Digital pun Butuh Cetak, Anda?
A
A
A
Pung Purwanto
Pemimpin Redaksi KORAN SINDO dan SINDOnews
ADA pelajaran menarik dari skandal pembobolan 50 juta data pengguna jejaring sosial paling top di dunia Facebook oleh lembaga konsultan politik asal Inggris Cambridge Analytica. Data pengguna Facebook itu dibobol untuk kepentingan pemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) 2016 lalu.
Pembobolan data pengguna jejaring sosial adalah pelanggaran privasi yang serius. Apalagi di Amerika privasi sangat dijunjung tinggi.Tak heran, Facebook dan penciptanya Mark Zuckerberg menjadi sasaran kecaman dan kemarahan publik. Bertubi tubinya kemarahan itu memaksa Zuck (sapaan Zuckerberg) harus meminta maaf secara terbuka kepada publik, khususnya pengguna Facebook di seluruh dunia.
Awalnya Zuck minta maaf melalui akun Facebooknya. Tapi serangan dan kecaman tak berhenti. Akhirnya, entah karena kepepet atau atas pertimbangan lain, Zuck mengiklankan permohonan maaf itu satu halaman penuh di 10 koran terkemuka. Tujuh koran di Inggris, dan 3 koran Amerika.
"We have rensponsibility to protect your information. If we can't, we don't deserve it."
Itulah tulisan besar yg terpampang di iklan satu halaman 10 koran yang dipasang berbarengan. Di bagian bawah iklan tertulis nama Mark Zuckerberg berikut tanda tangannya. Iklan itu dipasang di koran The Observer, The Sunday Times, Mail on Sunday, Sunday Mirror, Sunday Express, dan Sunday Telegraph (Inggris). Kemudian koran The New York Times, The Washington Post, dan The Wall Street Journal. Semua satu halaman penuh.
Apa maknanya? Paling tidak ada dua. Pertama, Zuckerberg terpaksa menggunakan koran, media konvensional yang berkali kali diramalkan mati tergerus roda zaman. Termasuk oleh media digital dan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube dan sebagainya.
Jika Zuck bukan pembaca koran, dalam kasus ini dia harus membaca. Minimal kalimat permohonan maaf yang dia pasang sendiri di koran.
Pembobolan data bukan satu satunya masalah yang dialami Facebook. Zuckerberg dikabarkan telah berulangkali meminta maaf karena kelemahan sistem jejaring sosial yang penggunanya 2 miliar orang ini.
Kedua, permohonan maaf itu dinilai lebih serius dan sungguh sungguh karena dimuat di surat kabar. Belum cukup hanya di akun pribadi di sosial media. Kerap kali, seseorang yang merasa dirugikan nama baiknya oleh pihak lain menuntut pihak yang merugikan untuk memasang iklan di media catak tertentu.
Ini bukti, media cetak memiliki sejumlah kekhasan yang tidak bisa digantikan oleh media digital. Seperti halnya beberapa keunikan media digital yang tidak bisa ditemukan di media cetak dan media konvensional lain.
Iklan permohonan maaf yang dipasang Zuckerberg adalah salah satu dari kekhasan print media itu. Masih ada beberapa, kekhasan lain yang membuat publik tetap memerlukan kehadiran koran. Di antaranya akurasi dan level kepercayaan dari produk jurnalistik yang disajikan awak redaksi media cetak.
Orang makin kesal karena ranah privasinya terus dibanjiri informasi palsu, berita sampah, hoax, adu domba dan kebencian. Jenuh dan capek otak capek hati. Di situlah, koran yang sangat selektif dalam menyajikan berita kembali menjadi oase di tengah panas terik gurun pasir yang mahaluas.
Apa yang tersaji di koran adalah informasi atau kabar yang sudah divalidasi secara berjenjang oleh orang orang profesional yang wajib mendapatkan lisensi khusus sebagai jurnalis.
Dengan kata lain, menu yang tersaji di koran adalah sari pati makanan yang paling bergizi yang dijamin halal dengan pengolahan yang higienis berstandar nasional dan internasional. Bandingkan dengan tulisan tulisan di sosial media yang kebanyakan asal pasang dan jauh dari proses standar yang dipatuhi seorang jurnalis.
Pendek kata, media cetak dan media digital adalah saudara kandung yang lahir di waktu dan tempat berbeda. Keduanya bukan musuh, jadi jangan diposisikan sedang bermusuhan. Keduanya saling menolong, saling mengisi dan saling melengkapi.
Kami di SINDO Group menerapkan itu. KORAN SINDO yang berusia 13 tahun melahirkan SINDOnews.com, 6 tahun lalu. Media cetak dan digital bersinergi dan berkolaborasi. Dan, syukur berhasil. KORAN SINDO tetap eksis dan SINDOnews terus merangsek naik. Kini menjadi portal news ranking 5 terbanyak dibaca di Indonesia.
