Umat Islam dan Komitmen Menjaga Persatuan di Tahun Politik
A
A
A
Muhammad Sukron
Ketua Pimpinan Pusat Pemuda MuhammadiyahBelakangan ini masyarakat Indonesia sering kali cepat tersulut emosi dan amarah yang berujung pada penghakiman, demonstrasi massa, dan bahkan tindakan kekerasan. Pada 2018 dan puncaknya Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pileg dan Pilpres) 2019 mendatang, akan menjadi tahun signifikan dalam perjalanan demokrasi di Indonesia.Panasnya suasana perebutan kekuasaan, baik pemilihan serentak kepala daerah pada 2017-2018 lalu dan pileg serta pilpres 2019 yang tak lama lagi akan digelar, menambah gemuruh terbelahnya anak bangsa secara tajam dan hitam putih. Saling caci maki, fitnah, adu domba, hoaks dan ujaran kebencian, konflik di sana sini, hingga persekusi terjadi di berbagai tempat adalah beberapa deretan masalah yang dihadapi Indonesia saat ini.Rapuhnya ikatan keindonesiaan ditambah dengan keangkuhan identitas menjadi salah satu sumber terjadinya “perpecahan” bahkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu, khususnya kelompok-kelompok minoritas. Masalah intoleransi dan proxy war merupakan fundamental problem yang dihadapi Indonesia kontemporer.Hal semacam ini, misalnya, mendapat penegasan dari Amin Abdullah, seorang cendekiawan muslim Indonesia yang mengingatkan bahwa tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian serius adalah proxy war dan masalah intoleransi yang semakin merebak. Menjelang pileg dan pilpres 2019, kita sebagai sebuah bangsa khususnya umat Islam sebagai umat mayoritas bahkan the biggest muslim in the world diuji kedewasaan, kebijaksanaan, dan komitmen untuk terus merawat serta menjaga persatuan kebangsaan di tengah berbagai polemik yang menyertai hari-hari ini.Insiden pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid pada perayaan Hari Santri Nasional 2018 di Garut, Jawa Barat, Senin (22/10) lalu, telah menimbulkan reaksi dari berbagai kelompok umat Islam, sekalipun yang melakukan kekhilafan itu adalah anggota Banser merupakan kelompok umat Islam itu sendiri. Reaksi itu bahkan telah menimbulkan mobilisasi massa dalam jumlah besar serta tindakan anarki di beberapa tempat.Di Magelang, seorang pria berinisial NA melempari kantor NU karena melampiaskan kemarahannya atas pembakaran bendera bertulis kalimat tauhid tersebut, bahkan pelaku juga melempari Gereja Katolik Tyas Dalam, Gereja Katolik Santo Antonius, serta kantor PDI Perjuangan pun menjadi sasaran amukannya.Di berbagai daerah diwarnai aksi demonstrasi mendesak dibubarkannya Banser dan ditangkapnya pelaku pembakaran. Di Jakarta pada 26 Oktober 2018, ribuan massa memenuhi area gedung Menkopolhukam, bahkan ada Aksi Bela Tauhid Jilid II pada 2 November 2018 yang disebut aksi Bela Tauhid 211, ribuan orang turun ke jalan memadati area patung kuda, Jalan Merdeka, dan sekitarnya.Tentu hal sangat dikhawatirkan manakala isu agama yang sensitif ini bercampur aduk dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan bisa meluas dan tak terkendali. Sadar atau tidak, umat Islam sendiri sesungguhnya menjadi objek adu domba, saling hadap-hadapan sesama saudara seiman, dan pada akhirnya bangsa pun menanggung kerugian. Pada konteks inilah perlu kedewasaan, sikap berjiwa besar, dan rasa persatuan seluruh elemen umat untuk mendialogkan serta menyelesaikannya secara bijak penuh persaudaraan.Sebagaimana doktrin inti Islam bahwa, “sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara” dan manakala terjadi perselisihan, perintah Alquran sangat tegas, yakni segera untuk mengambil jalan dialog atau musyawarah untuk berdamai (Qs. Hujurat: 10). Sembari proses hukum yang