Umat Islam dan Komitmen Menjaga Persatuan di Tahun Politik

Senin, 05 November 2018 - 08:57 WIB
Umat Islam dan Komitmen Menjaga Persatuan di Tahun Politik
Umat Islam dan Komitmen Menjaga Persatuan di Tahun Politik
A A A
Muhammad Sukron
Ketua Pimpinan Pusat Pemuda MuhammadiyahBelakangan ini ma­sya­rakat Indonesia sering kali cepat ter­sulut emosi dan ama­rah yang berujung pada peng­hakiman, demonstrasi massa, dan bahkan tindakan ke­kerasan. Pada 2018 dan pun­caknya Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pileg dan Pilpres) 2019 mendatang, akan menjadi tahun signifikan dalam perjalanan demokrasi di Indo­nesia.Panasnya suasana pere­but­an kekuasaan, baik pemilihan se­rentak kepala daerah pada 2017-2018 lalu dan pileg serta pilpres 2019 yang tak lama lagi akan digelar, menambah ge­mu­ruh terbelahnya anak bangsa secara tajam dan hitam putih. Saling caci maki, fitnah, adu domba, hoaks dan ujaran ke­ben­cian, konflik di sana sini, hing­ga persekusi terjadi di ber­bagai tempat adalah beberapa deretan masalah yang dihadapi Indonesia saat ini.Rapuhnya ikatan kein­do­ne­siaan ditambah dengan ke­ang­kuh­an identitas menjadi salah satu sumber terjadinya “per­pe­cah­an” bahkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu, khususnya kelompok-kelom­pok minoritas. Masalah into­le­ransi dan proxy war merupakan fundamental problem yang dihadapi Indonesia kon­tem­porer.Hal semacam ini, mi­sal­nya, mendapat penegasan dari Amin Abdullah, seorang cen­de­kiawan muslim Indonesia yang mengingatkan bahwa tan­tang­an yang dihadapi Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian se­rius adalah proxy war dan ma­salah intoleransi yang semakin merebak. Menjelang pileg dan pilpres 2019, kita sebagai se­buah bangsa khususnya umat Islam sebagai umat mayoritas bahkan the biggest muslim in the world diuji kedewasaan, kebi­jak­­sanaan, dan komitmen un­tuk terus merawat serta men­jaga persatuan kebangsaan di tengah berbagai polemik yang menyertai hari-hari ini.Insiden pembakaran ben­dera bertuliskan kalimat tauhid pada perayaan Hari Santri Na­sional 2018 di Garut, Jawa Barat, Senin (22/10) lalu, telah menimbulkan reaksi dari ber­ba­gai kelompok umat Islam, se­kalipun yang melakukan ke­khi­lafan itu adalah anggota Banser merupakan kelompok umat Islam itu sendiri. Reaksi itu bah­kan telah menimbulkan mo­bi­li­sasi massa dalam jumlah besar serta tindakan anarki di bebera­pa tempat.Di Magelang, se­orang pria berinisial NA me­lem­pari kantor NU karena me­lam­piaskan kemarahannya atas pem­bakaran bendera bertulis ka­li­mat tauhid tersebut, bah­kan pelaku juga melempari Ge­reja Katolik Tyas Dalam, Gereja Katolik Santo Antonius, serta kantor PDI Perjuangan pun men­jadi sasaran amukannya.Di berbagai daerah diwarnai aksi demonstrasi mendesak di­bubarkannya Banser dan di­tang­kapnya pe­la­ku pem­ba­kar­an. Di Ja­karta pada 26 Oktober 2018, ribuan massa memenuhi area gedung Menkopolhukam, bah­kan ada