Australia, Kamu Jadi Pindah ke Yerusalem?

Rabu, 31 Oktober 2018 - 07:30 WIB
Australia, Kamu Jadi Pindah ke Yerusalem?
Australia, Kamu Jadi Pindah ke Yerusalem?
A A A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

Presiden Joko Widodo memperlihatkan sikap positifnya kepada Scott Morisson ketika Morisson memutuskan untuk mengunjungi Indonesia seminggu setelah ia diangkat menjadi Perdana Menteri Australia menggantikan Malcolm Turnbull. Tentu kunjungan itu juga dapat dipandang sebagai penghargaan dari Australia kepada Indonesia. Oleh sebab itu sebagai ganjarannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyambut PM Morisson dengan upacara kenegaraan yang meriah.

Tidak disangka bahwa dua bulan kemudian PM Morisson menyatakan bahwa Australia membuka pilihan untuk memindahkan kedutaannya dari Tel-Aviv ke Yerusalem. Pernyataan itu jelas menampar muka Indonesia yang telah menaruh harapan besar bahwa Morisson akan meningkatkan hubungan baik antarnegara.

Secara personal, sebagai orang Jawa yang tidak suka menunjukkan permusuhan namun bisa memendam rasa amarah yang besar, Presiden Jokowi mungkin saja menganggap masalah itu persoalan personal. Namun pernyataan terbuka macam itu berpotensi membahayakan hubungan Indonesia dan Australia karena sepanjang sejarah Australia mestinya tahu bahwa masalah Palestina adalah materi diplomasi yang sangat sensitif. Para politisi Australia selama ini juga memahami bahwa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia tentu akan bereaksi keras.

Morisson semestinya dapat menyadari bahwa ada batas-batas di mana kepentingan untuk menguasai politik dalam negeri jangan sampai membahayakan politik luar negeri Indonesia-Australia yang sangat ringkih. Seperti kita ketahui bahwa pernyataan Morisson tentang peluang memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem sangat terkait dengan pemilu sela di negara bagian Wentworth.

Pemilu sela adalah pemilihan umum untuk memilih satu kursi yang kosong karena ditinggalkan oleh anggota parlemen sebelumnya entah karena dia berhalangan tetap (meninggal atau sakit) atau mengundurkan diri. Kalau di Indonesia, istilahnya adalah pergantian antar waktu anggota DPR.

Perbedaannya, kalau di Indonesia cukup dengan surat keputusan ketua Partai. Sementara di Australia yang menganut sistem parlementer harus melalui pemilihan umum lagi. Bisa jadi, anggota yang akan mengisi kursi yang kosong itu bukan berasal dari partai yang sama.

Kursi parlemen negara bagian Wentworth pada saat itu tengah mengalami kekosongan. Hal itu terjadi karena pemasgulan mantan Perdana Menteri Malcon Turnbull yang menguasai kursi ini juga menyebabkan kosongnya kursi dari wilayah Wentworth. Adapun, Wentworth adalah sebuah wilayah yang didominasi oleh penduduk dengan latar agama Kristen dan Yahudi.

Dalam sejarahnya, kursi anggota parlemen dari wilayah ini adalah milik partai Liberal. Namun demikian, Kerry Phelps dari kubu indepeden lebih populer daripada Dave Sharma yang diusung oleh Partai Liberal.Pernyataan Morisson untuk memindahkan kedutaan besar ke Yerusalem adalah salah satu taktik untuk memenangkan suara terutama dari kalangan Yahudi. Satu kursi dari Wentworth sangat penting bagi Partai liberal agar dapat menjadi mayoritas di parlemen dan menjadi partai pemerintah namun pada kenyataannya fakta politik berbicara lain.

Pemilu sela minggu lalu ternyata memenangkan Kerry Phelps sehingga menyebabkan Partai Liberal kekurangan satu kursi. Komposisi kursi di parlemen yang mendukung koalisi pemerintah saat ini dikuasai oleh tiga partai utama. Partai Liberal (44 kursi), Partai Nasional Liberal Queensland (21 kursi) dan Partai Nasional (6 kursi). Mereka bersama membentuk pemerintahan dengan jumlah kursi menjadi 74 partai.

