Kedaulatan di Bidang Agraria
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Dosen Hukum Agraria, Guru Besar Ilmu Hukum UGM
RASA gembira atas respons teman-teman sejawat, khususnya seorang peneliti agraria dari Belanda, terhadap artikel saya di KORAN SINDO, 20 September 2018 berjudul "Optimalisasi Fungsi Hak-hak Agraria". Dikatakannya, benar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) itu bagus. Namun, persoalan-persoalan agraria bukan semata-mata persoalan hukum.
Sebaik apa pun asas-asas hukum agraria nasional, bukan garansi mesti diikuti secara konsisten dengan pembuatan norma-norma hukum operasional. Pun pula masih diperlukan pula komitmen seluruh komponen bangsa untuk melaksanakan norma hukum agraria yang baik secara kontinu. Semua harapan indah itu hanya dapat diselenggarakan dengan mudah bila bangsa ini benar-benar berdaulat atas Tanah Airnya.
Saya menggarisbawahi pendapat teman sejawat itu. Benar bahwa realitas empiris menunjukkan bangsa ini belum berdaulat sepenuhnya di bidang agraria. Secara formal, WNI pemiliknya, tetapi manajemen pengelolaannya dikendalikan WNA. Ini kedaulatan semu. Tidak sedikit, tanah, air, tambang, kebun, dan sumber daya alam lainnya, tergadaikan pada korporasi asing. Merekalah penerima keuntungan terbesar dari korporasinya. Bangsa sendiri (WNI) hanya menjadi kuli-kulinya. Ironis. Di negeri sendiri, tetapi hidup dan kehidupan didikte orang asing.
Sesungguhnya sejak dulu di bangsa ini telah ada tekad membara untuk berdaulat sepenuhnya di bidang agraria. Tekad itu terwujud dalam bentuk: (1) Ditinggalkannya hukum agraria "lama" yang berwatak kolonial; (2) Disusunnya hukum agraria "baru" berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; (3) Memperlebar kemungkinan tercapainya fungsi: bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, untuk pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat; (4) Berdasarkan UUPA, Negara diamanahi mengatur seluruh sumber daya alam dan memimpin penggunaannya, hingga diperoleh kemakmuran bagi seluruh rakyat. Secara eksplisit, tekad dan semangat itu tertulis dalam konsiderans UUPA.
UUPA memang luar biasa. UUPA berkarakter populis, bervisi kebangsaan, anti-kolonialisme. Karakter demikian, sejiwa dengan amanah Pembukaan UUD 1945: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Persoalan rumit dan kompleks bidang agraria saat ini adalah hadirnya neokolonialisme. Neokolonialisme adalah kolonialisme berbaju baru, bermetamorfosis dalam bentuk korporasi. Penjajahan dilakukan dengan pendayagunaan ilmu dan teknologi, melalui lorong-lorong politik, hukum, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Berhadapan dengan neokolonialisme, ternyata bangsa ini tak berdaya alias takluk. Akibatnya, korporasi asing leluasa mengebiri dan mengendalikan kedaulatan rakyat di bidang agraria. Masifnya neokolonialisasi di bidang agraria, terindikasikan dari hal-hal sebagai berikut.
Pertama, intensifnya intervensi korporasi asing terhadap kebijakan, regulasi, dan implementasi hukum agraria. Simaklah, betapa banyak peraturan perundangan dikonsep oleh agen-agen korporasi asing. Umumnya, dilatarbelakangi kepentingan bisnis. Kedaulatan lembaga legislatif dan eksekutif digoyang dengan berbagai cara, demi terakomodasinya pasal-pasal yang diinginkan. Melalui modus transaksional, pada gilirannya lahir regulasi agraria berkarakter kolonial, tuna nasionalisme.
Kedua, maraknya korporasi asing berinvestasi di negeri ini. Umumnya, mereka berinvestasi dalam skala besar di bidang properti, perkebunan, pertambangan, perikanan, dan peternakan. Persaingan antara korporasi asing versus perusahaan domestik tak terhindarkan. Demi kemenangan, tak segan-segan korporasi asing melakukan propaganda politik, pendistorsian informasi, pemaksimalan iklan secara sistemik.
