Mengacu hasil pemeriksaan polisi, para ibu rumah tangga ini bukan pembuat konten hoaks, mereka hanya menyebarkan melalui akun masing-masing. Hasil pemeriksaan polisi diketahui bahwa para ibu rumah tangga ini mengaku hanya iseng memposting ulang informasi yang mereka terima melalui media sosial (medsos). Mereka umumnya tidak menyadari bahwa dengan memposting ulang, apalagi dengan menambahkan komentar yang sejatinya bukan fakta, itu merupakan pelanggaran atas Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana.
Ada sejumlah alasan yang bisa dimajukan untuk mengetahui penyebab mengapa ibu rumah tangga muda demikian rentan menjadi penyebar berita bohong. Pertama, ibu rumah tangga merupakan kalangan yang paling berpotensi menjadi pengguna medsos paling aktif dibanding segmen lain. Ini tidak lepas dari faktor intensitas ibu rumah tangga dalam mengakses internet dalam setiap harinya. Diketahui bersama bahwa banyak ibu rumah tangga yang memilih berada di sektor domestik dengan mengurus rumah tangga ketimbang bekerja sebagai karyawan atau pekerja kantoran. Kondisi ini memungkinkan ibu rumah tangga memiliki banyak waktu luang untuk berselancar ria di berbagai platform medsos yang ada. Di era 90-an, waktu dan perhatian ibu rumah tangga lebih banyak tercurah untuk menonton tayangan telenovela atau sinetron di televisi. Kini era telenovela sudah berlalu, dan tergantikan dengan “mainan” baru bernama medsos.
Kedua, masalah literasi digital yang harus diakui masih sangat buruk. Media sosial merupakan ruang publik yang tetap perlu batasan dan filter dalam menggunakannya. Namun, di saat masyarakat begitu aktif menggunakan medsos, kemampuannya dalam memahami aturan yang berlaku di dunia maya justru minim. Akibatnya, mereka mudah meneruskan pesan yang diterimanya tanpa klarifikasi, tabayyun. Tidak terpikirkan lagi bahwa apa yang disebarnya itu kebohongan sehingga menimbulkan keresahan.
Apa pun motif dan alasannya, penyebaran kabar bohong di medsos tidak dibenarkan dan bisa dipidana karena berdampak buruk untuk masyarakat umum. Tercipta keresahan dan ketakutan.
Selama ini pemerintah sudah cukup gencar menyampaikan betapa pentingnya masyarakat bijak dalam bermedia sosial. Termasuk mengingatkan dampak hukum yang terjadi jika terjadi pelanggaran atas UU ITE. Namun, upaya tersebut rupanya tidak sebanding dengan massifnya penggunaan medsos. Terjadi banjir bandang informasi melalui medsos. Pada banjir ini bukan hanya air yang hanyut, melainkan ikut pula sampah-sampahnya. Ironisnya, sebagian masyarakat mengambil apa saja yang dilihatnya menarik, tak lagi peduli kalau itu sampah informasi.
Karopenmas Mabes Polri Brig jen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, tren hoaks di medsos kurun waktu tiga bulan terakhir mengalami peningkatan. Hal yang bisa dilakukan untuk meminimalkan penyebaran hoaks di antaranya adalah melakukan penegakan hukum yang tegas. Jika terjadi pelanggaran maka aparat kepolisian jangan pandang bulu. Ini penting untuk memberi efek jera kepada orang lain. Berikutnya adalah memberikan edukasi secara terus menerus kepada masyarakat awam agar bijak dalam bermedsos. Ini penting karena tak jarang sesorang jadi tersangka hanya karena dia tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu sebuah pelanggaran.
(wib)