Peringkat Berbisnis Menjauhi Target
A
A
A
Berharap peringkat indeks kemudahan berbisnis (ease of doing business /EODB) semakin baik, tetapi malah turun peringkat. Faktanya Bank Dunia (World Bank) telah menurunkan peringkat EODB Indonesia dari level 72 pada tahun lalu ke level 73 pada tahun ini. Kenaikan peringkat EODB tahun lalu memang sangat fenomenal, Indonesia melompati 19 peringkat menuju posisi ke-72. Dengan prestasi yang membanggakan itu, pemerintah menargetkan pencapaian peringkat melompat ke level 40.
Pemerintah kecewa dengan penurunan peringkat EODB Indonesia itu? Boleh saja kecewa, tetapi sebaiknya cepat melakukan koreksi diri apakah perbaikan kebijakan mengenai kemudahan berbisnis sudah tepat? Selama ini pemerintah telah menerbitkan sejumlah paket kebijakan untuk mendongkrak peringkat EODB, tetapi mengapa tidak berimplikasi terhadap kenaikan peringkat sebagaimana diharapkan? Bisa saja implementasi dari 16 paket kebijakan tersebut belum optimal di lapangan. Salah satu persoalan klasik yang masih banyak dikeluhkan adalah terkait koordinasi baik antara instansi pemerintah maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Walau posisi EODB Indonesia turun satu peringkat, dilihat dari indikator skor justru terjadi kenaikan sekitar 1,42 poin dari 66,54 menjadi 67,96. Bank Dunia membeberkan sebanyak 6 dari 10 indikator penentu skor meningkat. Pertama, indikator memulai usaha (starting a business) meningkat dari 77,93 ke posisi 81,22. Kedua, indikator pengurusan perizinan mendirikan bangunan komersial (dealing with construction permit) naik dari 66,08 ke level 66,57.
Ketiga, indikator pendaftaran properti (registering property) naik dari 59,01 menjadi 61,67. Keempat, indikator kemudahan memperoleh sambungan listrik (getting electricity) meningkat dari posisi 83,87 ke 86,38. Kelima, indikator memperoleh pinjaman (getting credit) dari 65 menjadi 70. Keenam, indikator kemudahan penyelesaian proses kepailitan (resolving insolvency) naik tipis dari 67,61 menjadi 67,89.
Adapun 4 indikator skor lainnya tercatat stagnan alias tetap sama seperti tahun lalu, yakni indikator membayar pajak (paying taxes) tetap di posisi 68,03, indikator perlindungan terhadap investor minoritas (protecting minority investors) tetap di level 63,33, indikator perdagangan lintas batas (trading across border) masih tetap 67,27. Sebaliknya untuk 4 indikator peringkat terjadi penurunan, meliputi dealing with construction permit, protecting minority investors, trading across border, enforcing contract. Akibat penurunan indikator peringkat tersebut, peringkat EODB Indonesia turun satu level.
Penurunan peringkat EODB Indonesia memang cukup ironis di tengah gencarnya langkah pemerintah mendorong kemudahan berbisnis melalui berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan yang baru dirilis pada Juli 2018 adalah layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau lebih keren dengan sebutan Online Single Submission (OSS). Mengapa OSS belum berkontribusi dalam meningkatkan peringkat EODB Indonesia? Kalangan pengamat ekonomi sepakat menilai bahwa OSS adalah sebuah kebijakan terburu-buru sehingga justru menimbulkan hambatan baru berkaitan dengan proses perizinan yang malah membuat para investor bingung.
Penurunan peringkat EODB Indonesia tidak perlu diperdebatkan, apalagi malah mencari kambing hitam. Tentu langkah serius yang harus ditempuh pemerintah adalah segera mengevaluasi atau mengoreksi diri untuk memperbaiki aturan yang belum terimplementasi secara optimal di lapangan. Terutama untuk mengevaluasi sebanyak 16 paket kebijakan yang sudah diterbitkan pemerintah sebelumnya.Persoalannya di depan mata, bagaimana membenahi 4 indikator skor yang mengalami stagnasi dan bagaimana merumuskan kebijakan yang lebih tepat untuk mendongkrak 4 indikator peringkat yang mengalami penurunan tahun ini. Selain itu para aparat negara baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah saatnya introspeksi, terutama menyangkut kinerja dalam meningkatkan kemudahan berbisnis di negeri ini.