Hal yang sama dilakukan KORAN SINDO Makassar, yang melahirkan SINDOnews Makassar, tahun lalu. Keduanya berjalan beriringan, saling menjaga, saling mengisi. Betapa indahnya. Sekarang bagaimana? Masih perlu koran kah seperti Zuckerberg? (*)
Pemimpin Redaksi KORAN SINDO dan SINDOnews
ADA pelajaran menarik dari skandal pembobolan 50 juta data pengguna jejaring sosial paling top di dunia Facebook oleh lembaga konsultan politik asal Inggris Cambridge Analytica. Data pengguna Facebook itu dibobol untuk kepentingan pemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) 2016 lalu.
Pembobolan data pengguna jejaring sosial adalah pelanggaran privasi yang serius. Apalagi di Amerika privasi sangat dijunjung tinggi.Tak heran, Facebook dan penciptanya Mark Zuckerberg menjadi sasaran kecaman dan kemarahan publik. Bertubi tubinya kemarahan itu memaksa Zuck (sapaan Zuckerberg) harus meminta maaf secara terbuka kepada publik, khususnya pengguna Facebook di seluruh dunia.
Awalnya Zuck minta maaf melalui akun Facebooknya. Tapi serangan dan kecaman tak berhenti. Akhirnya, entah karena kepepet atau atas pertimbangan lain, Zuck mengiklankan permohonan maaf itu satu halaman penuh di 10 koran terkemuka. Tujuh koran di Inggris, dan 3 koran Amerika.
"We have rensponsibility to protect your information. If we can't, we don't deserve it."
Itulah tulisan besar yg terpampang di iklan satu halaman 10 koran yang dipasang berbarengan. Di bagian bawah iklan tertulis nama Mark Zuckerberg berikut tanda tangannya. Iklan itu dipasang di koran The Observer, The Sunday Times, Mail on Sunday, Sunday Mirror, Sunday Express, dan Sunday Telegraph (Inggris). Kemudian koran The New York Times, The Washington Post, dan The Wall Street Journal. Semua satu halaman penuh.
Apa maknanya? Paling tidak ada dua. Pertama, Zuckerberg terpaksa menggunakan koran, media konvensional yang berkali kali diramalkan mati tergerus roda zaman. Termasuk oleh media digital dan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube dan sebagainya.
Jika Zuck bukan pembaca koran, dalam kasus ini dia harus membaca. Minimal kalimat permohonan maaf yang dia pasang sendiri di koran.
Pembobolan data bukan satu satunya masalah yang dialami Facebook. Zuckerberg dikabarkan telah berulangkali meminta maaf karena kelemahan sistem jejaring sosial yang penggunanya 2 miliar orang ini.
Kedua, permohonan maaf itu dinilai lebih serius dan sungguh sungguh karena dimuat di surat kabar. Belum cukup hanya di akun pribadi di sosial media. Kerap kali, seseorang yang merasa dirugikan nama baiknya oleh pihak lain menuntut pihak yang merugikan untuk memasang iklan di media catak tertentu.
Ini bukti, media cetak memiliki sejumlah kekhasan yang tidak bisa digantikan oleh media digital. Seperti halnya beberapa keunikan media digital yang tidak bisa ditemukan di media cetak dan media konvensional lain.
Iklan permohonan maaf yang dipasang Zuckerberg adalah salah satu dari kekhasan print media itu. Masih ada beberapa, kekhasan lain yang membuat publik tetap memerlukan kehadiran koran. Di antaranya akurasi dan level kepercayaan dari produk jurnalistik yang disajikan awak redaksi media cetak.
Orang makin kesal karena ranah privasinya terus dibanjiri informasi palsu, berita sampah, hoax, adu domba dan kebencian. Jenuh dan capek otak capek hati. Di situlah, koran yang sangat selektif dalam menyajikan berita kembali menjadi oase di tengah panas terik gurun pasir yang mahaluas.
Apa yang tersaji di koran adalah informasi atau kabar yang sudah divalidasi secara berjenjang oleh orang orang profesional yang wajib mendapatkan lisensi khusus sebagai jurnalis.
Dengan kata lain, menu yang tersaji di koran adalah sari pati makanan yang paling bergizi yang dijamin halal dengan pengolahan yang higienis berstandar nasional dan internasional. Bandingkan dengan tulisan tulisan di sosial media yang kebanyakan asal pasang dan jauh dari proses standar yang dipatuhi seorang jurnalis.
Pendek kata, media cetak dan media digital adalah saudara kandung yang lahir di waktu dan tempat berbeda. Keduanya bukan musuh, jadi jangan diposisikan sedang bermusuhan. Keduanya saling menolong, saling mengisi dan saling melengkapi.
Kami di SINDO Group menerapkan itu. KORAN SINDO yang berusia 13 tahun melahirkan SINDOnews.com, 6 tahun lalu. Media cetak dan digital bersinergi dan berkolaborasi. Dan, syukur berhasil. KORAN SINDO tetap eksis dan SINDOnews terus merangsek naik. Kini menjadi portal news ranking 5 terbanyak dibaca di Indonesia.
Hal yang sama dilakukan KORAN SINDO Makassar, yang melahirkan SINDOnews Makassar, tahun lalu. Keduanya berjalan beriringan, saling menjaga, saling mengisi. Betapa indahnya. Sekarang bagaimana? Masih perlu koran kah seperti Zuckerberg? (*)
(poe)