Hijab, Riwayatmu Dulu
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
MENURUT ketentuan syariat Islam, aurat perempuan yang harus ditutupi adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Berbusana muslimah dengan mengenakan hijab (jilbab) merupakan cara bagi muslimah menutup aurat. Tujuan menutup aurat bagi muslimah adalah menjaga marwah dan nilai-nilai akhlakul karimah. Salah satu ayat Alquran yang menjadi rujukan keagamaan untuk berjilbab terdapat dalam Surah al-Ahzab ayat 59: "Hai Nabi! Katakan kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu serta istri-istri orang-orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka; yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu..."
Pada era Orde Baru, tepatnya dari 1982 sampai awal tahun 1991 (jadi selama 9 tahun), hijab menjadi isu peka agama dan politik. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, Menengah, dan Atas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Disdakmen Depdikbud) mengeluarkan Surat Keputusan No. 052/C/KEP/ D.82, yang isinya melarang para pelajar muslimah memakai jilbab di sekolah dasar negeri (SDN), sekolah lanjutan tingkat pertama negeri (SLTPN), dan sekolah lanjutan tingkat atas negeri (SLTAN) di seluruh Indonesia. Berdasarkan peraturan sekolah negeri yang berlaku saat itu, semua siswa dan siswi harus memakai seragam sekolah. Para pelajar muslimah yang berjilbab dinilai melanggar peraturan sekolah yang telah ditetapkan Dirjen Disdakmen Depdikbud. Pelajar muslimah yang berjilbab terdapat antara lain di SMAN 6 Surabaya, SMAN 3 Bandung, SMAN 68 Jakarta, dan Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) Cirebon.
Demi menegakkan peraturan sekolah, SPGN Cirebon tahun 1989 menskorsing tiga siswinya yang berjilbab. Skorsing ini menyulut kemarahan elemen-elemen pelajar muslim dari berbagai SMAN dan mahasiswa di Cirebon dan Bandung. Mereka turun ke jalan dan berunjuk rasa sebagai tanda solidaritas membela para siswi yang terkena skorsing dan mereka menyuarakan protes keras terhadap kebijakan sekolah yang melarang pemakaian jilbab.
Penolakan elemen-elemen umat Islam terhadap larangan pemakaian jilbab menyebar ke berbagi kota di Indonesia. Sejumlah orang tua pelajar muslimah yang belajar di SMAN 3 Jakarta mengajukan tuntutan hukum terhadap sekolah yang melarang pemakaian jilbab. Tetapi, Pengadilan Jakarta tidak mengabulkan tuntutan mereka itu, karena menurut pengadilan, kepala sekolah menjalankan peraturan tersebut dalam menegakkan peraturan di sekolah.
Sejumlah ulama dan intelektual muslim pun ikut angkat suara menanggapi larangan jilbab ini. Mereka menuding larangan jilbab itu merupakan tindakan tidak bijaksana dan harus dicabut. Dalam mengemukakan argumen, para ulama dan tokoh muslim membuat analogi dengan kaum Sikh India yang diperbolehkan memakai tutup kepala (mirip sorban) jika mereka memasuki dinas kepolisian dan ketentaraan. Menurut logika para ulama dan intelektual muslim, para pelajar muslimah yang berjilbab di sekolah negeri itu seharusnya diperlakukan sama seperti kaum Sikh yang diperbolehkan memakai tutup kepala ketika memasuki dinas kepolisian dan ketentaraan. Para ulama dan tokoh muslim menuntut agar para pelajar muslimah yang berjilbab di sekolah negeri itu tidak usah dilarang.
Di forum parlemen, larangan jilbab ini juga mengusik perhatian elite politisi muslim. Ny Safinah Oedin (anggota Fraksi PPP di DPR) menanggapi persoalan ini dengan merujuk pada Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama. Menurut Ny Safinah, pemakaian jilbab oleh pelajar muslimah di sekolah-sekolah negeri merupakan pengamalan ajaran agama yang dijamin UUD. Adalah tidak manusiawi, kata dia, jika para pelajar muslimah itu dilarang melaksanakan ajaran agama mereka. Dengan nada retorik, Ny Safinah mempertanyakan "Akankah kita memperlakukan pasal 29 UUD 1945 hanya sebagai dekorasi (tanpa kekuatan hukum)?"
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat menanggapi isu peka ini dengan mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa memakai jilbab adalah kewajiban bagi pelajar muslimah. Bahkan, pimpinan MUI Pusat mengirim surat kepada Mendikbud Daoed Joesoef yang isinya menyatakan pemakaian jilbab oleh para pelajar muslimah di sekolah-sekolah negeri tidak akan mengganggu ketertiban dan tidak akan menghambat proses belajar mengajar di sekolah. Dengan nada keras, KH Hasan Basri (Ketua Umum MUI Pusat) mengatakan, pemakaian jilbab tidak ada hubungannya sama sekali dengan kegiatan politik yang mengganggu, apalagi mengancam, keamanan bangsa, dan stabilitas politik negara.