Agar persaingan tidak memanas, maka kebangkrutan perusahaan domestik diredam dengan pengalihan perhatian publik ke isu-isu politik, terorisme, atau radikalisme. Dalam kondisi social chaos , kecurangan-kecurangan korporasi asing tidak mudah terdeteksi. Tak kurang lihainya, oknum-oknum aparat keamanan, oknum penegak hukum, dan preman-preman dikendalikan dengan bayaran tinggi sehingga setiap saat dapat diperalat untuk kepentingannya.
Ketiga, maraknya penerobosan hukum terhadap Pasal 26 ayat (2) UUPA, yang berbunyi: "Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah, termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali".
Larangan-larangan dalam pasal itu diterobos melalui berbagai modus, seperti: nomeene (pinjam nama), perkawinan campuran, perjanjian harta perkawinan. Itulah sebabnya, walaupun formalnya pembelian tanah milik oleh WNI (isteri) -dan itu legal-, substansial dilakukan demi kepentingan WNA (suami). Akibatnya, banyak tanah hak milik jatuh dalam penguasaan WNA.
Keempat, maraknya makelar jual beli tanah hak milik WNI kepada WNA. Mereka itu oknum-oknum notaris, PPAT, pengacara, birokrat, ataupun pejabat publik lainnya. Merekalah aktor-aktor intelektual dan pelaku penerobosan hukum Pasal 26 ayat (2) UUPA. Amat disayangkan, jiwa kebangsaannya lemah. Demi uang, mereka tega menelikung bangsa sendiri, mengorbankan Tanah Air, jatuh di tangan orang asing.
Korporasi asing tidak henti-hentinya berupaya dengan segala cara mengebiri kedaulatan bangsa atas tanah airnya. Sadar atas fenomena negatif ini, maka seluruh komponen bangsa mesti berjuang total untuk meraih kembali kedaulatan di bidang agraria. Wallahu’alam.
Dosen Hukum Agraria, Guru Besar Ilmu Hukum UGM
RASA gembira atas respons teman-teman sejawat, khususnya seorang peneliti agraria dari Belanda, terhadap artikel saya di KORAN SINDO, 20 September 2018 berjudul "Optimalisasi Fungsi Hak-hak Agraria". Dikatakannya, benar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) itu bagus. Namun, persoalan-persoalan agraria bukan semata-mata persoalan hukum.
Sebaik apa pun asas-asas hukum agraria nasional, bukan garansi mesti diikuti secara konsisten dengan pembuatan norma-norma hukum operasional. Pun pula masih diperlukan pula komitmen seluruh komponen bangsa untuk melaksanakan norma hukum agraria yang baik secara kontinu. Semua harapan indah itu hanya dapat diselenggarakan dengan mudah bila bangsa ini benar-benar berdaulat atas Tanah Airnya.
Saya menggarisbawahi pendapat teman sejawat itu. Benar bahwa realitas empiris menunjukkan bangsa ini belum berdaulat sepenuhnya di bidang agraria. Secara formal, WNI pemiliknya, tetapi manajemen pengelolaannya dikendalikan WNA. Ini kedaulatan semu. Tidak sedikit, tanah, air, tambang, kebun, dan sumber daya alam lainnya, tergadaikan pada korporasi asing. Merekalah penerima keuntungan terbesar dari korporasinya. Bangsa sendiri (WNI) hanya menjadi kuli-kulinya. Ironis. Di negeri sendiri, tetapi hidup dan kehidupan didikte orang asing.
Sesungguhnya sejak dulu di bangsa ini telah ada tekad membara untuk berdaulat sepenuhnya di bidang agraria. Tekad itu terwujud dalam bentuk: (1) Ditinggalkannya hukum agraria "lama" yang berwatak kolonial; (2) Disusunnya hukum agraria "baru" berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; (3) Memperlebar kemungkinan tercapainya fungsi: bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, untuk pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat; (4) Berdasarkan UUPA, Negara diamanahi mengatur seluruh sumber daya alam dan memimpin penggunaannya, hingga diperoleh kemakmuran bagi seluruh rakyat. Secara eksplisit, tekad dan semangat itu tertulis dalam konsiderans UUPA.
