Genjot Kinerja Ekspor, Kunci Atasi Defisit
A
A
A
Pemerintah tidak puas dengan jumlah nasabah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Pernyataan itu meluncur dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati ketika menghadiri perayaan Hari Jadi Ke-9 LPEI yang dirangkaikan dengan Seminar Nasional bertajuk “Peningkatan Ekspor Nasional dan Dukungan Pemangku Kebijakan” kemarin di Jakarta. Saat ini nasabah LPEI yang baru berjumlah 1.200 masih jauh dari harapan mantan petinggi Bank Dunia itu yang berharap nasabah bisa menembus angka jutaan.
Sebab, peningkatan nasabah yang signifikan diyakini dapat memacu kinerja ekspor, yang pada akhirnya dapat meminimalisasi defisit neraca perdagangan Indonesia. Untuk menahan laju angka defisit, pemerintah telah menggenjot pajak impor untuk sebanyak 1.147 komoditas. Menaikkan pajak impor sebenarnya bukan kebijakan ideal, lebih tepatnya kebijakan darurat agar kinerja neraca perdagangan tidak terbakar terus alias defisit. .Sebelumnya laporan bulanan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan nilai impor telah mengungguli nilai ekspor sepanjang periode Agustus 2018 sehingga tercetak defisit sebesar USD1,02 miliar. Rinciannya, nilai impor sebesar USD16,8 miliar sedang nilai ekspor sebesar USD15,82 miliar.
Nilai ekspor memang masih tumbuh, tetapi menjadi masalah sebab laju pertumbuhan nilai impor lebih tinggi. Meski defisit neraca perdagangan pada periode Agustus lebih kecil USD1,01 miliar dibandingkan Juli, namun tetap menjadi masalah. Posisi neraca perdagangan sepanjang periode Januari hingga Agustus 2018 tercatat defisit USD4,09 miliar.
Adapun data neraca perdagangan secara rinci yakni Januari defisit USD756 juta, Februari defisit USD52,9 juta, Maret surplus USD1,12 miliar, April defisit USD1,63 miliar, Mei defisit USD1,52 miliar, Juni surplus USD1,74 miliar, Juli defisit USD2,03 miliar, dan Agustus defisit USD1,02 miliar. Jadi, sepanjang 2018 neraca perdagangan baru mengalami surplus sebanyak dua kali.
Salah satu pemicu munculnya defisit berdasarkan data publikasi terbaru BPS ternyata disumbang oleh tingginya angka impor pada sektor minyak dan gas (migas). Sepanjang bulan lalu defisit dari migas tercatat sebesar USD1,6 miliar. Sebaliknya, nonmigas membukukan surplus sebesar USD630 juta.
Hal ini tidak terlepas dari dampak pelemahan nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan dolar telah menyulut kenaikan nilai transaksi migas. Dan, pemerintah memilih kebijakan untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Defisit neraca perdagangan memang menuntut pemerintah untuk terus mencari solusi demi mengubahnya menjadi surplus. Pasalnya, selain sebagai salah satu sumber yang berpengaruh pada pelemahan nilai kurs rupiah, juga dapat mengoreksi target pertumbuhan ekonomi yang sudah dipatok. Mengantisipasi sektor migas yang menjadi sumber defisit setidaknya pemerintah harus berfokus pada dua hal.Pertama, bagaimana meningkatkan produksi migas. Kedua, mempercepat pembangunan kilang BBM untuk menutupi kebutuhan di dalam negeri yang terus meningkat. Sementara itu, pihak bank sentral dalam mengamankan defisit neraca perdagangan, sebagaimana dibeberkan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo, berupaya menjaga aliran dana asing ke dalam negeri guna menjaga pasokan dolar AS untuk membiayai defisit. Satu di antara langkah-langkah konkret yang ditempuh BI adalah memastikan suku bunga acuan tetap kompetitif di antara negara-negara regional yang juga membutuhkan aliran modal asing. Saat ini posisi bunga acuan atau BI 7 Days Reverse Repo Rate bertengger di level 5,5%.
Apakah bank sentral kembali akan menaikkan suku bunga acuan? Jawabnya, tergantung situasi dan kondisi meski sejumlah negara terus menaikkan suku bunga acuan untuk menarik modal asing. Memang situasinya sulit diprediksi di tengah terus memanasnya perang dagang antara AS dan China. Dua hari lalu Pemerintah AS kembali menetapkan bea masuk 10% untuk produk asal China yang nilainya mencapai USD200 miliar.
