Mempersoalkan al-Khilafah al-Indonesia

Jum'at, 12 Oktober 2018 - 08:11 WIB
Mempersoalkan al-Khilafah al-Indonesia
Mempersoalkan al-Khilafah al-Indonesia
A A A
Faisal Ismail

Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

PROF Mahfud MD dalam acara Indonesia Lawyers Club di sebuah televisi di Jakarta mengulas tentang khilafah. Prof Mahfud memaknai khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang meliputi berbagai bangsa (transnasional) dengan pusat kekuasaan yang dipimpin oleh seorang khalifah. Khilafah sebagai sistem pemerintahan jika diterapkan di Indonesia sangat tidak cocok dan berbahaya karena bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Tentang poin ini, saya berpandangan sama dengan Prof Mahfud.

Pikiran saya terusik ketika Prof Mahfud mengatakan "Saya pastikan bahwa Indonesia dengan sistem Pancasila ini adalah juga khilafah, [yaitu] khilafah dalam arti sistem pemerintahan yang khas bagi Indonesia, al-khilafah al-Indonesia. " Kemudian Prof Mahfud mempertegas lagi, "Indonesia pun menganut sistem khilafah , tetapi model khilafah yang khas Indonesia yang didasarkan kepada Pancasila, al-khilafah al-Indonesia."

Prof kelahiran Madura ini mengklaim pendapatnya didasarkan pada perspektif pengertian khilafah sebagai model kepemimpinan (bukan sebagai sistem pemerintahan). Menjadi pertanyaan: adakah al-khilafah al-Indonesia itu? Apa benar negara kita menganut dan menerapkan model khilafah khas Indonesia yang berdasarkan Pancasila?

Tonggak Sejarah Khilafah

Kata khilafah berarti penggantian (succession) atau kekhalifahan (caliphate). Orangnya disebut khalifah (caliph atau successor ); bentuk jamak khalifah adalah khulafa’. Melalui sunnah fi’liyahnya, Nabi Muhammad mendirikan Negara Madinah dan beliau memimpinnya selama 10 tahun (622-632 M). Dalam bukunya "Muhammad: Prophet and Statesman," Prof Montgomery Watt menilai karier Muhammad sebagai nabi dan negarawan sangat sukses.

Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), roda pemerintahan dan kepemimpinan umat dilanjutkan oleh Khulafa’ ar-Rasyidin (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) yang seluruhnya berlangsung selama 29 tahun (11-40 H/632-661 M). Keempat khalifah ini bukan pengganti Muhammad sebagai nabi, tetapi pengganti nabi sebagai pemimpin umat. Sistem khilafah dipandang sebagai tonggak sejarah dalam ketatanegaraan Islam.

Proses pemilihan Khulafa’ ar-Rasyidin memperlihatkan sistem yang berbeda. Melalui permusyawaratan (syura), para sahabat sebagai wakil-wakil umat memilih Abu Bakar sebagai khalifah (632-634 M). Sebelum wafat, Abu Bakar mencalonkan Umar bin Khattab sebagai khalifah dan pencalonannya disetujui oleh para sahabat dan Umar pun terpilih sebagai khalifah (634-644 M).

Khalifah ketiga, Usman bin Affan, dengan sistem formatur terpilih sebagai khalifah (644-656 M). Pengganti Usman bin Affan adalah Ali bin Abi Thalib (656-661 M) yang terpilih sebagai khalifah melalui proses pemilihan demokratis. Jadi, keempat khalifah itu dipilih secara demokratis. Permusyawaratan sebagai esensi demokrasi dilaksanakan oleh para sahabat secara benar, jujur, adil, dan fair .

Ciri-Ciri Sistem Khilafah

Setelah pemerintahan Khulafa’ ar-Rasyidin berakhir, berdirilah Daulah Umayyah (661-750 M) dengan pusat pemerintahannya di Damaskus. Pada masa Daulah Umayyah, sistem khilafah sudah "menyimpang" dari sistem khilafah yang dipraktikkan pada masa pemerintahan Khulafa’ ar-Rasyidin. Semua khalifah Daulah Umayyah tidak dipilih secara demokratis, tetapi diangkat dan jabatan/kekuasaan diwariskan secara turun-temurun. Orang-orang di luar Bani Umayyah tidak memiliki akses politik untuk memegang jabatan dan menjadi khalifah.

