Perayaan Kehidupan Semesta

Sabtu, 10 November 2018 - 09:01 WIB
Perayaan Kehidupan Semesta
Perayaan Kehidupan Semesta
A A A
Nadjamuddin Ramly
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Ditjen Kebudayaan Kemendikbud RI

HIDUP kita, sejak lahir hing­ga wafat, tak pernah lepas dari dinamika. Berkali-kali kita mengalami mo­men dan suasana kesuksesan, tetapi tak jarang kita mengalami kegagalan dan kesedihan. Setiap kali momen dan suasana kesuksesan dan ke­b­er­ha­silan tiba, kita bergembira dan bersukaria. Kita pun merasa hidup ini pan­tas dirayakan, betapapun kita tahu hidup memang tak selalu sempurna dan membahagiakan.

Kita lantas mengajak keluarga, te­man, para sahabat, dan handai taulan serta semua kenalan untuk bersama-sama berpesta dan merayakan ber­ba­gai hari besar sepanjang kehidupan kita. Kita berpaling sekilas dari hiruk-pi­kuk kehidupan harian kita yang lu­ma­yan bising dan tak pernah selesai. Kita berhenti sejenak untuk bergem­bi­ra merayakan kehidupan kita ber­sama-sama.

Tua-muda pun bergembira dalam berbagai momen perayaan yang ber­lan­gsung di mana-mana. Tarikan ma­gis kebatinan kita terhadap pera­y­­a­an ini begitu luar biasa. Bahkan dalam satu perayaan saja, seperti Hari Raya Idul Fitri, puluhan juta orang mera­ya­kannya dengan rela berpindah se­men­tara, pulang kampung atau mu­dik untuk bertemu dengan orang tua, saudara, teman, dan handai taulan meskipun mereka harus menempuh kemacetan jalan berjam-jam.

Kita menyaksikan, di hari itu, ba­nyak orang turut bersukacita yang ter­pancar dari wajah mereka. Mereka me­rayakannya dengan semarak, me­riah, penuh syukur. Banyak orang yang, karena saling memiliki ikatan afektif di antara mereka sebagai ke­luar­ga, rekan sekerja, atau sebagai tetangga, dengan sukarela ambil bagian dalam sukacita tersebut.

Ikatan kemanusiaan dan ikatan afek­tif berkat perjumpaan sehari-hari sejatinya membuat semua ma­nu­sia dengan mudah berbagi suka mau­pun duka. Setiap saat ketika saudara-sau­dara kita sedang menyongsong hari sukacita, serta-merta kita mes­ti­nya juga turut bersu­ka­cita. Begitu pula sebaliknya, di saat duka, kita ikut berbagi kesedihan bersama-sama.

Momen perayaan kehi­dup­an se­mes­ta tadi bisa kita lihat dari dua sisi, yaitu pe­ris­tiwa keagamaan dan sosial. Ke­dua peristiwa ini bisa berdiri sen­diri, bisa juga saling me­meng­aruhi. Ka­dang sudah ti­dak bisa dibedakan apa­kah ke­giat­an perayaan tersebut termasuk ritual indi­vi­du, sosial, ke­aga­ma­­an atau bukan ka­rena se­mua orang ber­gem­bira, semua orang m­e­ra­sa ba­hagia meraya­kan­nya.

Dari sisi ritual ke­agama­an, setiap momen pen­ting dalam ke­hi­dupan ini di­rayakan agar kita menjadi manusia yang lebih bersyukur kepada Allah Jallajalalu Tuhan Yang Maha Esa agar menjadi manusia yang semakin lebih baik dari sebelumnya. Misalnya pera­ya­an Hari Raya Idul Fitri diadakan se­bagai rasa syukur atas kemenangan yang diraih melalui ibadah puasa ri­tual selama bulan Ramadan kita de­ngan menahan diri dari segala nafsu keinginan du­niawi kita.

Begitu pu­la, dili­hat dari ka­ca­ma­ta sosial k­e­ma­sya­rakatan, Idul Fitri tadi sa­ngat ba­nyak dimensinya. Idul Fitri ber­arti sung­kem ke orang tua atau mer­­­tua ser­­ta te­­tua da­lam ke­­luarga besar kita. Ba­yang­­kan ju­ta­an orang mu­dik dan ber­temu han­dai taulan. Ba­nyak interaksi terjadi, pe­ris­ti­wa besar ini ber­arti pesta dan fes­tival kema­nu­sia­an semesta, peristiwa tahunan ini ber­arti reuni dan sila­t­u­rahmi akbar.

Pe­ris­tiwa ini juga berarti silaturahmi keluarga besar dan ke­luarga kema­nu­sia­an semesta dan tentu saja ianya se­bagai libur panjang dan rehat sejenak dari kegiatan rutin kegiatan kemanusiaan semesta, be­gitu luas dan he­bat­nya cakupan di­men­si sosial perayaan ini.

Demikian pula dimensi Hari Raya Tahun Baru yang kita rayakan secara semesta. Peristiwa tahunan ini sudah pasti bermakna dan identik dengan rasa syukur, berterima kasih atas se­gala nikmat yang kita peroleh. Di situ­lah letak hakiki dan sejatinya pera­ya­an Tahun Baru yang secara maknawi bertambahnya rasa syukur kita de­ngan segala rezeki fisik dan non­fi­sik yang sudah kita nikmati dalam se­ta­hun penuh sampai kita bertemu Hari Raya Tahun Baru berikutnya.

Syukur tentu akan membuat kita senang. Suasana senang dan bahagia itulah yang harus kita bawa dalam menjalani segala aktivitas setahun be­ri­kutnya. Senang beribadah, senang be­kerja, senang berinteraksi dengan sekitar yang bermuara pada ter­wu­jud­nya pembangunan keadaban ke­ma­nusiaan semesta.

Jadikan diri kita menyenangkan sehingga membawa berkah di mana pun kita berada. Bu­kan­nya membuat senang orang lain juga merupakan amal kebaikan? Dan siapa tahu banyak hal besar yang bisa kita hasilkan dari menciptakan sua­sa­na senang dan bahagia di sekitar kita.

Kita pun bisa mengambil hikmah di balik semua hari-hari besar yang dira­ya­kan. Perayaan keagamaan, mi­sal­nya, yang menggenapi berbagai pe­ra­yaan lain yang kita jalani dalam kehidupan kita semakin menguatkan ke­yakinan kita bahwa sejatinya se­mua agama mengajarkan nilai ke­baikan dan dimensi universalitas ke­semestaannya.

Semua agama me­nun­tun kita untuk selalu merayakan ke­hi­dupan ini, bukan me­ngu­tukinya dengan mengumbar ke­ben­cian, ama­rah, dan permusuhan. Se­mua agama membantu manusia untuk kembali ke fitrahnya yang hakiki dan ke nilai azalinya yang abadi. Dengan aga­ma hidup akan lebih terarah, dengan ilmu hidup akan lebih bermakna, de­ngan teknologi hidup akan lebih ber­warna, dan dengan seni hidup akan le­bih ceria dan romantis.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3405 seconds (0.1#10.140)