Manajemen Bencana
A
A
A
Bencana dan gempa bumi lalu disusul tsunami di Sulawesi Tengah membuat kita terhenyak. Bukan sekadar gempa bumi yang memang wilayah Indonesia adalah rawan gempa bumi (berada di patahan bumi), melainkan juga jumlah korban dan kerusakan yang masif memang sangat memprihatinkan. Apalagi sebelumnya, wilayah Lombok Utara di Nusa Tenggara Barat (NTB) juga dilanda bencana yang hampir sama. Bencana gempa bumi memang selalu mengintai Indonesia. Bencana di Sulawesi Tengah mengingatkan kita akan bencana terbesar dunia di abad ini, yaitu tsunami di Aceh akhir 2004. Belum lagi, gempa bumi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 2006 dan letusan Gunung Merapi di DIY dan Jawa Tengah pada 2010.
Wilayah Indonesia memang rawan bencana alam karena faktor geografisnya. Kondisi ini sudah disadari oleh pemerintah atau masyarakat kita. Dengan kondisi ini, bukan berarti wilayah geografis Indonesia tidak layak untuk dihuni. Justru dengan kondisi seperti saat ini, wilayah geografis Indonesia juga memberi keuntungan buat bangsa ini. Dengan mengetahui kondisi geografis ini, tentunya semua pihak terutama pemerintah harus bisa menjalankan manajemen bencana dengan baik. Dalam hal pencegahan dan penanganan, tentu harus dilakukan dengan manajemen yang benar. Dengan manajemen bencana yang benar, tujuannya adalah mengurangi risiko yang terjadi ketika bencana itu hadir lagi.
Indonesia telah mempunyai undang-undang untuk penanganan bencana, yaitu UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Secara regulasi atau aturan, Indonesia telah mempersiapkan dengan baik. Artinya, pemerintah juga sangat menyadari tentang wilayah geografis Indonesia yang rawan dengan bencana. Namun, mengapa sepertinya persoalan bencana selalu menjadi polemik atau bahkan bahan kritik kepada pemerintah? Ini terjadi karena manajemen bencana yang sudah diatur dalam UU No 24 Tahun 2007 belum berjalan dengan baik. Sederhananya, teorinya sudah ada, namun praktiknya belum bisa dilakukan dengan baik.
Dalam UU No 24 Tahun 2007 disebutkan manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut, dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. Ada tiga aspek jika mengacu pada definisi manajemen bencana di atas. Ketiga aspek tersebut yaitu pencegahan, penanganan saat bencana, dan penanganan pascabencana.
Lebih lanjut,tujuan manajemen bencana adalah untuk mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan lingkungan hidup, juga menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan korban. Tujuan lain adalah mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/pengungsian ke daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak huni dan aman. Selain itu, juga bertujuan mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/ transportasi, air minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena bencana. Tujuan manajemen bencana lain adalah mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut serta meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan.
Apakah manajemen bencana kita di tahan awal yaitu pencegahan berjalan cukup baik? Tentu tidak. Alat pendeteksi tsunami tidak berfungsi sejak 2012. Sudah enam tahun alat itu tidak berfungsi, padahal jika menilik kondisi geografis di Indonesia atau Sulawesi Tengah pada khususnya, tentu ini sangat berbahaya. Dampaknya, kita bisa lihat ketika gempa bumi disusul tsunami terjadi di Sulawesi Tengah akhir September lalu. Pencegahan yang lain adalah tentang kebijakan-kebijakan tentang bangunan gedung dan rumah yang belum menunjukkan cara untuk mencegah jatuhnya korban jiwa.Banyak bangunan gedung dan rumah yang justru rawan terhadap gempa bumi. Belum lagi tentang penanganan saat gempa. Ada pihak-pihak yang mencari korban, menangani pengungsi termasuk memberikan bantuan logistik sering tumpang tindih. Lalu, ketika aturan sudah sangat responsif dengan kondisi geografis Indonesia, kenapa dalam praktiknya belum? Semua pihak tentu harus berani mengubah diri bukan sekadar introspeksi diri atau hanya evaluasi di tataran lisan.
Wilayah Indonesia memang rawan bencana alam karena faktor geografisnya. Kondisi ini sudah disadari oleh pemerintah atau masyarakat kita. Dengan kondisi ini, bukan berarti wilayah geografis Indonesia tidak layak untuk dihuni. Justru dengan kondisi seperti saat ini, wilayah geografis Indonesia juga memberi keuntungan buat bangsa ini. Dengan mengetahui kondisi geografis ini, tentunya semua pihak terutama pemerintah harus bisa menjalankan manajemen bencana dengan baik. Dalam hal pencegahan dan penanganan, tentu harus dilakukan dengan manajemen yang benar. Dengan manajemen bencana yang benar, tujuannya adalah mengurangi risiko yang terjadi ketika bencana itu hadir lagi.
Indonesia telah mempunyai undang-undang untuk penanganan bencana, yaitu UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Secara regulasi atau aturan, Indonesia telah mempersiapkan dengan baik. Artinya, pemerintah juga sangat menyadari tentang wilayah geografis Indonesia yang rawan dengan bencana. Namun, mengapa sepertinya persoalan bencana selalu menjadi polemik atau bahkan bahan kritik kepada pemerintah? Ini terjadi karena manajemen bencana yang sudah diatur dalam UU No 24 Tahun 2007 belum berjalan dengan baik. Sederhananya, teorinya sudah ada, namun praktiknya belum bisa dilakukan dengan baik.
Dalam UU No 24 Tahun 2007 disebutkan manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut, dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. Ada tiga aspek jika mengacu pada definisi manajemen bencana di atas. Ketiga aspek tersebut yaitu pencegahan, penanganan saat bencana, dan penanganan pascabencana.
Lebih lanjut,tujuan manajemen bencana adalah untuk mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan lingkungan hidup, juga menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan korban. Tujuan lain adalah mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/pengungsian ke daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak huni dan aman. Selain itu, juga bertujuan mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/ transportasi, air minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena bencana. Tujuan manajemen bencana lain adalah mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut serta meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan.
Apakah manajemen bencana kita di tahan awal yaitu pencegahan berjalan cukup baik? Tentu tidak. Alat pendeteksi tsunami tidak berfungsi sejak 2012. Sudah enam tahun alat itu tidak berfungsi, padahal jika menilik kondisi geografis di Indonesia atau Sulawesi Tengah pada khususnya, tentu ini sangat berbahaya. Dampaknya, kita bisa lihat ketika gempa bumi disusul tsunami terjadi di Sulawesi Tengah akhir September lalu. Pencegahan yang lain adalah tentang kebijakan-kebijakan tentang bangunan gedung dan rumah yang belum menunjukkan cara untuk mencegah jatuhnya korban jiwa.Banyak bangunan gedung dan rumah yang justru rawan terhadap gempa bumi. Belum lagi tentang penanganan saat gempa. Ada pihak-pihak yang mencari korban, menangani pengungsi termasuk memberikan bantuan logistik sering tumpang tindih. Lalu, ketika aturan sudah sangat responsif dengan kondisi geografis Indonesia, kenapa dalam praktiknya belum? Semua pihak tentu harus berani mengubah diri bukan sekadar introspeksi diri atau hanya evaluasi di tataran lisan.
(pur)