Drama Ratna Sarumpaet

Kamis, 04 Oktober 2018 - 07:30 WIB
Drama Ratna Sarumpaet
Drama Ratna Sarumpaet
A A A
DRAMA Ratna Sarumpaet akhirnya berakhir. Setelah membuat pengakuan tentang dirinya yang menjadi korban penganiayaan, kemarin perempuan aktivis yang terkenal vokal ini mengakui apa yang diungkapkannya kepada sejumlah orang bukan fakta, melainkan cerita fiktif belaka.

Tidak pernah terjadi penganiayaan terhadapnya pada 21 September di Bandung. Lebam di wajahnya terjadi akibat dia telah menyedot lemak di wajahnya menggunakan jasa seorang dokter bedah plastik di salah satu rumah sakit di Jakarta. Ratna pun telah mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas cerita khayalan yang sudah mengundang kehebohan tersebut.

Ratna selama ini dikenal luas karena keberaniannya bersuara lantang mengkritik rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selain itu, dia populer sebagai aktivis organisasi sosial dengan mendirikan Ratna Sarumpaet Crisis Centre. Kariernya dalam dunia kesenian juga tergolong bagus. Dia salah satu seniman teater yang karyanya banyak mengangkat isu tentang HAM, perlawanan terhadap kekerasan pada perempuan, serta kebebasan berpendapat dan berkumpul.

Namun, reputasi yang dibangunnya itu kini runtuh, ibarat rumah kartu yang tersapu angin, ambruk seketika. Sikap Ratna tentu sangat disayangkan. Sebagai seorang tokoh, Ratna tidak sepatutnya memproduksi cerita hoax yang bisa menimbulkan banyak implikasi. Apalagi, itu dilakukan di saat bangsa Indonesia sedang berdukacita karena adanya kejadian bencana alam yang merenggut ribuan jiwa di Sulawesi Tengah. Menciptakan kebohongan besar di saat-saat seperti ini menunjukkan minimnya simpati dan kepedulian atas situasi bangsa.

Kejadian ini tentu memberi banyak pelajaran berharga kepada siapa pun. Intinya, jangan pernah mencoba merekayasa sebuah cerita, sebab jika kebohongan atau hoax yang diproduksi tersebut terbongkar maka konsekuensi yang harus ditanggung pelaku tidak ringan. Terhadap Ratna, ancaman pidana kini menantinya. Polisi telah mengambil ancang-ancang untuk menjeratnya dengan KUHP karena telah menyampaikan kebohongan.

Bahkan, efek dari kebohongan tersebut berpotensi berantai lantaran sejumlah pihak telah ikut menyebarkannya melalui cuitan di media sosial. Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto, pihak-pihak yang telah menyebarkan informasi tersebut berpotensi pula dijerat pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Beberapa nama yang dilaporkan ke Bareskrim Polri karena tudingan pelanggaran UU ITE mulai calon presiden Prabowo Subianto hingga politikus Partai Gerindra Fadli Zon. Pihak pelapor di antaranya advokat Farhat Abbas, yang juga anggota Komunitas Pengacara Indonesia Pro Jokowi (Kopi Pojok).

Drama yang diciptakan Ratna menjadi lebih heboh lantaran berkaitan dengan kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Dia termasuk salah satu juru kampanye pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Namun, dalam merespons pengakuan Ratna, tampak ketidakhati-hatian oleh kubu Prabowo. Terlihat ada kesan terburu-buru untuk memanfaatkan isu penganiayaan Ratna ini demi keuntungan politik.

Sayangnya, semangat itu tidak diimbangi dengan upaya klarifikasi yang cukup. Tak pelak, ketika hoax Ratna terbongkar, itu menjadi bumerang dan dijadikan senjata oleh kubu lawan untuk melakukan serangan balik. Hingga tadi malam, lini masa media sosial masih diramaikan oleh perang pernyataan oleh kedua kubu yang berseberangan. Akhirnya, karena kasus ini situasi kampanye pilpres tampaknya akan terus menghangat bahkan memanas di waktu-waktu ke depan.

Saat ini penting untuk memastikan proses hukum terhadap kasus Ratna ini berjalan sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Pertama, ini untuk memberi efek jera agar kejadian yang sama tidak terulang. Ini menjadi peringatan untuk semua bahwa siapa pun yang membuat hoax memang sepatutnya diganjar dengan hukuman. Kedua, perlu memastikan kasus ini ditangani secara proporsional dan profesional oleh Polri.Kepolisian perlu bijak dan melihat secara jernih persoalan yang terjadi. Jangan sampai ada unsur politik yang memengaruhi sehingga proses hukum berjalan tidak objektif. Ini perlu dihindari karena bisa menimbulkan kegaduhan baru.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0899 seconds (0.1#10.140)