Daulah Umayyah digantikan oleh Daulah Abbasiyah (750-1258 M) dengan pusat pemerintahannya di Baghdad. Sama seperti semua khalifah Daulah Umayyah, semua khalifah Daulah Abbasiyah diangkat dan jabatan/kekuasaan diwariskan secara turun-temurun. Orang-orang di luar Bani Abbasiyah tidak mempunyai akses politik untuk meraih jabatan dan menjadi khalifah. Daulah Umayyah di Cordova (Andalusia/Spanyol, 750-1031 M) juga mempraktikkan hal yang sama. Semua amir/khalifah diangkat dan jabatan/kekuasaan diwariskan secara turun-temurun. Akses politik untuk menduduki jabatan dan menjadi amir/khalifah di luar Bani Umayyah tertutup.

Dari penelusuran sejarah di atas dapat diketahui beberapa ciri penting khilafah. Pertama, masa jabatan khalifah pada masa pemerintahan Khulafa’ ar-Rasyidin tidak dibatasi dalam arti khalifah menjalankan pemerintahan seumur hidup (dari sejak diangkat/dibai’at sampai wafat). Kedua , pemerintahan di tiga daulah (Daulah Umayyah di Damaskus, Daulah Abbasiyah di Baghdad, dan Daulah Umayyah di Cordova) adalah pemerintahan dinasti (bani). Ketiga, masa jabatan khalifah di tiga daulah itu tidak dibatasi dalam arti khalifah menjalankan pemerintahan seumur hidup (dari sejak diangkat/dibai’at sampai wafat). Keempat, sistem kekhalifahan di tiga daulah itu sebenarnya sama dengan sistem kerajaan (monarki) karena kepala negara (khalifah) diangkat dan jabatan/kekuasaan diwariskan secara turun-temurun.

Kelima, khalifah (yang nota bene sebenarnya tak ubahnya seperti raja) memegang kekuasaan penuh di tiga daulah tersebut. Patut ditambahkan, pada masa Kesultanan Turki Usmani, Abdul Majid II dalam masa yang singkat pernah dipilih sebagai khalifah (1922-1924) oleh Majelis Nasional Besar Turki sebelum negara itu ditransformasi oleh Mustafa Kemal Ataturk menjadi negara republik sekuler. Dalam perkembangan selanjutnya, sistem khilafah ditinggalkan dan negara-negara Arab-muslim/Islam memakai sistem kerajaan, kesultanan, emirat, dan republik.

Sistem khilafah dengan lima ciri di atas tidak bisa diterapkan di Indonesia karena "bertabrakan" dengan sistem pemerintahan Indonesia yang dikenal sebagai negara bangsa berdasarkan Pancasila, negara kesatuan berbentuk republik, bersistem presidensial, dan menjunjung tinggi demokrasi. Pandangan Prof Mahfud yang memaknai khilafah sebagai model kepemimpinan juga tidak dapat diterapkan di Indonesia.

Menurut saya, tidak ada pemisahan khilafah sebagai--seperti Prof Mahfud klaim--model kepemimpinan dari khilafah sebagai sistem pemerintahan. Negara khilafah sudah pasti dipimpin oleh khalifah. Atau, yang berlaku di negara yang bersistem khilafah dengan lima ciri di atas adalah model kepemimpinan khilafah. Antara sistem dan model terintegrasi dan tidak bisa dipisahkan. Model merupakan pengejawantahan dari sistem atau model dibentuk dan dibangun berdasarkan sistem.

Dengan argumen ini, saya berpendapat Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak menganut dan tidak menerapkan sistem khilafah dan model kepemimpinan khilafah. Tidak ada al-khilafah al-Indonesia. Negara ini tidak dipimpin oleh khalifah, tetapi oleh presiden. Tesis Prof Mahfud "Indonesia pun menganut sistem khilafah tetapi model khilafah yang khas Indonesia yang didasarkan kepada Pancasila, al-khilafah al-Indonesia" rancu dan ambigu. Mohon maaf Prof, ini hanya tukar pikiran untuk pencerahan. Salam hormat!
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3260 seconds (0.1#10.140)