Aksi Bela Tauhid Jilid II pada 2 November 2018 yang disebut aksi Bela Tauhid 211, ribuan orang turun ke jalan memadati area patung kuda, Jalan Merdeka, dan sekitarnya.Tentu hal sangat dikhawatirkan manakala isu agama yang sen­si­tif ini bercampur aduk dan di­man­faatkan untuk kepen­ting­an politik kekuasaan bisa me­luas dan tak terkendali. Sadar atau tidak, umat Islam sendiri sesungguhnya menjadi objek adu domba, saling hadap-ha­dap­an sesama saudara seiman, dan pada akhirnya bangsa pun menanggung kerugian. Pada konteks inilah perlu kede­wa­sa­an, sikap berjiwa besar, dan rasa persatuan seluruh elemen umat untuk mendialogkan serta me­nyelesaikannya secara bijak pe­nuh persaudaraan.Sebagaimana doktrin inti Islam bahwa, “sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara” dan manakala terjadi perse­li­sih­an, perintah Alquran sangat te­gas, yakni segera untuk meng­ambil jalan dialog atau musya­wa­rah untuk berdamai (Qs. Hujurat: 10). Sembari proses hu­kum yang berkeadilan harus di­tegakkan.Sebab persatuan sangatlah mahal harganya, bah­kan sang Proklamator, Bung Karno, di akhir masa jabatan­nya sebagai presiden menga­ta­kan: "Saya sadar bahwa saya akan tenggelam. Namun biar­kan saya rela tenggelam, agar rakyat Indonesia dengan de­mi­kian tetap bersatu, tidak ter­pe­cah belah.” Suatu sikap kete­la­danan dan kebijaksanaan demi menjaga persatuan serta ke­utuh­an bangsa. Suasana politik yang panas sekarang ini sangat rentan dengan terbelahnya atau terjadinya disintegrasi bang­sa.Sementara di sisi lain, tum­buhnya politik identitas kian menuai momentumnya sehingga konflik identitas da­lam ruang sosial-politik me­re­bak di berbagai sudut negeri. Primordialisme, rasialisme, sukuisme, dan isme-isme da­lam jubah fanatisme identitas kian menguat setidaknya terli­hat menjelang Pilpres 2019 ini.Belum lagi kita melihat fe­no­mena para tokoh agama, khu­susnya ulama yang diharapkan menjadi penyejuk dan meng­ajak pada kebijaksanaan, per­sa­tuan, dan cinta sesama, ikut pula bermain politik praktis se­hingga terbelah. Ada ulama #Gan­tiPresiden dan ada pula ulama #Jokowi2Periode, ken­da­ti­pun pilihan politik ini bu­kanlah hal salah. Namun, sedi­kit­nya menimbulkan ke­tegang­an di arus bawah yang dalam be­berapa hal kurang mengerti di­na­mi­ka politik nasional yang se­sung­guhnya.Isu SARA se­ma­kin tak terhindarkan, arus ke­ben­cian terhadap suku, ras, iden­ti­tas, ataupun agama tertentu mem­banjiri din­ding media sosial, hilang spirit keindo­ne­sia­an, dan semakin tum­buhlah arogansi identitas dalam jubah fanatisme. Hal ini semakin tak ter­bendung manakala di­tam­bah de­ngan informasi hoaks dan ujaran kebencian meng­hiasi dinding media sosial di era di­gital yang semakin ter­buka ini. Ikatan ke­bang­saan, ke­umat­an, dan kemanusiaan ham­pir putus lantaran keba­nya­kan kita mudah dan ce­pat per­caya dengan informasi-infor­masi belum tentu valid dan benar adanya yang ter­sebar di media sosial.