UUPA memang luar biasa. UUPA berkarakter populis, bervisi kebangsaan, anti-kolonialisme. Karakter demikian, sejiwa dengan amanah Pembukaan UUD 1945: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Persoalan rumit dan kompleks bidang agraria saat ini adalah hadirnya neokolonialisme. Neokolonialisme adalah kolonialisme berbaju baru, bermetamorfosis dalam bentuk korporasi. Penjajahan dilakukan dengan pendayagunaan ilmu dan teknologi, melalui lorong-lorong politik, hukum, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Berhadapan dengan neokolonialisme, ternyata bangsa ini tak berdaya alias takluk. Akibatnya, korporasi asing leluasa mengebiri dan mengendalikan kedaulatan rakyat di bidang agraria. Masifnya neokolonialisasi di bidang agraria, terindikasikan dari hal-hal sebagai berikut.
Pertama, intensifnya intervensi korporasi asing terhadap kebijakan, regulasi, dan implementasi hukum agraria. Simaklah, betapa banyak peraturan perundangan dikonsep oleh agen-agen korporasi asing. Umumnya, dilatarbelakangi kepentingan bisnis. Kedaulatan lembaga legislatif dan eksekutif digoyang dengan berbagai cara, demi terakomodasinya pasal-pasal yang diinginkan. Melalui modus transaksional, pada gilirannya lahir regulasi agraria berkarakter kolonial, tuna nasionalisme.
Kedua, maraknya korporasi asing berinvestasi di negeri ini. Umumnya, mereka berinvestasi dalam skala besar di bidang properti, perkebunan, pertambangan, perikanan, dan peternakan. Persaingan antara korporasi asing versus perusahaan domestik tak terhindarkan. Demi kemenangan, tak segan-segan korporasi asing melakukan propaganda politik, pendistorsian informasi, pemaksimalan iklan secara sistemik.
Agar persaingan tidak memanas, maka kebangkrutan perusahaan domestik diredam dengan pengalihan perhatian publik ke isu-isu politik, terorisme, atau radikalisme. Dalam kondisi social chaos , kecurangan-kecurangan korporasi asing tidak mudah terdeteksi. Tak kurang lihainya, oknum-oknum aparat keamanan, oknum penegak hukum, dan preman-preman dikendalikan dengan bayaran tinggi sehingga setiap saat dapat diperalat untuk kepentingannya.
Ketiga, maraknya penerobosan hukum terhadap Pasal 26 ayat (2) UUPA, yang berbunyi: "Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah, termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali".
Larangan-larangan dalam pasal itu diterobos melalui berbagai modus, seperti: nomeene (pinjam nama), perkawinan campuran, perjanjian harta perkawinan. Itulah sebabnya, walaupun formalnya pembelian tanah milik oleh WNI (isteri) -dan itu legal-, substansial dilakukan demi kepentingan WNA (suami). Akibatnya, banyak tanah hak milik jatuh dalam penguasaan WNA.
Keempat, maraknya makelar jual beli tanah hak milik WNI kepada WNA. Mereka itu oknum-oknum notaris, PPAT, pengacara, birokrat, ataupun pejabat publik lainnya. Merekalah aktor-aktor intelektual dan pelaku penerobosan hukum Pasal 26 ayat (2) UUPA. Amat disayangkan, jiwa kebangsaannya lemah. Demi uang, mereka tega menelikung bangsa sendiri, mengorbankan Tanah Air, jatuh di tangan orang asing.
Korporasi asing tidak henti-hentinya berupaya dengan segala cara mengebiri kedaulatan bangsa atas tanah airnya. Sadar atas fenomena negatif ini, maka seluruh komponen bangsa mesti berjuang total untuk meraih kembali kedaulatan di bidang agraria. Wallahu’alam.
(thm)