Suap Bupati Cirebon, Bukti Kepala Daerah Tak Kapok Korupsi

Jum'at, 26 Oktober 2018 - 06:10 WIB
Suap Bupati Cirebon, Bukti Kepala Daerah Tak Kapok Korupsi
Suap Bupati Cirebon, Bukti Kepala Daerah Tak Kapok Korupsi
A A A
JAKARTA - Kepala daerah‎ tidak pernah kapok melakukan korupsi dalam berbagai delik. Teranyar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) disusul penetapan Bupati Cirebon, Jawa Barat Sunjaya Purwadisastra Sastra ‎sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi Rp6,81 miliar.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan, ‎tim KPK menangkap enam orang dalam OTT pada Rabu 24 Oktober 2018 setelah menerima informasi transaksi pemberian uang yang berhubungan dengan mutasi, promosi, proyek, dan perizinan di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cirebon. Dari enam orang tersebut, dua di antaranya Bupati Cirebon sekaligus Ketua DPC PDIP Kabupaten Cirebon Sunjaya Purwadisastra Sastra ‎dan Sekretaris Dinas PUPR Pemkab Cirebon Gatot Rachmanto.

Dalam OTT kali ini, tim KPK menyita uang tunai sebesar Rp385.965.000 dan bukti transaksi perbankan berupa slip setoran dan transfer senilai Rp6,425 miliar. Dari hasil pemeriksaan disusul gelar perkara (ekspose) kemudian diputuskan kasus ini dinaikan ke tahap penyidikan. Bersamaan dengan itu KPK menetapkan dua orang tersangka. Pertama, Sunjaya sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi dengan total Rp6.810.965.000. Kedua, Gatot sebagai pemberi suap Rp100 juta.

"KPK sangat menyesalkan masih terjadinya praktik penerimaan suap oleh kepala daerah. Tersangka Bupati Cirebon merupakan kepala daerah ke-19 yang diproses KPK melalui OTT di tahun 2018 ini dan merupakan kepala daerah ke-100 yang pernah kami proses selama KPK berdiri," tegas Alexander saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis 25 Oktober 2018 malam.

Mantan hakim adhoc Pengadilan Tipikor Jakarta ini mengatakan, korupsi yang dilakukan kepala daerah termasuk yang ditangani KPK selama ini hingga Sunjaya sangat merugikan masyarakat secara langsung, khususnya masyarakat di daerah. Dia menuturkan, intensitas KPK melakukan penindakan termasuk dimulai dari OTT karena ada pesan khusus yang ingin disampaikan KPK.

"Ibaratnya begini, sudah lapar 2 hari. Kemudian di meja ada makanan, ditinggalkan, pasti kan mereka akan curi-curi makan. Kenapa enggak kapok korupsi, ya seperti saya ungkapkan tadi. Pesan yang ingin disampaikan KPK pertama ingin menunjukan keseriusan KPK dalam pemberantasan korupsi," ungkapnya.

Menurut Alexander, ada beberapa faktor dan modus kenapa para kepala daerah tidak pernah kapok melakukan korupsi dalam berbagai delik. Faktor dan modus tersebut, tutur dia, berdasarkan temuan KPK baik dalam bidang pencegahan maupun saat menangani perkara dari tingkat penyidikan hingga pengadilan. Pertama, pembiayaan atau dana politik dalam sebuah kontestasi pilkada sangat tinggi. Temuan KPK, kepala daerah memanfaatkan jabatannya untuk meraup uang baik berupa suap atau gratifikasi atau penyalahgunaan kewenangan berupa korupsi proyek untuk kebutuhan biaya logistik pilkada maupun membayar utang akibat pilkada.

"Dari yang kami tangani selama ini, ada yang bilang jadi kepala daerah itu minimal untuk pilkada Rp20 sampai Rp30 miliar. Kalau di Jawa bahkan bisa lebih lagi. Di kasus Bupati Cirebon ini saja, KPK mengidentifikasi ada penggunaan dana untuk Pilkada 2018 sebelumnya," ujarnya.

Dia menggariskan, jika diasumsikan penghasilan resmi kepala daerah dalam satu bulan sekitar Rp100 juta, maka selama lima tahun menjabat penghasilannya hanya sekitar Rp6 miliar. Karenanya para kepala daerah yang mengeluarkan biaya pilkada dan logistiknya yang banyak maka mereka akan mencari dan menggunakan berbagi macam cara untuk menutupi modal pilkada.

"Kalau masih seperti itu, rasanya sangat sulit untuk mencegah. Maka dari itu dari kajian KPK, kami usulkan ke pemerintah untuk menaikan dana partai politik. Sebelumnya dari Rp108 per suara dulu, sekarang sudah dinaikan Rp1.000 per suara. Memang itu masih kecil," paparnya.

Kedua, selama ini partai politik lebih cenderung mencalonkan kepala daerah yang memiliki background pengusaha atau kontraktor atau yang memiliki banyak uang. Harusnya, tutur Alexander, partai politik membuka ruang rekrutmen bakal calon kepala daerah sejak awal dengan melalui panitia seleksi yang independen. Dalam tahap seleksi tersebut, masyarakat juga bisa dilibatkan.