berkeadilan harus ditegakkan.Sebab persatuan sangatlah mahal harganya, bahkan sang Proklamator, Bung Karno, di akhir masa jabatannya sebagai presiden mengatakan: "Saya sadar bahwa saya akan tenggelam. Namun biarkan saya rela tenggelam, agar rakyat Indonesia dengan demikian tetap bersatu, tidak terpecah belah.” Suatu sikap keteladanan dan kebijaksanaan demi menjaga persatuan serta keutuhan bangsa. Suasana politik yang panas sekarang ini sangat rentan dengan terbelahnya atau terjadinya disintegrasi bangsa.Sementara di sisi lain, tumbuhnya politik identitas kian menuai momentumnya sehingga konflik identitas dalam ruang sosial-politik merebak di berbagai sudut negeri. Primordialisme, rasialisme, sukuisme, dan isme-isme dalam jubah fanatisme identitas kian menguat setidaknya terlihat menjelang Pilpres 2019 ini.Belum lagi kita melihat fenomena para tokoh agama, khususnya ulama yang diharapkan menjadi penyejuk dan mengajak pada kebijaksanaan, persatuan, dan cinta sesama, ikut pula bermain politik praktis sehingga terbelah. Ada ulama #GantiPresiden dan ada pula ulama #Jokowi2Periode, kendatipun pilihan politik ini bukanlah hal salah. Namun, sedikitnya menimbulkan ketegangan di arus bawah yang dalam beberapa hal kurang mengerti dinamika politik nasional yang sesungguhnya.Isu SARA semakin tak terhindarkan, arus kebencian terhadap suku, ras, identitas, ataupun agama tertentu membanjiri dinding media sosial, hilang spirit keindonesiaan, dan semakin tumbuhlah arogansi identitas dalam jubah fanatisme. Hal ini semakin tak terbendung manakala ditambah dengan informasi hoaks dan ujaran kebencian menghiasi dinding media sosial di era digital yang semakin terbuka ini. Ikatan kebangsaan, keumatan, dan kemanusiaan hampir putus lantaran kebanyakan kita mudah dan cepat percaya dengan informasi-informasi belum tentu valid dan benar adanya yang tersebar di media sosial.
Melawan Hoaks
Pada 2017, Polri menangani 3.325 kasus kejahatan hate speech atau ujaran kebencian. Dikatakan, angka tersebut naik 44,99% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 1.829 kasus. Hate speech paling banyak terjadi adalah kasus penghinaan, yaitu 1.657 kasus naik 73,14% dibandingkan pada 2016. Kemudian hate speech dengan kasus perbuatan tidak menyenangkan 1.224 kasus. Sedangkan hate speech dengan kasus pencemaran nama baik 444 kasus.Lepas dari data ini, unjuk kebencian tampak dengan mudah kita temukan di tengah keterbukaan media sosial saat ini mulai dari penghinaan kepada tokoh agama, penghinaan kepada penguasa atau badan usaha, pencemaran nama baik, hingga isu berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA.Produksi hoaks dan ujaran kebencian menjelang pileg dan pilpres 2019 ini semakin merebak luas. Baru-baru ini produksi hoaks dilakukan Ratna Sarumpaet dikenal sebagai aktivis senior yang hari-harinya banyak menceramahi orang seputar kebangsaan telah membutakan banyak pihak dan menyita energi bangsa.Tak luput para tokoh senior pun ikut terseret dalam drama hoaks Ratna. Untuk itulah, pelajaran yang dapat dipetik bahwa hoaks tak hanya disebarkan oleh buzzer ataupun masyarakat biasa, elite dan tokoh pun bisa melakukannya untuk kepentingan politik pribadi dan kelompoknya. Oleh karenanya, kritis dan bijak dalam menggunakan media sosial adalah kata kuncinya.Hari-hari ini budaya saling menghargai, toleransi, gotong royong, dan etika welas asih di antara sesama anak bangsa rasa-rasanya mulai kelihatan pudar ditutupi oleh kabut nalar sempit atau narasi kebangsaan yang mulai rapuh oleh provokasi-propaganda untuk ambisi politik jangka pendek para elitenya, yang sesungguhnya belum tentu menguntungkan khalayak