Dilarang Pacaran di Taman

Senin, 24 September 2018 - 07:04 WIB
Dilarang Pacaran di...
Dilarang Pacaran di Taman
A A A
Ahmad Zainul Hamdi
Pengajar di Jurusan Studi Agama-agama
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya

DATANGLAH ke taman-taman Kota Surabaya. Anda tidak hanya akan menikmati suasana yang nyaman dan asri, tapi juga akan menemukan papan bertuliskan larangan berpacaran yang dipasang di beberapa sudutnya.

Pertama kali saya menemukan papan larangan itu saat saya bersama istri menikmati suasana malam tahun baru 2017 di Taman Pelangi di wilayah Surabaya Selatan. Ketika kaki melangkah memasuki jalan masuk taman, mata kami langsung tertumbuk pada paparan larangan pacaran yang dipasang persis di dekat jalan masuk taman.

Tentu saja, papan larangan itu sudah berada di sana jauh sebelumnya, dan jelas papan seperti itu tidak hanya terpasang di Taman Pelangi. Tentu saja, saya dan istri mantap melangkah masuk ke dalam taman sambil bergandengan tangan karena kami adalah suami istri, bukan muda-mudi yang sedang pacaran.

Sekalipun demikian, kami sedikit waswas, bagaimana seandainya petugas taman menangkap dan menginterogasi kami karena mungkin dia mengira kami sepasang kekasih yang sedang pacaran, yang karena tidak memiliki cukup uang untuk merayakan malam tahun baru di hotel sehingga memanfaatkan taman kota yang gratis dan sangat indah di malam hari.Kalaupun kami membela diri dengan menyatakan bahwa kami adalah suami istri, apa yang harus kami lakukan untuk membuktikannya?Tentu saja kami tidak membawa buku nikah. Jangankan buku nikah, tidak jarang KTP saya tidak berapa di dompet.Kalaupun pada akhirnya kami bisa membuktikan status pernikahan kami, saya membayangkan malam tahun baru kami akan hancur gara-gara urusan apakah kami sedang pacaran atau tidak.
Lama saya mengabaikan papan larangan itu sampai ada kabar heboh tentang larangan ngopi semeja laki-perempuan bukan muhrim di Bireuen Aceh. Pertanyaan yang segera muncul adalah pikiran macam apa yang berada di belakang kebijakan, jika bisa disebut sebagai kebijakan, tersebut?

Imajinasi macam apa yang mengeram dalam benak para pembuat kebijakan itu hingga muncuil larangan seperti itu? Apakah mereka membayangkan bahwa pacaran adalah laki dan perempuan yang jalan sambil bergandengan tangan, duduk-duduk sambil berciuman, atau bahkan mungkin lebih jauh lagi?

Pertanyaannya adalah, tidak adakah sepasang kekasih yang mungkin membuat janji bertemu di sebuah taman kota, kemudian duduk berdua, tanpa pegangan tangan, tanpa ciuman, hanya mengobrol hal-hal indah tentang cinta, mimpi masa depan, dan kehidupan? Apakah sepasang kekasih yang tengah memadu cinta seperti itu masuk dalam kategori pacaran yang dilarang sebagaimana tulisan di papan itu?

Kalau ada sepasang suami istri yang duduk di taman sambil berpelukan dan melakukan french kiss, apakah dilarang ataukah dibiarkan saja hanya karena mereka adalah suami istri? Bagaimana pula memperlakukan laki dan perempuan yang bukan suami istri, bukan juga sepasang kekasih, yang duduk berhimpitan layaknya sepasang kekasih?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikiran saya ketika menemukan papan larangan pacaran itu. Menurut saya, tanpa definisi yang jelas, papan larangan pacaran itu bisa menjadi bencana bagi siapa saja.

Di tangan penjaga taman yang moralis, papan itu akan mendorongnya untuk bertindak sebagai ‘polisi moral’ yang mengintai setiap laki dan perempuan yang masuk ke dalam taman kota. Bagi laki dan perempuan yang janji bertemu di taman akan selalu dihantui perasaan waswas akan tertuduh sedang berpacaran padahal mungkin saja mereka sedang memanfaatkan taman kota sebagai ruang publik untuk membicarakan sesuatu.

Ketika saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi pacar atau kekasih adalah “teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih”. Sedang berpacaran atau pacaran didefinisikan sebagai “bercintaan atau berkasih-kasihan”.

Definisi ini jelas-jelas tidak membantu apapun bagi petugas yang ingin menegakkan aturan yang tertulis di papan itu. Apa yang dimaksud dengan “bercintaan atau berkasih-kasihan”? Tidak ada panduan operasional sama sekali. Tidak perlu sampai duduk berdua di taman, di komunitas tertentu, berkirim pesan (dulu menggunakan media surat, sekarang mungkin pakai sms atau WA atau email) sudah dianggap sedang berpacaran.

Pada akhirnya, larangan pacaran di taman itu hanya akan menuai dua takdirnya. Pertama, tidak bisa ditegakkan karena tidak ada standar pasti tentang apa yang disebut sedang berpacaran. Adanya papan larangan atau tidak adanya tidak memiliki dampak apapun.

Atau kedua, menjadi pintu masuk bagi kesewenang-wenangan sipil karena upaya penegakannya sepenuhnya berangkat dari imajinasi dan preferensi moral petugas. Penjaga taman atau siapa-siapa saja akan mengejar setiap laki dan perempuan yang duduk berdua di taman kota seperti pengejaran para tukang sihir di Eropa abad Pertengahan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0608 seconds (0.1#10.140)