"Setidaknya dari sisi kualitas dan integritas paling tidak sudah teruji lewat pansel. Sehingga tidak dilepas begitu saja oleh partai politik," imbuhnya.

Latar belakang kepala daerah atau ccalonadala pengusaha atau kontraktor juga berhubungan dengan faktor dan modus ketiga. Dengan calon kepala daerah berasal dari pengusaha, maka saat resmi menjabat kemudian kepala daerah memasukkan perusahaan yang dikendalikan atau dimiliki kepala daerah dalam berbagai proyek. Bahkan kepala daerah cenderung menginterfensi pejabat daerah agar perusahaan tersebut dimenangkan.

"Harusnya perlu ada peraturan yang berhubungan langsung dari kepala daerah yang memiliki perusahaan seperti itu dilarang ikut lelang. Dengan begitu, mungkin bisa mengurangi minat orang mau jadi kepala daerah," paparnya.‎

Keempat dan paling penting adalah Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) di tingkat kabupaten, kota, hingga provinsi tidak independen dan lebih sering diintervensi oleh kepala daerah. Musababnya, berdasarkan aturan yang ada saat ini APIP di kabupaten, kota, dan provinsi, diangkat oleh bupati, wali kota, dan gubernur dengan bertanggung jawab ke bupati melalui sekretaris daerah. Dalam banyak hal dan kasus, ada petugas APIP atau inspektorat daerah ingin melakukan upaya perbaikan tetapi kepala daerah-nya tidak memiliki integritas. Bahkan dalam beberapa kasus, temuan hasul audit auditor APIP ketika membentuk kepala daerah maka temuan tersebut dengan segera dihilangkan.

KPK sudah beberapa kali intens mengusulkan bahwa untuk APIP kabupaten/kota dingkat dan di-SK-kan oleh gubernur dan untuk tingkat provinsi disahkan oleh menteri. Menurut KPK perbaikan secara mendasar harus dilakukan dan sangat mendesak agar perbaikan aturan terkait APIP diteken pemerintah. Bahkan draf peraturan pemerintah tersebut disusun bersama KPK dan Kementerian Dalam Negeri.

"Selama ini inspektorat, APIP, tidak ada yang berani kalau temuannya kepala daerah. Inspektorat takut dipecat. Dengan Inspektorat tingkat 2 itu SK-nya dari gubernur, untuk provinisi langsung mendagri, mereka kepala derah tidak bisa langsung memecat inspektorat," bebernya.

Kelima, pelaksanaan dan penerapan sistem elektronik berupa e-planning, e-budgeting, e-catalogue, hingga e-procurement yang belum maksimal. Padahal KPK bersama lembaga/intansi terkait termasuk Kemendagri sudah mengawasi dan melakukan berbagai program pencegahan. Dalam konteks pengadaan barang dan jasa saja, dari berbagai kasus yang ditangani KPK, lelang dengan sistem e-procurement masih bisa diakali.

"Sisten ini masih bisa diakali. Mereka bekerja sama. Peserta lelang bekerja sama dengan orang dalam. Padahal kami melalui koordinasi dan supervisi pencegahan dengan beberapa intansi/lembaga sudah membangun sistem memperkecil peluang korupsi. Kami paksa e-planing dan e-budgeting," ucapnya.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, KPK tidak bisa melakukan pengawasan langsung di seluruh daerah guna untuk menekan hingga meniadakan korupsi kepala daerah. Pasalnya dari sisi sumber daya manusia atau personal KPK hal tersebut tidak memungkinkan. Menurut Febri, KPK berupaya semaksimal mungkin menjalankan fungsi mechanism. Dalam menjalan fungsi tersebut di daerah, KPK berjalan bersama di antaranya dengan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Pencegahan dilakukan, rekomendasi-rekomendasi perbaikan sudah diberikan, tapi kalau pihak yang diberikan rekomendasi tidak utuh ingin melakukan pencegahan, maka upaya penindakan dilakukan KPK. Kami berharap dengan kepala daerah yang baru kami tetapkan (Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra Sastra) ini kepala daerah terakhir yang kami tangani," ujar Febri.

Mantan pegawai fungsional pada Direktorat Gratifikasi KPK ini mengatakan, pencegahan dan penindakan dilakukan secara beriringan. Menurut Febri, selama ini ada sejumlah kepala daerah yang menandatangani pakta integritas termasuk dengan KPK. Tetapi di antara mereka ada yang ditangkap dan kemudian diproses KPK sebagai tersangka hingga menjadi terpidana.

"Ketika ada tim Korsupgah ke daerah, kalau komitmen pakta integritas hanya di atas kertas saja, maka kami akan melakukan upaya penindakan. Pekerjaan yang berjalan bersama pencegahan dan penindakan akan tetap kami lakukan," tandasnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7630 seconds (0.1#10.140)