Pemerintah kecewa dengan penurunan peringkat EODB Indonesia itu? Boleh saja kecewa, tetapi sebaiknya cepat melakukan koreksi diri apakah perbaikan kebijakan mengenai kemudahan berbisnis sudah tepat? Selama ini pemerintah telah menerbitkan sejumlah paket kebijakan untuk mendongkrak peringkat EODB, tetapi mengapa tidak berimplikasi terhadap kenaikan peringkat sebagaimana diharapkan? Bisa saja implementasi dari 16 paket kebijakan tersebut belum optimal di lapangan. Salah satu persoalan klasik yang masih banyak dikeluhkan adalah terkait koordinasi baik antara instansi pemerintah maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Walau posisi EODB Indonesia turun satu peringkat, dilihat dari indikator skor justru terjadi kenaikan sekitar 1,42 poin dari 66,54 menjadi 67,96. Bank Dunia membeberkan sebanyak 6 dari 10 indikator penentu skor meningkat. Pertama, indikator memulai usaha (starting a business) meningkat dari 77,93 ke posisi 81,22. Kedua, indikator pengurusan perizinan mendirikan bangunan komersial (dealing with construction permit) naik dari 66,08 ke level 66,57.
Ketiga, indikator pendaftaran properti (registering property) naik dari 59,01 menjadi 61,67. Keempat, indikator kemudahan memperoleh sambungan listrik (getting electricity) meningkat dari posisi 83,87 ke 86,38. Kelima, indikator memperoleh pinjaman (getting credit) dari 65 menjadi 70. Keenam, indikator kemudahan penyelesaian proses kepailitan (resolving insolvency) naik tipis dari 67,61 menjadi 67,89.
Adapun 4 indikator skor lainnya tercatat stagnan alias tetap sama seperti tahun lalu, yakni indikator membayar pajak (paying taxes) tetap di posisi 68,03, indikator perlindungan terhadap investor minoritas (protecting minority investors) tetap di level 63,33, indikator perdagangan lintas batas (trading across border) masih tetap 67,27. Sebaliknya untuk 4 indikator peringkat terjadi penurunan, meliputi dealing with construction permit, protecting minority investors, trading across border, enforcing contract. Akibat penurunan indikator peringkat tersebut, peringkat EODB Indonesia turun satu level.
Penurunan peringkat EODB Indonesia memang cukup ironis di tengah gencarnya langkah pemerintah mendorong kemudahan berbisnis melalui berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan yang baru dirilis pada Juli 2018 adalah layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau lebih keren dengan sebutan Online Single Submission (OSS). Mengapa OSS belum berkontribusi dalam meningkatkan peringkat EODB Indonesia? Kalangan pengamat ekonomi sepakat menilai bahwa OSS adalah sebuah kebijakan terburu-buru sehingga justru menimbulkan hambatan baru berkaitan dengan proses perizinan yang malah membuat para investor bingung.
Penurunan peringkat EODB Indonesia tidak perlu diperdebatkan, apalagi malah mencari kambing hitam. Tentu langkah serius yang harus ditempuh pemerintah adalah segera mengevaluasi atau mengoreksi diri untuk memperbaiki aturan yang belum terimplementasi secara optimal di lapangan. Terutama untuk mengevaluasi sebanyak 16 paket kebijakan yang sudah diterbitkan pemerintah sebelumnya.Persoalannya di depan mata, bagaimana membenahi 4 indikator skor yang mengalami stagnasi dan bagaimana merumuskan kebijakan yang lebih tepat untuk mendongkrak 4 indikator peringkat yang mengalami penurunan tahun ini. Selain itu para aparat negara baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah saatnya introspeksi, terutama menyangkut kinerja dalam meningkatkan kemudahan berbisnis di negeri ini.
(pur)