Jangan Hanya Jadikan NU sebagai Pelengkap
A
A
A
JAKARTA - Sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU) diakui memiliki pengaruh yang sangat besar. Selain itu, kontribusi NU terhadap bangsa juga sangat nyata, bahkan sejak era penjajahan. Sayangnya, selama ini peran NU masih kerap dipandang hanya sebagai ”pelengkap” saja, bukan sebagai penentu.
Di tahun-tahun politik seperti sekarang, misalnya, NU seolah menjadi ”primadona”. Namun di sisi lain, tokoh-tokoh NU dinilai belum terlalu mendapatkan tempat. Di pos-pos penting pemerintahan, misalnya di kementerian yang strategis atau BUMN, tokoh-tokoh NU dinilai belum terlalu tampak. Meski belakangan mulai mendapatkan tempat.
Perjalanan panjang NU yang sudah menjelang satu abad, dengan pengalaman yang luar biasa dan kepercayaan masyarakat yang begitu besar, organisasi NU juga dinilai belum tertata dengan sangat baik. Prestasi yang dihasilkan dinilai belum sebanding dengan nama besarnya. Tingkat kemandirian NU sebagai organisasi juga dinilai masih rendah.
Kaderisasi organisasi juga dinilai belum cukup memadahi. Dengan berbagai kondisi yang ada, muncul pertanyaan bagaimana masa depan NU? Dan pertanyaan yang lebih ekstrem, apakah di abad kedua usianya nanti, NU masih akan tetap eksis seperti sekarang? Termasuk apakah nanti tradisi NU ahlussunnah waljamaah masih seperti sekarang? Kemudian apa bedanya NU dengan yang organisasi keagamaan lainnya?
Semua hal terkait NU dan berbagai pertanyaan yang muncul tentang masa depan NU tersebut terungkap dalam bedah buku berjudul Peta Jalan NU Abad Kedua. Penyunting buku, Abdul Aziz, menuturkan, buku tersebut merupakan kompilasi dari sejumlah diskusi terkait NU dengan berbagai tokoh.
“Buku ini merupakan hasil diskusi dua tahun lebih sejak menjelang Muktamar di Jombang. Banyak pikiran dan kritik-kritik terhadap NU yang melihat sebenarnya NU ini besar atau kecil? Dan sebagainya. Itulah yang membuat penulisannya agak panjang,” ujar Abdul Aziz dalam bedah buku yang digelar di Kantor PWNU DKI Jakarta, Rabu (24/10/2018).
Banyak hal menarik yang diungkap dalam buku tersebut, baik kritik terhadap ormas yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari tersebut hingga hal-hal yang perlu dilakukan untuk masa depan. “Ini usaha dari teman-teman nonstruktural yang berfikir tentang NU,” tuturnya.
Wakil Sekretaris PWNU DKI Djunaidi Sahal mengatakan, bedah buku ini digelar untuk menyambut Hari Santri Nasional dan juga menyambut Muskerwil II PWNU DKI Jakarta pada 26-27 Oktober nanti. Diharapkan, para pengurus PWNU beserta badan otonom dan lembaga- lembaga di bawah PWNU DKI yang akan melakukan Mukerwil II pada 26 - 27 Oktober di Bogor, mengerti akan tantangan NU ke depan.
”Karena NU DKI sampai sekarang ini belum mampu secara terencana dan sistematis bisa mengembangkan NU menjadi suatu gerakan social, tapi masih lebih banyak yang bersifat politis,” katanya.
Sampai saat ini, tutur Djunaidi, NU DKI secara organisasi bahkan tidak mempunyai lembaga pendidikan, rumah sakit atau klinik, dan lainnya. “Semoga kepengurusan NU DKI sekarang bisa menanamkan ide-ide dan menjadi gerakan sosial yg lebih nyata,” tuturnya.
Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Ahmad Ya’la mengatakan, orang NU seharusnya tidak berfikir hidup dari NU, tapi bagaimana bisa menghidupi NU. Sayangnya, dia menilai di pos-pos strategis di negeri ini, peranan tokoh NU dinilai masih kurang. “NU harusnya ada dimana-mana dan selanjutnya bisa menghidupi NU. Saya PNS, tapi bukan karena saya NU terus jadi PNS. Tapi karena saya PNS maka saya berfikir apa yang bisa saya lakukan untuk NU,” tuturnya.
Anggota DPD RI dari DKI Jakarta Abdul Azis Khafia mengatakan, buku ini sangat menarik karena di dalamnya mengupas mulai dari kritik apakah NU sejak berdiri hingga sekarang sudah on the track atau belum. Juga dikupas mengenai hal-hal global hingga teknis yang perlu dilakukan NU.
