Optimisme Kedaulatan Pangan
A
A
A
Kuntoro Boga Andri
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian.
SEKTOR pertanian di Indonesia sesuatu yang menjanjikan dan mampu menjamin kedaulatan pangan serta kesejahteraan pelaku usahanya. Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-38 di Kalimantan Selatan bulan ini merupakan momentum yang tepat untuk memperkukuh komitmen semua pihak dalam penyediaan pangan yang cukup dan terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia, dan jaminan kesejahteraan bagi pelaku usahanya. Indonesia telah memperkukuh landasan hukum terkait pangan, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Disadari bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang hakiki dan merupakan hak asasi yang diatur dalam UUD 1945.
“Negara berkewajiban untuk mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, bermutu, bergizi, dan seimbang mulai di tingkat nasional yang secara merata di seluruh wilayah Indonesia,” Peringatan HPS sendiri dimulai sejak Food and Agriculture Organization (FAO) menetapkan World Food Day melalui Resolusi PBB Nomor 1/1979 di Roma, Italia, di mana dipilih 16 Oktober yang bertepatan dengan terbentuknya FAO.
Sejak saat itu disepakati bahwa mulai 1981, seluruh negara anggota FAO termasuk Indonesia memperingati HPS secara nasional setiap tahun. Peringatan HPS ke-38 tahun ini bertema "Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak dan Pasang Surut Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045" untuk tingkat Nasional dan tema internasionalnya adalah "A Zero Hunger World by 2030 is Possible”. Salah satu persoalan yang membayangi sektor pertanian sejak lama adalah konversi lahan pertanian. Di sejumlah sentra produksi pertanian, lahan produktif beralih fungsi menjadi lahan perumahan maupun industri.
Terobosan yang dilakukan Kementerian Pertanian melalui Ditjen Tanaman Pangan adalah menjalankan program Perluasan Areal Tanam Baru. Untuk meningkatkan luas areal tanam baru, Kementan tidak lagi terpaku pada lahan irigasi, tapi justru memanfaatkan lahan suboptimal, seperti lahan rawa. Berdasarkan data Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian total lahan rawa pasang-surut yang berpotensi menjadi lahan pertanian adalah 3,5 juta hektare dan lahan rawa lebak sebesar 11 juta hektare. Lahan tersebut tersebar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Tantangan pengembangannya memang tergolong besar mengingat kondisi lahan rawa yang memiliki tingkat kesuburan rendah, infrastruktur belum berfungsi optimal, indeks pertanaman dan panen masih rata-rata satu kali setahun, serangan hama dan penyakit tanaman masih tinggi, Untuk itu, pemanfaatan teknologi dan sinergi berbagai pihak ditingkatkan sehingga rawa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produksi pangan. Kementerian Pertanian (Kementan) memberikan dukungan mekanisasi pertanian seperti ekskavator dan melakukan pembangunan irigasi. Penggunaan varietas adaptif lahan rawa juga dipercaya akan mendorong keberhasilan budi daya tanaman di lahan rawa. Selain itu, pemanfaatan lahan rawa dilakukan dengan menjalin kerja sama antara pemerintah pusat, TNI, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pada perayaan Hari Pangan Sedunia 2018 ini kita akan diperlihatkan bahwa kini lahan rawa sudah menjadi lahan produktif. Konsep mini polder yang dikembangkan Kementan terbukti meningkatkan indeks pertanaman lahan rawa dari tanam sekali menjadi dua kali dalam setahun. Varietas padi unggul yang adaptif terhadap genangan memungkinkan produktivitas padi di lahan rawa mencapai 6 –9,5 ton per hektare.
Produktif di Semua Musim
Selain permasalahan konversi lahan pertanian, sektor pertanian juga menghadapi masalah dampak perubahan iklim. Musim kemarau 2018 misalnya, data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan kemarau panjang yang terjadi di Indonesia akan terus memuncak hingga September ini. BMKG menyebutkan terjadi penurunan signifikan curah hujan pada Juni–Agustus 2018 dibandingkan curah hujan pada 2017 yang lebih fluktuatif. Penurunan terbesar pada Agustus 2018 sebesar 32.21 (mm) sedangkan pada Agustus 2017 sebesar 138.47 (mm).
Menyikapi musim kemarau yang berdurasi lebih panjang, Kementan melihatnya sebagai kesempatan baik yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Musim kemarau sebagai sebuah keniscayaan selayaknya tidak menjadi halangan untuk berproduksi. Kondisi iklim kering seharusnya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin karena hama lebih sedikit, sinar matahari cukup baik untuk fotosintesis dan proses pengeringan. Jadi kualitas gabah lebih baik, biaya produksi juga bisa ditekan.
