Akuisisi Freeport Rampung, What’s Next ?

Selasa, 02 Oktober 2018 - 08:30 WIB
Akuisisi Freeport Rampung,...
Akuisisi Freeport Rampung, What’s Next ?
A A A
Muhammad Romli
Komite Manajemen Risiko BUMN

PADA Kamis (27/9/18) PT Inalum (persero)––sebuah holding BUMN Tambang––secara resmi telah melakukan penandatanganan terakhir dari serangkaian proses akuisisi terhadap PT Freeport Indonesia (PTFI), yakni sebuah perusahaan tambang emas raksasa asal AS yang memulai produksi komersial di Indonesia sejak 1972. Pascaakuisisi, komposisi saham Inalum pada PTFI meningkat signifikan dari 9,36% menjadi 51,23% (majority interest) dan mendilusi saham Freeport McMoran sebesar 41,64% di PTFI. Untuk nilai akuisisinya, Inalum akan membayar sebesar USD3,85 miliar (Rp56 triliun) pada November 2018.

Terlepas dari pro-kontra yang terjadi, akuisisi saham PTFI oleh Inalum sejatinya menjadi publikasi positif bagi dunia internasional bahwa pemerintah Indonesia dan BUMN-nya kini mempunyai power yang lebih kuat dan mampu membeli perusahaan-perusahaan global sekelas Freeport McMoran sekalipun. Momentum ini harus dijadikan milestone oleh pemerintah untuk terus mendorong BUMN agar semakin ekspansif dan menjadi pemain global.

Bagi pemerintah selaku pemilik Inalum, tentu visi-misi terbesar dalam akuisisi PTFI adalah pemerintah berharap agar Inalum bisa menjadi pemegang saham mayoritas sekaligus pengendali PTFI (majority and controlling interest). Pasalnya, dengan posisi Inalum sebagai pengendali PTFI, ini akan mempermudah tugas pemerintah dalam rangka mengoptimalkan value yang dihasilkan PTFI demi keadilan sosial dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia khususnya masyarakat Papua.

Kini, proses akuisisi PTFI telah rampung. Namun, guna mendukung niat mulia pemerintah yang ingin menjadikan Inalum sebagai pengendali PTFI, masih ada beberapa pekerjaan lagi yang perlu dilakukan pasca akuisisi ini.

Pengendali Perusahaan

Bagi sebuah korporasi, akuisisi atau pengambilalihan suatu perusahaan lain sejatinya merupakan sebuah bentuk corporate action yang lumrah dan wajar. Dalam tatanan best practice, ada tiga bentuk akuisisi yang biasa diterapkan yaitu (1) merger atau konsolidasi, (2) akuisisi saham, dan (3) akuisisi aset.

Dalam konteks akuisisi saham, ketika sebuah korporasi melakukan akuisisi saham perusahaan lain di atas 50%, biasanya didasari motif ingin menjadi pemegang saham mayoritas sekaligus pengendali pada perusahaan destinasi. Maksud pengendali di sini adalah mempunyai kekuasaan dalam penciptaan kebijakan sekaligus memiliki dominansi dalam proses bisnis dan operasional perusahaan. Ini bisa terjadi karena pemegang saham mayoritas memang mendapatkan hak lebih besar dalam penentuan pengurus perusahaan seperti direksi dan/atau komisaris yang kemudian akan menetapkan arah kebijakan dan mengatur jalannya operasional perusahaan.

Namun demikian, perlu dipahami bahwa tidak semua pemegang saham mayoritas secara otomatis menjadi pengendali pada perusahaan yang diakuisisi. Ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa pascaakuisisi, pengendali perusahaan justru berasal dari pemegang saham minoritas (minority interest) dan bukan dari pihak mayoritas. Ini merupakan suatu antitesis yang menjadi risiko strategis bagi perusahaan yang melakukan akuisisi (bidder).

Antitesis bisa terjadi karena beberapa hal seperti pemegang saham mayoritas keliru dalam memilih pengurus perusahaan. Boleh jadi, direksi dan/atau komisaris yang ditunjuk tidak didukung kecakapan leadership, kurang pengalaman manajerial, lemah kemampuan komunikasi, tidak mempunyai networking luas, atau karena faktor lain yang pada intinya menyebabkan pengurus dari pemegang saham mayoritas tidak mampu mengendalikan perusahaan.

Penyebab antitesis lainnya adalah kekuatan politik dan ekonomi serta jejaring pemegang saham minoritas secara agregat memang lebih kuat dibanding pihak mayoritas, sehingga meskipun porsi sahamnya lebih kecil pada level korporasi, namun pihak minoritas tetap mampu mengendalikan korporasi melalui jalur yang lain yaitu kekuatan finansial dan jaringan global yang dimilikinya di berbagai perusahaan multinasional. Terlebih, jika pihak minoritas tersebut juga memperoleh proteksi dari negara asalnya yang mempunyai kekuatan secara politik dan ekonomi.

Dalam konteks akuisisi PTFI, penulis melihat ada risiko terjadinya antithesis pascaakuisisi nantinya. Pasalnya, meskipun Inalum nanti menjadi pemegang saham mayoritas, pihak minoritas adalah Freeport McMoran yang notabene merupakan perusahaan raksasa dan sudah terbuka dari negara superpower dengan kemampuan teknologi, finansial, dan jaringan sangat kuat. Ini artinya, ada banyak kekuatan yang bisa digunakan Freeport McMoran untuk tetap mengendalikan PTFI meskipun menjadi minority interest.

Terlebih, Freeport McMoran juga sudah sangat paham akan proses bisnis PTFI karena telah melakukan kontrak dengan pemerintah Indonesia sejak 1967. Selain itu, Freeport McMoran juga akan mendapatkan dukungan dari negaranya karena sudah menjadi rahasia umum bahwa AS akan menggunakan kekuatan politik dan ekonominya untuk melindungi kepentingan setiap korporasinya di berbagai dunia termasuk Freeport McMoran ini.

Memperhatikan analisis di atas, upaya mitigasi yang perlu dilakukan adalah Inalum––dengan dukungan penuh pemerintah dan DPR––harus mempunyai bargaining power kuat dan bisa menggunakan haknya sebagai pemegang saham mayoritas untuk sekurangnya memperoleh posisi direktur utama dan/atau komisaris utama pada PTFI. Kemudian, pemerintah harus bisa menempatkan orang-orang yang tepat pada posisi strategis tersebut. Hal ini merupakan prasyarat agar pemerintah melalui Inalum bisa mengendalikan PTFI untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dengan mendapatkan posisi strategis dalam struktur pengurus PTFI tersebut, pemerintah selaku pemilik Inalum secara tidak langsung juga bisa melakukan pengendalian atas empat perusahaan besar yang menjadi anak usaha (subsidiary) PTFI sehingga akan memberikan manfaat lebih besar bagi perekonomian nasional.

Sebagai catatan terakhir, dalam konteks manajemen risiko, pemerintah selaku pemilik Inalum perlu merekomendasikan agar dilakukan review terhadap penerapan internal control, manajemen risiko dan GCG di PTFI. Termasuk review untuk melihat sejauh mana strategi mitigasi yang diterapkan pada setiap peristiwa risiko khususnya risiko operasional dan risiko bisnis yang notabene menjadi dua risiko terbesar PTFI. Perlu di-review juga apakah setiap proses bisnis di PTFI sudah melalui analisis risiko yang baik.

Semoga kerja keras dan keseriusan pemerintah untuk mendorong Inalum agar bisa mengendalikan PTFI bisa memberikan manfaat optimal bagi perekonomian dan masyarakat!
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0644 seconds (0.1#10.140)