banyak.Sementara di lain hal, kesenjangan ekonomi, pendidikan, pembangunan, dan sosial adalah masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini. Karena manifestasi tujuan dan cita-cita Indonesia merdeka membutuhkan peran serta seluruh elemen bangsa untuk saling bahu-membahu dan bersatu tanpa ada embel latar belakang apa pun.Perlu disadari bersama dan terus digelorakan bahwa Indonesia adalah milik bersama, tidak boleh seseorang atau suatu kelompok terlalu merasa memiliki Indonesia atau merasa sangat berjasa. Indonesia didirikan dan diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa dan rakyat Indonesia.Bung Karno sendiri mengingatkan kita dengan mengatakan bahwa, "Negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukanlah milik suatu suku, bukan milik suatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke.”Implikasinya adalah seluruh elemen bangsa dan rakyat Indonesia berkewajiban bela NKRI dan berkomitmen menjaga persatuan meski beda pilihan. Untuk mewujudkan komitmen menjaga persatuan pada tahun politik ini perlu kesadaran seluruh elemen bangsa, khususnya elemen umat Islam sebagai kelompok mayoritas. Peran ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, pimpinan ormas, pemerintah, media massa, pemuda, dan berbagai stakeholder di bangsa ini sangatlah penting serta menentukan persatuan dan keutuhan bangsa.Jika seluruh elemen masyarakat bersatu dan bersama menjaga persaudaraan serta persatuan kendati beda pilihan politik, maka kita akan menghadirkan suasana demokrasi menggembirakan, sejuk, dan berkualitas. Formula dari Buya Syafii Maarif, yaitu “Bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan” barang kali sangatlah cocok dan tepat untuk diperkuat pada tahun-tahun politik yang krusial ini. Dengan kata lain, “pilihan boleh beda, tetapi komitmen persatuan tetap harus terjaga”. Wallahualam.
Ketua Pimpinan Pusat Pemuda MuhammadiyahBelakangan ini masyarakat Indonesia sering kali cepat tersulut emosi dan amarah yang berujung pada penghakiman, demonstrasi massa, dan bahkan tindakan kekerasan. Pada 2018 dan puncaknya Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pileg dan Pilpres) 2019 mendatang, akan menjadi tahun signifikan dalam perjalanan demokrasi di Indonesia.Panasnya suasana perebutan kekuasaan, baik pemilihan serentak kepala daerah pada 2017-2018 lalu dan pileg serta pilpres 2019 yang tak lama lagi akan digelar, menambah gemuruh terbelahnya anak bangsa secara tajam dan hitam putih. Saling caci maki, fitnah, adu domba, hoaks dan ujaran kebencian, konflik di sana sini, hingga persekusi terjadi di berbagai tempat adalah beberapa deretan masalah yang dihadapi Indonesia saat ini.Rapuhnya ikatan keindonesiaan ditambah dengan keangkuhan identitas menjadi salah satu sumber terjadinya “perpecahan” bahkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu, khususnya kelompok-kelompok minoritas. Masalah intoleransi dan proxy war merupakan fundamental problem yang dihadapi Indonesia kontemporer.Hal semacam ini, misalnya, mendapat penegasan dari Amin Abdullah, seorang cendekiawan muslim Indonesia yang mengingatkan bahwa tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian serius adalah proxy war dan masalah intoleransi yang semakin merebak. Menjelang pileg dan pilpres 2019, kita sebagai sebuah bangsa khususnya umat Islam sebagai umat mayoritas bahkan the biggest muslim in the world diuji kedewasaan, kebijaksanaan, dan komitmen untuk terus merawat serta menjaga persatuan kebangsaan di tengah berbagai polemik yang menyertai hari-hari ini.Insiden pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid pada perayaan Hari Santri Nasional 2018 di Garut, Jawa