Kemarau yang terjadi saat ini memang dapat berdampak terhadap ancaman kekeringan pada pertanaman padi yang masih belum panen, bahkan berpotensi menyebabkan puso (gagal panen). Namun, lahan yang terkena dampak kekeringan menurut data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan, kecil jika dibandingkan dengan luas tanam padi yang ada.
Jika dibandingkan dengan luas tanam tahun 2018 periode Januari–Agustus seluas 10.079.475 hektare, dampaknya masih kecil, yaitu 1,34% atau 135.226 hektare. Itu sudah termasuk yang terkena puso atau gagal panen yang hanya 0,26% atau 26.438 hektare dari total luas tanam.
Sebentar lagi kita akan memasuki musim hujan. Kondisi iklim basah juga menyimpan tantangan besar untuk dunia pertanian. Sama seperti kekeringan, curah hujan yang tinggi juga berisiko menimbulkan gagal panen ataupun meningkatkan serangan hama. Untuk itu, program adaptasi terhadap perubahan iklim dilakukan dengan mengimplementasikan teknologi adaptif melalui penyesuaian pola tanam, penggunaan varietas unggul adaptif, teknologi pengelolaan lahan, serta sejumlah inovasi lainnya. Kami berjanji, pemerintah akan berupaya maksimal untuk mendampingi petani sehingga perubahan iklim tidak lagi menjadi halangan untuk berproduksi.
Kebijakan untuk SDM dan Anggaran
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, dibutuhkan manusia-manusia pertanian yang mampu mengikuti perkembangan zaman. Bertani bukan lagi menjadi pekerjaan, tapi menjadi kesempatan untuk menciptakan lapangan usaha.
Terobosan yang saat ini sedang dilakukan Kementan untuk mencetak petani muda adalah dengan melakukan transformasi lembaga pendidikan dari Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian menjadi Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan). Melalui Polbangtan, diharapkan yang lahir bukan hanya tenaga-tenaga penyuluh, tapi juga para wirausahawan muda di bidang pertanian yang akan menjadi definisi baru petani di era milenial.
Besarnya perhatian pemerintah terhadap regenerasi petani juga dituangkan dalam kebijakan anggaran yang difokuskan untuk bantuan sarana dan prasarana pertanian yang dapat digunakan petani untuk berproduksi. Selama hampir empat tahun Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memimpin anggaran operasional untuk biaya seminar, perbaikan kantor, hingga biaya membeli kendaraan dipangkas dari yang awalnya sebesar 48% menjadi tinggal 8%. Sebanyak 80% anggaran 2018 digunakan untuk sarana dan prasarana pertanian.
Hasil sampai hari ini membuktikan bahwa selama empat tahun terakhir, kebijakan yang dijalankan Kementan telah membawa sektor pertanian Indonesia ke jalan kedaulatan pangan. Ini terlihat dari ekspor komoditas pertanian yang semakin meningkat dan angka impor yang jauh menurun.
Terhitung sejak Oktober 2014 hingga 2018 ini, Kementan berhasil menjadikan beberapa komoditas strategis swasembada dan bahkan ekspor. Mulai 2016 Kementan menghentikan total impor padi umum, cabai segar dan bawang merah. Impor jagung pakan pada 2016 turun 66%, dan pada 2017 impor jagung sudah tidak ada. Pada 2017, capaian swasembada sejumlah komoditas strategis sudah berkembang menjadi prestasi ekspor. Pada tahun itu, Indonesia ekspor beras khusus sekitar 4.000 ton, bawang merah 7.700 ton, dan jagung 1.879 ton ke beberapa negara. Rentetan prestasi ekspor pertanian tersebut kembali bertambah di tahun 2018. Badan Pusat Statistik melaporkan kinerja komoditas pertanian hingga April 2018 sebesar USD300 miliar atau naik 7,38% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Keberhasilan mengekspor sejumlah komoditas strategis tentunya menumbuhkan harapan bahwa Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. Kementan telah menetapkan visi bahwa Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia pada 2045. Bagi sejumlah pihak, target ini sulit dicapai. Namun, keyakinan bahwa dengan kerja keras dan cerdas dari semua kelompok masyarakat, Indonesia tidak hanya akan berdaulat pangan, tapi menjadi negara yang menjadi lumbung pangan bagi negara-negara lainnya.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian.