Hasan Basri secara tegas menuding larangan pemakaian jilbab bagi pelajar muslimah di sekolah-sekolah negeri sebagai tindakan otoriter. Beliau menyerukan kepada Dirjen Dikdasmen Depdikbud menindak para kepala sekolah yang melarang pemakaian jilbab itu.
Keberatan dan protes orang-orang tua para pelajar berhijab yang ditujukan kepada para kepala sekolah tidak memperoleh respons yang diharapkan. Karena sebagaimana disebutkan di atas, para kepala sekolah melaksanakan instruksi Dirjen Dikdasmen Depdikbud. Setelah melakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh muslim dan pimpinan MUI, Dirjen Dikdasmen Depdikbud menawarkan solusi, yaitu memberikan kesempatan kepada pelajar muslimah yang berjilbab pindah ke sekolah Islam swasta yang dikelola yayasan atau organisasi muslim. Sejumlah siswi berjilbab pindah ke sekolah swasta Islam sesuai saran Dirjen Dikdasmen Depdikbud, tapi kebijakan ini tetap mengganjal dan tidak sepenuhnya diterima oleh kalangan muslim. Tokoh-tokoh muslim menghendaki pencabutan total terhadap larangan pemakaian jilbab itu karena, menurut mereka, memakai jilbab tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, dan bukan merupakan kegiatan politik atau kegiatan subversif yang akan mengancam keselamatan bangsa dan negara.
Selama 9 tahun (1982-1991) larangan hijab bagi pelajar muslimah di SDN, SLTPN, dan SLTAN, berlaku efektif di seluruh Indonesia. Akhirnya, larangan hijab dicabut oleh Dirjen Disdakmen Depdikbud pada 16 Februari 1991 dengan Surat Keputusan No.100/C/Kep./D/1991. Sejak itu, para pelajar muslimah di SDN, SLTPN, dan SLTAN boleh memakai jilbab lagi. Dewasa ini, dengan kesadaran keagamaan yang kuat, banyak muslimah yang berhijab. Ini fenomena positif. Tapi ironisnya, tidak sedikit pejabat wanita yang berhijab tersandung kasus korupsi dan masuk bui. Fenomena apa ini?
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
MENURUT ketentuan syariat Islam, aurat perempuan yang harus ditutupi adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Berbusana muslimah dengan mengenakan hijab (jilbab) merupakan cara bagi muslimah menutup aurat. Tujuan menutup aurat bagi muslimah adalah menjaga marwah dan nilai-nilai akhlakul karimah. Salah satu ayat Alquran yang menjadi rujukan keagamaan untuk berjilbab terdapat dalam Surah al-Ahzab ayat 59: "Hai Nabi! Katakan kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu serta istri-istri orang-orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka; yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu..."
Pada era Orde Baru, tepatnya dari 1982 sampai awal tahun 1991 (jadi selama 9 tahun), hijab menjadi isu peka agama dan politik. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, Menengah, dan Atas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Disdakmen Depdikbud) mengeluarkan Surat Keputusan No. 052/C/KEP/ D.82, yang isinya melarang para pelajar muslimah memakai jilbab di sekolah dasar negeri (SDN), sekolah lanjutan tingkat pertama negeri (SLTPN), dan sekolah lanjutan tingkat atas negeri (SLTAN) di seluruh Indonesia. Berdasarkan peraturan sekolah negeri yang berlaku saat itu, semua siswa dan siswi harus memakai seragam sekolah. Para pelajar muslimah yang berjilbab dinilai melanggar peraturan sekolah yang telah ditetapkan Dirjen Disdakmen Depdikbud. Pelajar muslimah yang berjilbab terdapat antara lain di SMAN 6 Surabaya, SMAN 3 Bandung, SMAN 68 Jakarta, dan Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) Cirebon.
Demi menegakkan peraturan sekolah, SPGN Cirebon tahun 1989 menskorsing tiga siswinya yang berjilbab. Skorsing ini menyulut kemarahan elemen-elemen pelajar muslim dari berbagai SMAN dan mahasiswa di Cirebon dan Bandung. Mereka turun ke jalan dan berunjuk rasa sebagai tanda solidaritas membela para siswi yang terkena skorsing dan mereka menyuarakan protes keras terhadap kebijakan sekolah yang melarang pemakaian jilbab.