“Buku ini juga menawarkan jalan baru dengan berbagai catatan bahwa kondisi terus dinamis. Kalau NU statis begini- begini saja, jangan heran kalau NU ditinggalkan. Jadi selain kegelisahan tentang NU, juga ada solusi. Juga ada tawaran identitas kebangsaan. Dan yang menarik ada semacam futuristik tentang NU,” paparnya.
Di tahun-tahun politik seperti sekarang, misalnya, NU seolah menjadi ”primadona”. Namun di sisi lain, tokoh-tokoh NU dinilai belum terlalu mendapatkan tempat. Di pos-pos penting pemerintahan, misalnya di kementerian yang strategis atau BUMN, tokoh-tokoh NU dinilai belum terlalu tampak. Meski belakangan mulai mendapatkan tempat.
Perjalanan panjang NU yang sudah menjelang satu abad, dengan pengalaman yang luar biasa dan kepercayaan masyarakat yang begitu besar, organisasi NU juga dinilai belum tertata dengan sangat baik. Prestasi yang dihasilkan dinilai belum sebanding dengan nama besarnya. Tingkat kemandirian NU sebagai organisasi juga dinilai masih rendah.
Kaderisasi organisasi juga dinilai belum cukup memadahi. Dengan berbagai kondisi yang ada, muncul pertanyaan bagaimana masa depan NU? Dan pertanyaan yang lebih ekstrem, apakah di abad kedua usianya nanti, NU masih akan tetap eksis seperti sekarang? Termasuk apakah nanti tradisi NU ahlussunnah waljamaah masih seperti sekarang? Kemudian apa bedanya NU dengan yang organisasi keagamaan lainnya?
Semua hal terkait NU dan berbagai pertanyaan yang muncul tentang masa depan NU tersebut terungkap dalam bedah buku berjudul Peta Jalan NU Abad Kedua. Penyunting buku, Abdul Aziz, menuturkan, buku tersebut merupakan kompilasi dari sejumlah diskusi terkait NU dengan berbagai tokoh.
“Buku ini merupakan hasil diskusi dua tahun lebih sejak menjelang Muktamar di Jombang. Banyak pikiran dan kritik-kritik terhadap NU yang melihat sebenarnya NU ini besar atau kecil? Dan sebagainya. Itulah yang membuat penulisannya agak panjang,” ujar Abdul Aziz dalam bedah buku yang digelar di Kantor PWNU DKI Jakarta, Rabu (24/10/2018).
Banyak hal menarik yang diungkap dalam buku tersebut, baik kritik terhadap ormas yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari tersebut hingga hal-hal yang perlu dilakukan untuk masa depan. “Ini usaha dari teman-teman nonstruktural yang berfikir tentang NU,” tuturnya.
Wakil Sekretaris PWNU DKI Djunaidi Sahal mengatakan, bedah buku ini digelar untuk menyambut Hari Santri Nasional dan juga menyambut Muskerwil II PWNU DKI Jakarta pada 26-27 Oktober nanti. Diharapkan, para pengurus PWNU beserta badan otonom dan lembaga- lembaga di bawah PWNU DKI yang akan melakukan Mukerwil II pada 26 - 27 Oktober di Bogor, mengerti akan tantangan NU ke depan.
”Karena NU DKI sampai sekarang ini belum mampu secara terencana dan sistematis bisa mengembangkan NU menjadi suatu gerakan social, tapi masih lebih banyak yang bersifat politis,” katanya.
Sampai saat ini, tutur Djunaidi, NU DKI secara organisasi bahkan tidak mempunyai lembaga pendidikan, rumah sakit atau klinik, dan lainnya. “Semoga kepengurusan NU DKI sekarang bisa menanamkan ide-ide dan menjadi gerakan sosial yg lebih nyata,” tuturnya.
Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Ahmad Ya’la mengatakan, orang NU seharusnya tidak berfikir hidup dari NU, tapi bagaimana bisa menghidupi NU. Sayangnya, dia menilai di pos-pos strategis di negeri ini, peranan tokoh NU dinilai masih kurang. “NU harusnya ada dimana-mana dan selanjutnya bisa menghidupi NU. Saya PNS, tapi bukan karena saya NU terus jadi PNS. Tapi karena saya PNS maka saya berfikir apa yang bisa saya lakukan untuk NU,” tuturnya.
Anggota DPD RI dari DKI Jakarta Abdul Azis Khafia mengatakan, buku ini sangat menarik karena di dalamnya mengupas mulai dari kritik apakah NU sejak berdiri hingga sekarang sudah on the track atau belum. Juga dikupas mengenai hal-hal global hingga teknis yang perlu dilakukan NU.
“Buku ini juga menawarkan jalan baru dengan berbagai catatan bahwa kondisi terus dinamis. Kalau NU statis begini- begini saja, jangan heran kalau NU ditinggalkan. Jadi selain kegelisahan tentang NU, juga ada solusi. Juga ada tawaran identitas kebangsaan. Dan yang menarik ada semacam futuristik tentang NU,” paparnya.
(pur)