SEKTOR pertanian di Indonesia sesuatu yang menjanjikan dan mampu menjamin kedaulatan pangan serta kesejahteraan pelaku usahanya. Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-38 di Kalimantan Selatan bulan ini merupakan momentum yang tepat untuk memperkukuh komitmen semua pihak dalam penyediaan pangan yang cukup dan terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia, dan jaminan kesejahteraan bagi pelaku usahanya. Indonesia telah memperkukuh landasan hukum terkait pangan, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Disadari bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang hakiki dan merupakan hak asasi yang diatur dalam UUD 1945.
“Negara berkewajiban untuk mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, bermutu, bergizi, dan seimbang mulai di tingkat nasional yang secara merata di seluruh wilayah Indonesia,” Peringatan HPS sendiri dimulai sejak Food and Agriculture Organization (FAO) menetapkan World Food Day melalui Resolusi PBB Nomor 1/1979 di Roma, Italia, di mana dipilih 16 Oktober yang bertepatan dengan terbentuknya FAO.
Sejak saat itu disepakati bahwa mulai 1981, seluruh negara anggota FAO termasuk Indonesia memperingati HPS secara nasional setiap tahun. Peringatan HPS ke-38 tahun ini bertema "Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak dan Pasang Surut Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045" untuk tingkat Nasional dan tema internasionalnya adalah "A Zero Hunger World by 2030 is Possible”. Salah satu persoalan yang membayangi sektor pertanian sejak lama adalah konversi lahan pertanian. Di sejumlah sentra produksi pertanian, lahan produktif beralih fungsi menjadi lahan perumahan maupun industri.
Terobosan yang dilakukan Kementerian Pertanian melalui Ditjen Tanaman Pangan adalah menjalankan program Perluasan Areal Tanam Baru. Untuk meningkatkan luas areal tanam baru, Kementan tidak lagi terpaku pada lahan irigasi, tapi justru memanfaatkan lahan suboptimal, seperti lahan rawa. Berdasarkan data Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian total lahan rawa pasang-surut yang berpotensi menjadi lahan pertanian adalah 3,5 juta hektare dan lahan rawa lebak sebesar 11 juta hektare. Lahan tersebut tersebar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Tantangan pengembangannya memang tergolong besar mengingat kondisi lahan rawa yang memiliki tingkat kesuburan rendah, infrastruktur belum berfungsi optimal, indeks pertanaman dan panen masih rata-rata satu kali setahun, serangan hama dan penyakit tanaman masih tinggi, Untuk itu, pemanfaatan teknologi dan sinergi berbagai pihak ditingkatkan sehingga rawa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produksi pangan. Kementerian Pertanian (Kementan) memberikan dukungan mekanisasi pertanian seperti ekskavator dan melakukan pembangunan irigasi. Penggunaan varietas adaptif lahan rawa juga dipercaya akan mendorong keberhasilan budi daya tanaman di lahan rawa. Selain itu, pemanfaatan lahan rawa dilakukan dengan menjalin kerja sama antara pemerintah pusat, TNI, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pada perayaan Hari Pangan Sedunia 2018 ini kita akan diperlihatkan bahwa kini lahan rawa sudah menjadi lahan produktif. Konsep mini polder yang dikembangkan Kementan terbukti meningkatkan indeks pertanaman lahan rawa dari tanam sekali menjadi dua kali dalam setahun. Varietas padi unggul yang adaptif terhadap genangan memungkinkan produktivitas padi di lahan rawa mencapai 6 –9,5 ton per hektare.
Produktif di Semua Musim
Selain permasalahan konversi lahan pertanian, sektor pertanian juga menghadapi masalah dampak perubahan iklim. Musim kemarau 2018 misalnya, data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan kemarau panjang yang terjadi di Indonesia akan terus memuncak hingga September ini. BMKG menyebutkan terjadi penurunan signifikan curah hujan pada Juni–Agustus 2018 dibandingkan curah hujan pada 2017 yang lebih fluktuatif. Penurunan terbesar pada Agustus 2018 sebesar 32.21 (mm) sedangkan pada Agustus 2017 sebesar 138.47 (mm).
Menyikapi musim kemarau yang berdurasi lebih panjang, Kementan melihatnya sebagai kesempatan baik yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Musim kemarau sebagai sebuah keniscayaan selayaknya tidak menjadi halangan untuk berproduksi. Kondisi iklim kering seharusnya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin karena hama lebih sedikit, sinar matahari cukup baik untuk fotosintesis dan proses pengeringan. Jadi kualitas gabah lebih baik, biaya produksi juga bisa ditekan.