Barat, Senin (22/10) lalu, telah menimbulkan reaksi dari berbagai kelompok umat Islam, sekalipun yang melakukan kekhilafan itu adalah anggota Banser merupakan kelompok umat Islam itu sendiri. Reaksi itu bahkan telah menimbulkan mobilisasi massa dalam jumlah besar serta tindakan anarki di beberapa tempat.Di Magelang, seorang pria berinisial NA melempari kantor NU karena melampiaskan kemarahannya atas pembakaran bendera bertulis kalimat tauhid tersebut, bahkan pelaku juga melempari Gereja Katolik Tyas Dalam, Gereja Katolik Santo Antonius, serta kantor PDI Perjuangan pun menjadi sasaran amukannya.Di berbagai daerah diwarnai aksi demonstrasi mendesak dibubarkannya Banser dan ditangkapnya pelaku pembakaran. Di Jakarta pada 26 Oktober 2018, ribuan massa memenuhi area gedung Menkopolhukam, bahkan ada Aksi Bela Tauhid Jilid II pada 2 November 2018 yang disebut aksi Bela Tauhid 211, ribuan orang turun ke jalan memadati area patung kuda, Jalan Merdeka, dan sekitarnya.Tentu hal sangat dikhawatirkan manakala isu agama yang sensitif ini bercampur aduk dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan bisa meluas dan tak terkendali. Sadar atau tidak, umat Islam sendiri sesungguhnya menjadi objek adu domba, saling hadap-hadapan sesama saudara seiman, dan pada akhirnya bangsa pun menanggung kerugian. Pada konteks inilah perlu kedewasaan, sikap berjiwa besar, dan rasa persatuan seluruh elemen umat untuk mendialogkan serta menyelesaikannya secara bijak penuh persaudaraan.Sebagaimana doktrin inti Islam bahwa, “sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara” dan manakala terjadi perselisihan, perintah Alquran sangat tegas, yakni segera untuk mengambil jalan dialog atau musyawarah untuk berdamai (Qs. Hujurat: 10). Sembari proses hukum yang berkeadilan harus ditegakkan.Sebab persatuan sangatlah mahal harganya, bahkan sang Proklamator, Bung Karno, di akhir masa jabatannya sebagai presiden mengatakan: "Saya sadar bahwa saya akan tenggelam. Namun biarkan saya rela tenggelam, agar rakyat Indonesia dengan demikian tetap bersatu, tidak terpecah belah.” Suatu sikap keteladanan dan kebijaksanaan demi menjaga persatuan serta keutuhan bangsa. Suasana politik yang panas sekarang ini sangat rentan dengan terbelahnya atau terjadinya disintegrasi bangsa.Sementara di sisi lain, tumbuhnya politik identitas kian menuai momentumnya sehingga konflik identitas dalam ruang sosial-politik merebak di berbagai sudut negeri. Primordialisme, rasialisme, sukuisme, dan isme-isme dalam jubah fanatisme identitas kian menguat setidaknya terlihat menjelang Pilpres 2019 ini.Belum lagi kita melihat fenomena para tokoh agama, khususnya ulama yang diharapkan menjadi penyejuk dan mengajak pada kebijaksanaan, persatuan, dan cinta sesama, ikut pula bermain politik praktis sehingga terbelah. Ada ulama #GantiPresiden dan ada pula ulama #Jokowi2Periode, kendatipun pilihan politik ini bukanlah hal salah. Namun, sedikitnya menimbulkan ketegangan di arus bawah yang dalam beberapa hal kurang mengerti dinamika politik nasional yang sesungguhnya.Isu SARA semakin tak terhindarkan, arus kebencian terhadap suku, ras, identitas, ataupun agama tertentu membanjiri dinding media sosial, hilang spirit keindonesiaan, dan semakin tumbuhlah arogansi identitas dalam jubah fanatisme. Hal ini semakin tak terbendung manakala ditambah dengan informasi hoaks dan ujaran kebencian menghiasi dinding media sosial di era digital yang semakin terbuka ini. Ikatan kebangsaan, keumatan, dan kemanusiaan hampir putus lantaran kebanyakan kita mudah dan cepat percaya dengan informasi-informasi belum tentu valid dan benar adanya yang tersebar di media sosial.