Penolakan elemen-elemen umat Islam terhadap larangan pemakaian jilbab menyebar ke berbagi kota di Indonesia. Sejumlah orang tua pelajar muslimah yang belajar di SMAN 3 Jakarta mengajukan tuntutan hukum terhadap sekolah yang melarang pemakaian jilbab. Tetapi, Pengadilan Jakarta tidak mengabulkan tuntutan mereka itu, karena menurut pengadilan, kepala sekolah menjalankan peraturan tersebut dalam menegakkan peraturan di sekolah.
Sejumlah ulama dan intelektual muslim pun ikut angkat suara menanggapi larangan jilbab ini. Mereka menuding larangan jilbab itu merupakan tindakan tidak bijaksana dan harus dicabut. Dalam mengemukakan argumen, para ulama dan tokoh muslim membuat analogi dengan kaum Sikh India yang diperbolehkan memakai tutup kepala (mirip sorban) jika mereka memasuki dinas kepolisian dan ketentaraan. Menurut logika para ulama dan intelektual muslim, para pelajar muslimah yang berjilbab di sekolah negeri itu seharusnya diperlakukan sama seperti kaum Sikh yang diperbolehkan memakai tutup kepala ketika memasuki dinas kepolisian dan ketentaraan. Para ulama dan tokoh muslim menuntut agar para pelajar muslimah yang berjilbab di sekolah negeri itu tidak usah dilarang.
Di forum parlemen, larangan jilbab ini juga mengusik perhatian elite politisi muslim. Ny Safinah Oedin (anggota Fraksi PPP di DPR) menanggapi persoalan ini dengan merujuk pada Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama. Menurut Ny Safinah, pemakaian jilbab oleh pelajar muslimah di sekolah-sekolah negeri merupakan pengamalan ajaran agama yang dijamin UUD. Adalah tidak manusiawi, kata dia, jika para pelajar muslimah itu dilarang melaksanakan ajaran agama mereka. Dengan nada retorik, Ny Safinah mempertanyakan "Akankah kita memperlakukan pasal 29 UUD 1945 hanya sebagai dekorasi (tanpa kekuatan hukum)?"
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat menanggapi isu peka ini dengan mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa memakai jilbab adalah kewajiban bagi pelajar muslimah. Bahkan, pimpinan MUI Pusat mengirim surat kepada Mendikbud Daoed Joesoef yang isinya menyatakan pemakaian jilbab oleh para pelajar muslimah di sekolah-sekolah negeri tidak akan mengganggu ketertiban dan tidak akan menghambat proses belajar mengajar di sekolah. Dengan nada keras, KH Hasan Basri (Ketua Umum MUI Pusat) mengatakan, pemakaian jilbab tidak ada hubungannya sama sekali dengan kegiatan politik yang mengganggu, apalagi mengancam, keamanan bangsa, dan stabilitas politik negara.
Hasan Basri secara tegas menuding larangan pemakaian jilbab bagi pelajar muslimah di sekolah-sekolah negeri sebagai tindakan otoriter. Beliau menyerukan kepada Dirjen Dikdasmen Depdikbud menindak para kepala sekolah yang melarang pemakaian jilbab itu.
Keberatan dan protes orang-orang tua para pelajar berhijab yang ditujukan kepada para kepala sekolah tidak memperoleh respons yang diharapkan. Karena sebagaimana disebutkan di atas, para kepala sekolah melaksanakan instruksi Dirjen Dikdasmen Depdikbud. Setelah melakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh muslim dan pimpinan MUI, Dirjen Dikdasmen Depdikbud menawarkan solusi, yaitu memberikan kesempatan kepada pelajar muslimah yang berjilbab pindah ke sekolah Islam swasta yang dikelola yayasan atau organisasi muslim. Sejumlah siswi berjilbab pindah ke sekolah swasta Islam sesuai saran Dirjen Dikdasmen Depdikbud, tapi kebijakan ini tetap mengganjal dan tidak sepenuhnya diterima oleh kalangan muslim. Tokoh-tokoh muslim menghendaki pencabutan total terhadap larangan pemakaian jilbab itu karena, menurut mereka, memakai jilbab tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, dan bukan merupakan kegiatan politik atau kegiatan subversif yang akan mengancam keselamatan bangsa dan negara.
Selama 9 tahun (1982-1991) larangan hijab bagi pelajar muslimah di SDN, SLTPN, dan SLTAN, berlaku efektif di seluruh Indonesia. Akhirnya, larangan hijab dicabut oleh Dirjen Disdakmen Depdikbud pada 16 Februari 1991 dengan Surat Keputusan No.100/C/Kep./D/1991. Sejak itu, para pelajar muslimah di SDN, SLTPN, dan SLTAN boleh memakai jilbab lagi. Dewasa ini, dengan kesadaran keagamaan yang kuat, banyak muslimah yang berhijab. Ini fenomena positif. Tapi ironisnya, tidak sedikit pejabat wanita yang berhijab tersandung kasus korupsi dan masuk bui. Fenomena apa ini?
(mhd)