Melawan Hoaks
Pada 2017, Polri menangani 3.325 kasus kejahatan hate speech atau ujaran kebencian. Dikatakan, angka tersebut naik 44,99% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 1.829 kasus. Hate speech paling banyak ter­jadi adalah kasus penghinaan, yaitu 1.657 kasus naik 73,14% di­bandingkan pada 2016. Ke­mu­dian hate speech dengan kasus perbuatan tidak menye­nang­kan 1.224 kasus. Sedang­kan hate speech dengan kasus pen­cemaran nama baik 444 ka­sus.Lepas dari data ini, unjuk ke­bencian tampak dengan mu­dah kita temukan di tengah ke­terbukaan media sosial saat ini mulai dari penghinaan kepada tokoh agama, penghinaan ke­pa­da penguasa atau badan usa­ha, pencemaran nama baik, hing­ga isu berbasis suku, aga­ma, ras, dan antargolongan atau SARA.Produksi hoaks dan ujaran kebencian menjelang pileg dan pilpres 2019 ini semakin mere­bak luas. Baru-baru ini produksi hoaks dilakukan Ratna Sarum­paet dikenal sebagai aktivis senior yang hari-harinya ba­nyak menceramahi orang sepu­tar kebangsaan telah mem­bu­takan banyak pihak dan menyi­ta energi bangsa.Tak luput para tokoh senior pun ikut terseret dalam drama hoaks Ratna. Un­tuk itulah, pelajaran yang dapat dipetik bahwa hoaks tak hanya disebarkan oleh buzzer ataupun masyarakat biasa, elite dan to­koh pun bisa melakukannya un­tuk kepentingan politik pribadi dan kelompoknya. Oleh ka­rena­nya, kritis dan bijak dalam menggunakan media sosial adalah kata kuncinya.Hari-hari ini budaya saling menghargai, toleransi, gotong ro­yong, dan etika welas asih di an­tara sesama anak bangsa rasa-rasanya mulai kelihatan pudar ditutupi oleh kabut nalar sempit atau narasi kebangsaan yang mulai rapuh oleh provo­kasi-propaganda untuk ambisi politik jangka pendek para elit­enya, yang sesungguhnya belum tentu menguntungkan kha­la­yak banyak.Sementara di lain hal, kesenjangan ekonomi, pen­di­dikan, pembangunan, dan so­sial adalah masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini. Ka­rena manifestasi tujuan dan cita-cita Indonesia merdeka mem­butuhkan peran serta se­lu­ruh elemen bangsa untuk sa­ling bahu-membahu dan ber­sa­tu tanpa ada embel latar bela­kang apa pun.Perlu disadari bersama dan terus digelorakan bahwa Indo­ne­sia adalah milik bersama, ti­dak boleh seseorang atau suatu kelompok terlalu merasa memi­liki Indonesia atau merasa sa­ngat berjasa. Indonesia didi­ri­kan dan diperjuangkan oleh se­lu­ruh komponen bangsa dan rak­yat Indonesia.Bung Karno sendiri mengingatkan kita de­ngan mengatakan bahwa, "Ne­gara Republik Indonesia ini bu­kan milik suatu golongan, bu­kan milik suatu agama, bu­kan­lah milik suatu suku, bukan mi­lik suatu golongan adat-istia­dat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke.”Impli­kasinya adalah seluruh elemen bangsa dan rakyat Indo­nesia berkewajiban bela NKRI dan berkomitmen menjaga per­sa­tuan meski beda pilihan. Un­tuk mewujudkan komitmen men­ja­ga persatuan pada tahun politik ini perlu kesadaran sel­u­ruh ele­men bangsa, khusus­nya elemen umat Islam sebagai ke­lom­pok mayoritas. Peran ula­ma, tokoh agama, tokoh masya­ra­kat, to­koh adat, pimpinan ormas, pe­me­rintah, media massa, pemu­da, dan berbagai sta­keholder di bangsa ini sa­ngatlah penting serta me­nen­tu­kan persatuan dan keutuhan bangsa.Jika seluruh elemen masya­ra­kat bersatu dan bersama men­jaga persaudaraan serta per­satuan kendati beda pilihan politik, maka kita akan meng­ha­dirkan suasana demokrasi menggembirakan, sejuk, dan berkualitas. Formula dari Buya Syafii Maarif, yaitu “Ber­sau­dara dalam perbedaan dan ber­beda dalam persaudaraan” ba­rang kali sangatlah cocok dan tepat untuk diperkuat pada ta­hun-tahun politik yang krusial ini. Dengan kata lain, “pilihan boleh beda, tetapi komitmen per­sa­tu­an tetap harus terjaga”. Wallahualam.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7293 seconds (0.1#10.140)