Pendidikan Tanggap Bencana

Selasa, 09 Oktober 2018 - 10:01 WIB
Pendidikan Tanggap Bencana
Pendidikan Tanggap Bencana
A A A
Jejen Musfah
Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Pengurus Besar PGRI

BELUM usai duka gempa Lombok dan Mataram pada 29 Juli 2018, gempa dan tsunami menerjang Palu, Donggala, dan Sigi pada 28 September 2018. Bencana tersebut tidak hanya merusak sejumlah bangunan, tetapi juga mengakibatkan ribuan orang meninggal. Selain Filipina, India, dan Jepang, Indonesia pun menjadi salah satu yang paling rawan gempa.

Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni Indo-Australia dari sebelah Selatan, Eurasia dari Utara, dan Pasifik dari Timur.

Beberapa wilayah Indonesia yang paling rawan gempa adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Daerah Istimewa Yogyakarta, Banten, Nusa Tenggara Barat, dan Padang, Sumatera Barat. Kita tidak bisa mencegah bencana, tetapi bisa meminimalkan korban jiwa dan luka jika setiap lapisan masyarakat disiapkan sejak dini secara profesional.

Edukasi tanggap darurat gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi menjadi pilihan rasional dan mendesak bagi masyarakat di wilayah-wilayah di atas. Pun wilayah lainnya yang dinilai rawan bencana. Tanggap gempa-tsunami harus menjadi program sekolah dan kampus.

Menurut Rajib Shaw, Koichi Shiwaku, dan Yukiko Takeuchi (2011), dalam buku Disaster Education, pendidikan merupakan kunci pengurangan risiko dampak bencana. Edukasi tanggap bencana sejak dini akan melatih masyarakat siap menghadapi bencana.

Sebelum Bencana
Indonesia membutuhkan alat deteksi bencana gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi. Semakin bagus tindakan pencegahan bencana dilakukan, semakin kecil risiko bencana yang akan dialami. Alat-alat tersebut harus disiapkan, dipelihara, dan dijaga agar tetap berfungsi dengan baik.

Kehilangan dan kerusakan alat-alat tersebut menunjukkan masyarakat miskin harta sekaligus miskin moralitas. Abainya negara terhadap perbaikan dan pengadaan alat-alat tersebut secara cepat dan serius juga menunjukkan rendahnya perhatian negara terhadap keselamatan warganya.

Bangunan sekolah, rumah, perkantoran, dan fasilitas umum di daerah rawan bencana bisa disesuaikan dengan teknologi terkini. Contoh, bangunanharus mengikuti kaidah bangunan tahan gempa. Bangunan tidak menggunakan bahan berat, tetapi bahan ringan seperti kayu. Bahan bata dan batako mudah pecah, hancur, dan mudah keropos. Dua bahan tersebut tidak masalah jika ada perlakuan (treatment) khusus.

Kecuali itu, seminar, pelatihan, workshop, dan simulasi tentang kebencanaan harus diadakan di lembaga pendidikan, mulai SD, SMP, SMA, PT, baik di lembaga pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Pelajar dan masyarakat memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memadai dan tepat dalam menghadapi bencana. Diakui, sosialisasi dan pelatihan siaga bencana sangat kurang di lembaga pendidikan dan masyarakat. Kerja sama dinas pendidikan, dinas sosial, dan dinas terkait sangat diperlukan untuk program ini.

Saat Bencana
Gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi menimbulkan kerusakan jalan, sekolah, gedung, rumah, gangguan pasokan listrik, jaringan telepon, dan bahan bakar minyak. Korban meninggal dan luka memerlukan penanganan yang cepat dan tepat dari pemerintah dan masyarakat. Rumah sakit, sekolah, dan posko bencana merupakan tiga hal yang perlu mendapat perhatian serius.

Posko bencana menampung, mengolah, dan mendistribusikan bantuan dari berbagai pihak ke wilayah dan kelompok yang tepat. Tim penanganan bencana harus profesional jika perlu menggunakan sistem daring. Seharusnya, siapa, berapa, dan dalam bentuk apa bantuan terdata dan terdistribusi dengan baik. Sistem ini memudahkan orang dan kelompok untuk memberikan bantuan sekaligus memperoleh keterbukaan informasi alias transparansi.

Korupsi dana gempa Lombok, pencurian di rumah-rumah kosong wilayah gempa, dan penjarahan masyarakat di toko dan minimarket sesaat setelah gempa dan tsunami di Palu menunjukkan masyarakat tidak siap dengan kondisi bencana. Pengelolaan bantuan saat bencana secara profesional sangat mendesak agar kejadian serupa tidak berulang. Perut boleh lapar dan keroncongan, tetapi iman harus tetap terjaga dan memandu sikap manusia.