Kemarau yang terjadi saat ini memang dapat berdampak terhadap ancaman kekeringan pada pertanaman padi yang masih belum panen, bahkan berpotensi menyebabkan puso (gagal panen). Namun, lahan yang terkena dampak kekeringan menurut data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan, kecil jika dibandingkan dengan luas tanam padi yang ada.
Jika dibandingkan dengan luas tanam tahun 2018 periode Januari–Agustus seluas 10.079.475 hektare, dampaknya masih kecil, yaitu 1,34% atau 135.226 hektare. Itu sudah termasuk yang terkena puso atau gagal panen yang hanya 0,26% atau 26.438 hektare dari total luas tanam.
Sebentar lagi kita akan memasuki musim hujan. Kondisi iklim basah juga menyimpan tantangan besar untuk dunia pertanian. Sama seperti kekeringan, curah hujan yang tinggi juga berisiko menimbulkan gagal panen ataupun meningkatkan serangan hama. Untuk itu, program adaptasi terhadap perubahan iklim dilakukan dengan mengimplementasikan teknologi adaptif melalui penyesuaian pola tanam, penggunaan varietas unggul adaptif, teknologi pengelolaan lahan, serta sejumlah inovasi lainnya. Kami berjanji, pemerintah akan berupaya maksimal untuk mendampingi petani sehingga perubahan iklim tidak lagi menjadi halangan untuk berproduksi.
Kebijakan untuk SDM dan Anggaran
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, dibutuhkan manusia-manusia pertanian yang mampu mengikuti perkembangan zaman. Bertani bukan lagi menjadi pekerjaan, tapi menjadi kesempatan untuk menciptakan lapangan usaha.
Terobosan yang saat ini sedang dilakukan Kementan untuk mencetak petani muda adalah dengan melakukan transformasi lembaga pendidikan dari Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian menjadi Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan). Melalui Polbangtan, diharapkan yang lahir bukan hanya tenaga-tenaga penyuluh, tapi juga para wirausahawan muda di bidang pertanian yang akan menjadi definisi baru petani di era milenial.
Besarnya perhatian pemerintah terhadap regenerasi petani juga dituangkan dalam kebijakan anggaran yang difokuskan untuk bantuan sarana dan prasarana pertanian yang dapat digunakan petani untuk berproduksi. Selama hampir empat tahun Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memimpin anggaran operasional untuk biaya seminar, perbaikan kantor, hingga biaya membeli kendaraan dipangkas dari yang awalnya sebesar 48% menjadi tinggal 8%. Sebanyak 80% anggaran 2018 digunakan untuk sarana dan prasarana pertanian.
Hasil sampai hari ini membuktikan bahwa selama empat tahun terakhir, kebijakan yang dijalankan Kementan telah membawa sektor pertanian Indonesia ke jalan kedaulatan pangan. Ini terlihat dari ekspor komoditas pertanian yang semakin meningkat dan angka impor yang jauh menurun.
Terhitung sejak Oktober 2014 hingga 2018 ini, Kementan berhasil menjadikan beberapa komoditas strategis swasembada dan bahkan ekspor. Mulai 2016 Kementan menghentikan total impor padi umum, cabai segar dan bawang merah. Impor jagung pakan pada 2016 turun 66%, dan pada 2017 impor jagung sudah tidak ada. Pada 2017, capaian swasembada sejumlah komoditas strategis sudah berkembang menjadi prestasi ekspor. Pada tahun itu, Indonesia ekspor beras khusus sekitar 4.000 ton, bawang merah 7.700 ton, dan jagung 1.879 ton ke beberapa negara. Rentetan prestasi ekspor pertanian tersebut kembali bertambah di tahun 2018. Badan Pusat Statistik melaporkan kinerja komoditas pertanian hingga April 2018 sebesar USD300 miliar atau naik 7,38% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Keberhasilan mengekspor sejumlah komoditas strategis tentunya menumbuhkan harapan bahwa Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. Kementan telah menetapkan visi bahwa Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia pada 2045. Bagi sejumlah pihak, target ini sulit dicapai. Namun, keyakinan bahwa dengan kerja keras dan cerdas dari semua kelompok masyarakat, Indonesia tidak hanya akan berdaulat pangan, tapi menjadi negara yang menjadi lumbung pangan bagi negara-negara lainnya.
(wib)