Pemerintah China balik membalas dengan mengenakan bea masuk baru sekitar 5% hingga 10% untuk barang AS berupa daging, bahan kimia, hingga suku cadang mobil, yang nilainya tak kurang dari USD60 miliar. Sebenarnya, di balik perang itu terdapat peluang bagaimana menggenjot ekspor ke AS untuk sejumlah komoditas yang dipasok dari China selama ini. Mampukah kita menangkap peluang itu? Masalahnya di situ.
Sebab, peningkatan nasabah yang signifikan diyakini dapat memacu kinerja ekspor, yang pada akhirnya dapat meminimalisasi defisit neraca perdagangan Indonesia. Untuk menahan laju angka defisit, pemerintah telah menggenjot pajak impor untuk sebanyak 1.147 komoditas. Menaikkan pajak impor sebenarnya bukan kebijakan ideal, lebih tepatnya kebijakan darurat agar kinerja neraca perdagangan tidak terbakar terus alias defisit. .Sebelumnya laporan bulanan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan nilai impor telah mengungguli nilai ekspor sepanjang periode Agustus 2018 sehingga tercetak defisit sebesar USD1,02 miliar. Rinciannya, nilai impor sebesar USD16,8 miliar sedang nilai ekspor sebesar USD15,82 miliar.
Nilai ekspor memang masih tumbuh, tetapi menjadi masalah sebab laju pertumbuhan nilai impor lebih tinggi. Meski defisit neraca perdagangan pada periode Agustus lebih kecil USD1,01 miliar dibandingkan Juli, namun tetap menjadi masalah. Posisi neraca perdagangan sepanjang periode Januari hingga Agustus 2018 tercatat defisit USD4,09 miliar.
Adapun data neraca perdagangan secara rinci yakni Januari defisit USD756 juta, Februari defisit USD52,9 juta, Maret surplus USD1,12 miliar, April defisit USD1,63 miliar, Mei defisit USD1,52 miliar, Juni surplus USD1,74 miliar, Juli defisit USD2,03 miliar, dan Agustus defisit USD1,02 miliar. Jadi, sepanjang 2018 neraca perdagangan baru mengalami surplus sebanyak dua kali.
Salah satu pemicu munculnya defisit berdasarkan data publikasi terbaru BPS ternyata disumbang oleh tingginya angka impor pada sektor minyak dan gas (migas). Sepanjang bulan lalu defisit dari migas tercatat sebesar USD1,6 miliar. Sebaliknya, nonmigas membukukan surplus sebesar USD630 juta.
Hal ini tidak terlepas dari dampak pelemahan nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan dolar telah menyulut kenaikan nilai transaksi migas. Dan, pemerintah memilih kebijakan untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Defisit neraca perdagangan memang menuntut pemerintah untuk terus mencari solusi demi mengubahnya menjadi surplus. Pasalnya, selain sebagai salah satu sumber yang berpengaruh pada pelemahan nilai kurs rupiah, juga dapat mengoreksi target pertumbuhan ekonomi yang sudah dipatok. Mengantisipasi sektor migas yang menjadi sumber defisit setidaknya pemerintah harus berfokus pada dua hal.Pertama, bagaimana meningkatkan produksi migas. Kedua, mempercepat pembangunan kilang BBM untuk menutupi kebutuhan di dalam negeri yang terus meningkat. Sementara itu, pihak bank sentral dalam mengamankan defisit neraca perdagangan, sebagaimana dibeberkan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo, berupaya menjaga aliran dana asing ke dalam negeri guna menjaga pasokan dolar AS untuk membiayai defisit. Satu di antara langkah-langkah konkret yang ditempuh BI adalah memastikan suku bunga acuan tetap kompetitif di antara negara-negara regional yang juga membutuhkan aliran modal asing. Saat ini posisi bunga acuan atau BI 7 Days Reverse Repo Rate bertengger di level 5,5%.
Apakah bank sentral kembali akan menaikkan suku bunga acuan? Jawabnya, tergantung situasi dan kondisi meski sejumlah negara terus menaikkan suku bunga acuan untuk menarik modal asing. Memang situasinya sulit diprediksi di tengah terus memanasnya perang dagang antara AS dan China. Dua hari lalu Pemerintah AS kembali menetapkan bea masuk 10% untuk produk asal China yang nilainya mencapai USD200 miliar.
Pemerintah China balik membalas dengan mengenakan bea masuk baru sekitar 5% hingga 10% untuk barang AS berupa daging, bahan kimia, hingga suku cadang mobil, yang nilainya tak kurang dari USD60 miliar. Sebenarnya, di balik perang itu terdapat peluang bagaimana menggenjot ekspor ke AS untuk sejumlah komoditas yang dipasok dari China selama ini. Mampukah kita menangkap peluang itu? Masalahnya di situ.
(rhs)