Sementara itu, kekuatan oposisi di Australia adalah partai Buruh dengan 69 kursi. Di antara partai pemerintah dan partai oposisi ada partai penengah atau disebut crossbencher. Partai ini adalah partai dengan jumlah suara kecil dan secara ideologi dalam sejarahnya adalah independen walaupun tetap memiliki kecenderungan ke kiri atau ke kanan. Jumlah partai penengah saat ini adalah 7 kursi.

Komposisi tersebut yang membuat koalisi pemerintah tidak stabil saat ini terutama untuk kebijakan-kebijakan strategis yang membutuhkan persetujuan parlemen. Apabila partai penengah mendukung partai oposisi maka kepemimpinan Partai Liberal dalam pemerintahan artinya tidak akan menjadi efektif bekerja.

Ketidakstabilan pemerintah Australia dan pernyataan pemindahan kedutaan Australia ke Yerusalem tentu menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Indonesia untuk memutuskan apakah perlu menandatangani Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) bulan November ini.

Kerja sama perdagangan itu sangat penting bagi kedua negara. Dari informasi yang disebarluaskan kepada masyarakat, ada sekitar 7.000 produk ekspor indonesia (misalnya produk automotif, pestisida, peralatan elektronik, permesinan, karet, kopi, coklat, dan karet dan lain sebagainya) akan terkena tarif 0%. Jumlah itu hampir seluruh produk ekspor indonesia ke Australia selama ini.

Sementara dari Australia (misalnya sapi, gandum, barang tambang) hanya sekitar 90% barang yang kena 0% sementara sisanya masih terkena 1%-5%. Perjanjian ini juga penting karena akan meningkatkan posisi tawar kedua negara terhadap negara-negara lain dalam rantai nilai dunia (global value chain) terutama di wilayah ASEAN.

Salah satu hal yang paling penting juga dalam perjanjian tersebut adalah investasi di bidang pendidikan. Pendidikan akan menjadi prioritas utama apabila Presiden Jokowi terpilih lagi menjabat untuk periode ke-2. Indonesia melalui perjanjian ini akan membuka kesempatan Australia untuk berinvestasi dalam membuka lembaga pendidikan di Indonesia.

Kesempatan ini tidak dibuka kepada negara lain kecuali Australia. Bagi Indonesia, strategi ini dapat mengurangi ketergantungan pada mata uang asing dan merangsang institusi pendidikan di Indonesia agar menjadi lebih kompetitif.

Walaupun pemerintah Indonesia, melalui menteri perdagangan mengatakan bahwa pernyataan Morisson tidak akan mengganggu penandatangan perjanjian tersebut, rasa khawatir bahwa pemindahan itu akan menjadi kenyataan tidak dapat dipungkiri. Indonesia mungkin perlu untuk memastikan bahwa kebijakan luar negeri Australia terutama khususnya mengenai Palestina harus menyerap aspirasi tidak hanya Indonesia tetapi juga negara-negara Muslim di Indo-Pasifik.

Kebijakan pemindahan kedutaan ke Yerusalem dapat disimpulkan sebagai dukungan terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Israel dan menghambat perjuangan Palestina untuk berdaulat. Persepsi ini tidak hanya berbahaya karena mengganggu politik internasional di kawasan tetapi menganggu proses deradikalisasi yang tengah digalakkan.

Membiarkan Australia berlalu dengan keputusannya tanpa halangan yang berarti adalah preseden tidak baik bagi bagi upaya-upaya Indonesia memperluas penghormatan pada nilai-nilai anti-penjajahan dan anti-kekerasan yang menjadi ciri khas politik luar negeri Indonesia. Pengalaman masa lalu sudah mengajarkan bahwa kedua negara harus merawat hubungannya dengan hati-hati. Indonesia-Australia memiliki perbedaan dalam ideologi dan politik luar negeri yang sering kali menyumbang pasang-surut hubungan diplomatik di antara kedua negara.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6442 seconds (0.1#10.140)