Melawan Hoaks
Pada 2017, Polri menangani 3.325 kasus kejahatan hate speech atau ujaran kebencian. Dikatakan, angka tersebut naik 44,99% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 1.829 kasus. Hate speech paling banyak terjadi adalah kasus penghinaan, yaitu 1.657 kasus naik 73,14% dibandingkan pada 2016. Kemudian hate speech dengan kasus perbuatan tidak menyenangkan 1.224 kasus. Sedangkan hate speech dengan kasus pencemaran nama baik 444 kasus.Lepas dari data ini, unjuk kebencian tampak dengan mudah kita temukan di tengah keterbukaan media sosial saat ini mulai dari penghinaan kepada tokoh agama, penghinaan kepada penguasa atau badan usaha, pencemaran nama baik, hingga isu berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA.Produksi hoaks dan ujaran kebencian menjelang pileg dan pilpres 2019 ini semakin merebak luas. Baru-baru ini produksi hoaks dilakukan Ratna Sarumpaet dikenal sebagai aktivis senior yang hari-harinya banyak menceramahi orang seputar kebangsaan telah membutakan banyak pihak dan menyita energi bangsa.Tak luput para tokoh senior pun ikut terseret dalam drama hoaks Ratna. Untuk itulah, pelajaran yang dapat dipetik bahwa hoaks tak hanya disebarkan oleh buzzer ataupun masyarakat biasa, elite dan tokoh pun bisa melakukannya untuk kepentingan politik pribadi dan kelompoknya. Oleh karenanya, kritis dan bijak dalam menggunakan media sosial adalah kata kuncinya.Hari-hari ini budaya saling menghargai, toleransi, gotong royong, dan etika welas asih di antara sesama anak bangsa rasa-rasanya mulai kelihatan pudar ditutupi oleh kabut nalar sempit atau narasi kebangsaan yang mulai rapuh oleh provokasi-propaganda untuk ambisi politik jangka pendek para elitenya, yang sesungguhnya belum tentu menguntungkan khalayak banyak.Sementara di lain hal, kesenjangan ekonomi, pendidikan, pembangunan, dan sosial adalah masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini. Karena manifestasi tujuan dan cita-cita Indonesia merdeka membutuhkan peran serta seluruh elemen bangsa untuk saling bahu-membahu dan bersatu tanpa ada embel latar belakang apa pun.Perlu disadari bersama dan terus digelorakan bahwa Indonesia adalah milik bersama, tidak boleh seseorang atau suatu kelompok terlalu merasa memiliki Indonesia atau merasa sangat berjasa. Indonesia didirikan dan diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa dan rakyat Indonesia.Bung Karno sendiri mengingatkan kita dengan mengatakan bahwa, "Negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukanlah milik suatu suku, bukan milik suatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke.”Implikasinya adalah seluruh elemen bangsa dan rakyat Indonesia berkewajiban bela NKRI dan berkomitmen menjaga persatuan meski beda pilihan. Untuk mewujudkan komitmen menjaga persatuan pada tahun politik ini perlu kesadaran seluruh elemen bangsa, khususnya elemen umat Islam sebagai kelompok mayoritas. Peran ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, pimpinan ormas, pemerintah, media massa, pemuda, dan berbagai stakeholder di bangsa ini sangatlah penting serta menentukan persatuan dan keutuhan bangsa.Jika seluruh elemen masyarakat bersatu dan bersama menjaga persaudaraan serta persatuan kendati beda pilihan politik, maka kita akan menghadirkan suasana demokrasi menggembirakan, sejuk, dan berkualitas. Formula dari Buya Syafii Maarif, yaitu “Bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan” barang kali sangatlah cocok dan tepat untuk diperkuat pada tahun-tahun politik yang krusial ini. Dengan kata lain, “pilihan boleh beda, tetapi komitmen persatuan tetap harus terjaga”. Wallahualam.
(maf)