Sehat Bernegara Hukum?

Selasa, 13 November 2018 - 08:31 WIB
Sehat Bernegara Hukum?
Sehat Bernegara Hukum?
A A A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Sehat itu bahagia. Sakit adalah penderitaan. Siapa pun pasti berkeinginan hidup sehat. Kalaupun sesekali seseorang diganjar sakit, itu wajar saja. Dari rasa sakit, dapat muncul kesadaran pentingnya merawat kesehatan.

World Health Organization (WHO) mengonsepkan "sehat" sebagai normalitas jiwa, raga, dan sosial. Tiga unsur itu merupakan satu kesatuan, terjalin dalam proses kehidupan, dan mewarnai perilaku keseharian. Siapa pun terkategorikan "sehat", maka semua organ berfungsi normal. Dalam kenormalannya, aktivitas kehidupan berlangsung bagaikan gerakan roda yang lancar dan stabil. Tak ada suara berisik, kemacetan, maupun hiruk-pikuk. Perjalanan kehidupan menjadi nyaman, aman, cepat sampai tujuan.

Pemahaman tentang hakikat "sehat" amat berguna sebagai modal dasar perawatan negara hukum Indonesia. Para penstudi dan ahli hukum tentu ingat ajaran von Savigny - sejarawan hukum - tentang volkgeist (jiwa bangsa). Menurut Savigny, hukum pada suatu negara senantiasa dapat dilihat dari perilaku warga negara dan penyelenggara negara. Tidak lain karena hukum merupakan pantulan dari kondisi jiwa bangsa.
Indikator suatu bangsa yang "sehat" antara lain: (1) kehidupan bersama ditata dan dikendalikan berdasarkan sistem nilai tertentu; (2) berlaku norma-norma yang selaras dengan sistem nilainya; (3) norma-norma dipatuhi dan mengejawantah sebagai perilaku otentik; (4) ada kesediaan berbagi bersama dalam urusan suka maupun duka; (5) orientasi kehidupan bersama adalah terwujudnya keadilan sosial dalam naungan rida Allah SWT.
Dalam kejernihan hati, marilah kita introspeksi, benarkah negara hukum Indonesia saat ini dalam kondisi sehat?
Sebagai proposisi dapatlah dikemukakan bahwa: terdapat relasi, interaksi, dan indeterminasi sepanjang masa antara Pancasila, manusia, dan hukum Indonesia. Apa yang disebut "hukum" pada awalnya merupakan sistem nilai, kemudian dikristalkan menjadi norma kehidupan bersama. Nilai-nilai Pancasila digali dari agama, kebudayaan, dan adat-istiadat bangsa Indonesia. Menjadi tepat dan merupakan keharusan menempatkan Pancasila sebagai paradigma hukum Indonesia.
Sungguh, tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari Pancasila dalam merawat negara hukum Indonesia. Pancasila yang terpateri kuat sebagai jiwa bangsa dapat mengantarkan perubahan perilaku dan produktivitas kerja sehingga seiring dengan peningkatan kualitas pengamalan Pancasila, akan semakin maju pula taraf kehidupan, peradaban, dan kebudayaan bangsa Indonesia. Berikut penjelasannya.
Pertama, hukum berparadigma Pancasila senantiasa menjadi petunjuk, arah atau kiblat perjalanan bangsa sehingga muncul kesadaran tentang sangkan paraning dumadi (dari mana asal-usul dan ke mana berkesudahan perikehidupan). Tidak lain, dari Tuhan Sang Pencipta, dan kelak kembali ke hadirat-Nya. Ketika itu segala amal-perbuatan dipertanggungjawabkan. Pahala dan dosa ditimbang. Masing-masing diberi tempat sesuai kadar amal-perbuatannya. Itulah karenanya, hukum berparadigma Pancasila sarat nilai-nilai moral (akhlaq ), kesempurnaan akhlaq, menjadikan manusia terbebas dari segala noda. Pada manusia ber-akhlaqul karimah, tempat kembalinya adalah surga.
Kedua, hukum berparadigma Pancasila berisi pedoman, berupa: perintah, anjuran, dan larangan, serta sanksi bagi pelanggarnya. Pedoman-pedoman itu merupakan garansi terwujudnya aktivitas kehidupan yang mudah, nyaman, aman, dan produktif. Dalam konteks sosial-kebangsaan, berinteraksi dan bersilaturahmi secara ramah dan sopan merupakan kewajiban moral dan sekaligus kewajiban hukum. Amal kebajikan menjadi tangga untuk naik ke tingkat martabat manusia mulia. Bisa dibayangkan betapa indahnya bila pelayanan publik oleh birokrasi, penegakan hukum oleh aparat kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, perawatan pasien oleh rumah sakit, santunan orang kaya terhadap orang miskin, dilakukan dalam bingkai hukum sebagai kaidah moral sosial-kebangsaan.
Ketiga, hukum berparadigma Pancasila merupakan sarana penguat kerja sama, baik antarindividu maupun antarkelembagaan. Problema kehidupan yang semakin kompleks tidak mungkin diselesaikan dengan baik tanpa dukungan dan kerja sama sesama aparat penegak hukum, lintas kelembagaan, kolaborasi-sinergis dengan masyarakat. Pada setiap masyarakat tersimpan kearifan lokal, kekuatan moral, dan gagasan-gagasan cemerlang, kontekstual dengan waktu, tempat, kondisi, dan permasalahan masing-masing. Ada ungkapan "negara mawa tata, desa mawa cara ", artinya kebinekaan hukum wajib dihargai, diakui, dan didayagunakan secara optimal. Di situlah budaya solidaritas, musyawarah, dan dialog menjadi basis interaksi sosial-kebangsaan.
Keempat , hukum berparadigma Pancasila menjadi sarana pendewasaan hidup bernegara hukum. Belajar langsung dari perilaku konkret masyarakat ketika mengatasi masalah sosial-kebangsaan, sering tak terduga terlahir ilmu dan teori hukum baru. Negara ini butuh ilmu dan teori hukum yang membumi. Kedewasaan bernegara hukum akan meningkat apabila nilai-nilai Pancasila mampu dikristalkan sebagai norma hukum, dan selanjutnya dipraktikkan sebagai perilaku sehari-hari. Itulah perilaku otentik. Sungguh dipantangkan adanya pereduksian perilaku otentik menjadi sekadar taat pada perundang-undangan, tetapi asosial, nirkebangsaan, dan apalagi sekuler.
Dalam komitmen berintrospeksi, hayatilah kata-kata bijak berikut. "Bila warga negara dan penyelenggara negara konsisten bernegara hukum atas dasar falsafah Pancasila pastilah rahmat Tuhan tercurah kepada bangsa Indonesia tiada pernah henti, datang tiada disangka-sangka, dalam kuantitas dan kualitas lebih baik daripada yang diperkirakan".
Sayang, realitas empiris menunjukkan bahwa : (1) anomali pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan hukum semakin akut; (2) perilaku politik semakin liberal, anarkis, dan egois; (3) korupsi berjamaah semakin merajalela; (4) narkoba merambah ke semua lini kehidupan. Dalam nuansa prihatin, maaf, terpaksa dikatakan, kondisi negara hukum Indonesia sedang "meriang", sakit jiwanya, berantakan perilakunya. Wallahualam.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0824 seconds (0.1#10.140)