Korupsi, pencurian, dan penjarahan merupakan bencana dalam bencana yang tidak seharusnya terjadi. Saat bencana muncul ke permukaan, segera ada tindakan amoral di satu sisi, dan muncul jiwa sosial di sisi yang lain. Itulah dua sisi manusia. Bantuan banyak mengalir deras dari warga sebangsa, bahkan dari luar negeri. Mereka bergerak berdonasi tanpa melihat perbedaan suku, agama, dan partai politik.

Indah di balik bencana benar-benar ada dan terjadi. Pemerintah, partai politik, organisasi masyarakat, organisasi profesi, dunia usaha, dunia industri, masyarakat, dan individu bersatu padu memberikan bantuan, baik materi, tenaga, maupun doa. Semangat kebersamaan dan persaudaraan ini harus dikelola dengan baik dengan sistem penanganan bencana yang profesional dan teruji. Ini tugas pemerintah.

Peran TNI, Polri, PMI, dan dokter patut dicatat dalam setiap penanganan bencana alam di Indonesia. Mereka bersama unsur pemerintah lainnya dan masyarakat selalu turut andil dalam penanganan korban bencana. Peran mereka sangat vital dalam setiap bencana yang melanda negeri ini karena mereka terlatih, profesional, dan memiliki kekuatan fisik yang bagus. Persatuan unsur pemerintah dan masyarakat akan bisa menangani bencana dengan baik dan profesional.

Setelah Bencana
Setiap bencana meninggalkan duka, trauma, dan beban psikologis yang tidak ringan. Setiap orang tentu berbeda dalam menyikapi bencana karena kehilangan harta-benda dan keluarga. Karena itu, penanganan psikologis masyarakat terdampak bencana sangat penting. Negara bertanggung jawab memastikan terbentuknya tim khusus yang menangani psikologi dan trauma warga. Tujuannya, agar mereka siap dan sanggup bangkit kembali menjalani hidup seperti sebelumnya.

Selain rumah, sekolah dan perguruan tinggi (PT) di wilayah bencana juga harus segera diperbaiki dan dibangun agar pendidikan tetap berlangsung. David Smawfield dalam buku Education and Natural Disasters: A Selective Overview (2013: 10) menulis, kelangsungan pendidikan di daerah bencana bisa dilakukan dengan cara bergabung dengan sekolah yang bangunannya masih utuh, memanfaatkan bangunan-bangunan yang masih utuh, atau menjalankan kelas yang berpindah-pindah (mobile class).

Pembelajaran bisa dilakukan di tenda-tenda darurat, bangunan yang layak untuk pembelajaran, dan memberikan kenyamanan dan keamanan bagi anak-anak. Rajib Shaw dan Yukihiko Oikawa dalam buku Education for Sustainable Development and Disaster Risk Reduction (2014: 146) menyarankan, antisipasi terhadap bencana kedua seperti gempa susulan atau tsunami.

Dana pembangunan rumah, sekolah, dan perguruan tinggi dipastikan tidak dikorupsi. Pembelajaran di daerah bencana tidak akan seefektif di kelas-kelas reguler. Karena itu, target pembelajaran tidak seperti umumnya, tetapi disesuaikan dengan kondisi anak-anak, guru, dan lingkungan bencana.

Mahasiswa semester akhir di fakultas keguruan bisa diterjunkan di setiap daerah bencana untuk membantu pengajaran di kelas-kelas darurat, terutama yang kekurangan guru. Pada fakultas keguruan diperlukan mata kuliah atau pembekalan khusus terkait pendidikan dan pembelajaran di daerah bencana. Seingat saya, hal itu belum dilakukan, paling tidak belum banyak.

Kecuali itu, sikap masyarakat terhadap bencana beragam. Ada yang percaya itu peristiwa alam biasa, tapi tidak sedikit yang percaya bencana sebagai hukuman Tuhan atas perilaku maksiat atau pelanggaran kelompok tertentu terhadap larangan-larangan Tuhan. Dua kutub pandangan berbeda ini harus dijelaskan secara baik dan moderat oleh narasumber pelatihan penanganan bencana.

Keduanya bisa jadi benar, tetapi sikap terbaik pascagempa adalah menolong yang sakit, mendoakan yang meninggal, membantu yang kesulitan makanan-minuman-tempat tinggal, dan memastikan pendidikan berlangsung sesuai keadaan lapangan. Memperdebatkan isu mengapa bencana terjadi di suatu wilayah tertentu—dan mengapa di tempat lain tidak, tidak boleh berlebihan, agar pikiran dan tenaga kita bisa fokus pada aksi nyata penanganan bencana.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1145 seconds (0.1#10.140)