Pesan Harmoni Hijrah Nabi
A
A
A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
HIJRAH Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah itu unik dan menarik karena dilakukan tanpa kekerasan dan pertumpahan darah meskipun Nabi SAW dan para sahabatnya dimusuhi, menjadi korban ancaman, intimidasi, dan persekusi kaum kafir Quraisy yang menentang dakwah Islam.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa hijrah Nabi itu sarat dengan pesan damai dan hidup harmoni. Secara sosiologis, hijrah itu simbol mobilitas dan perubahan sosial karena hijrah memberikan pengalaman multikultural.
Misi hijrah adalah membangun umat dan bangsa berperadaban dan berkeadaban. Melalui hijrah, para sahabat diseru untuk memiliki kemampuan beradaptasi dan bersinergi dengan komunitas baru yang menjadi destinasi hijrah, warga masyarakat Yatsrib (Madinah).
Peristiwa hijrah Nabi bukanlah sekadar memenuhi instruksi Ilahi, tapi menjadi keharusan logis dan strategis bagi perubahan sosial kemanusiaan. Hijrah itu strategi jitu Nabi untuk penyelamatan dan aktualisasi visi Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin (agama kasih sayang bagi semesta raya). Kasih sayang Islam itu harus melimpah dan mendamaikan umat manusia tanpa perlu bersikap konfrontasi dengan para pelaku persekusi dan intimidasi dari pemimpin kafir Quraisy Mekkah.
Pesan damai dan hidup harmoni dalam hijrah profetik sangat nyata dan kontekstual. Ketika Nabi SAW menginstruksikan sebagian para sahabatnya berhijrah ke Habsyi (Etiopia), salah satu pertimbangan sosial kulturalnya adalah pemberian jaminan toleransi beragama dari umat Nasrani (Kristen) Etiopia untuk komunitas muslim yang dipimpin Ja’far bin Abi Thalib.
Raja Etiopia saat itu, Najasyi, dikenal sangat memahami nilai-nilai hidup harmoni dan penuh toleransi dalam Alkitab (Injil) sehingga secara terbuka bersedia menerima kehadiran muhajirin Mekkah karena sama-sama memiliki titik temu (common platform) dalam berteologi. Dengan kata lain, harmoni dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat diaktualisasi jika titik temu kesepahaman (kalimatun sawa’) didialogkan, bukan titik perbedaan yang dipertajam.
Titik temu kesepahaman teologis merupakan modal sosial hidup harmoni dan toleransi. Berbagai aksi persekusi, kriminalisasi, tindak kekerasan, terorisme, bahkan konflik militer dan perang “atas nama” agama sering kali mencuat ke permukaan karena penganut agama “gagal paham” terhadap pentingnya harmoni sehingga ideologi yang diyakininya adalah ideologi radikal, intoleran, kekerasan, dan tidak siap menerima perbedaan pemikiran keagamaan.
Doktrin agama yang dipahami dan dikonstruksi secara radikal itu lalu direduksi menjadi dasar justifikasi perilaku disharmoni. Padahal agama hadir, antara lain, untuk mewujudkan hidup harmoni, penuh toleransi, bersinergi, berkasih sayang, bersaudara, dan bersatu dalam rumah besar kebangsaan dan keumatan.
Agama bukanlah sekadar kumpulan dogma dan doktrin normatif nirpraksis sosial. Agama (Islam) hadir untuk membumikan pesan harmoni, baik dengan sesama maupun dengan alam semesta.
Menurut Robert N Bellah (1997), agama merupakan sistem holistis integratif yang berfungsi sebagai pemersatu pengikutnya dalam komunitas moral yang mengemban misi suci: hidup harmoni. Komunitas moral ini diharapkan bisa membentuk karakter positif dan integritas umat beragama sehingga membuahkan kesalehan sosial, kesantunan kultural, keadaban politik, dan keluhuran moral.
Ketika berdakwah ke Kota Thaif, Nabi SAW juga mengalami aksi persekusi sebagian penduduk Thaif dengan dilempari batu sehingga menyebabkan beliau terluka. Saat itu Nabi SAW tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Bahkan ketika ditawari malaikat Jibril agar warga Thaif yang mempersekusinya itu diazab dengan dijatuhi Gunung Thaif, Nabi SAW menolak keras.
Bagi Nabi, harmoni Islam itu merupakan kunci kedamaian dan kerukunan hidup bersama. Sebab, aksi kekerasan dan persekusi bukanlah solusi. Sebaliknya Nabi SAW justru mendoakan mereka: “Ya Allah, berilah mereka petunjuk jalan kebenaran. Mereka berbuat kasar dan intoleran itu karena ketidaktahuan mereka.”
Jalan damai, harmoni, dan antipersekusi Nabi SAW tersebut menumbuhkan benih-benih kearifan dan kerendah-hatian dalam spektrum kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pesan harmoni dan toleransi yang dipetik dari hijrah Nabi mustahil dapat diaktualisasi tanpa disertai kesadaran kebangsaan dan keumatan bahwa hidup dalam keberbedaan bersama komunitas lain itu harus bisa menerima kehadiran dan keragaman sosial kultural.
Kesadaran multikulturalisme sejatinya merupakan modal sosial untuk membangun jembatan dan sinergi multikultural. Oleh karena itu, menurut James A Bank (2005), pendidikan multikultural berorientasi pada afirmasi koeksistensi dan apresiasi terhadap keragaman etnis, sosial budaya, agama, dan sebagainya dengan sikap tepo seliro, harmoni, dan toleransi; tidak merasa benar sendiri dan menghakimi pihak lain sebagai salah dengan subjektivitas sikap dan pandangannya.
Apresiasi terhadap koeksistensi komunitas lain pernah diteladankan Nabi SAW ketika melanjutkan perjalanan hijrah setelah transit di Gua Tsur yang berlokasi sekitar 7 km di selatan Mekkah. Saat melanjutkan perjalanan hijrah dari tempat transit ke Quba, desa dekat Yatsrib (Madinah), Nabi SAW meneladankan aksi kolaborasi dan toleransinya dengan menggunakan jasa profesional seorang Yahudi, Abdullah ibn Uraiqit al-Laitsi, sebagai pemandu jalan menuju Madinah.
Fakta ini mengandung pesan harmoni bahwa kolaborasi dan sinergi saling menguntungkan, meskipun berbeda keyakinan dan agama, merupakan seruan harmoni dan toleransi yang meniscayakan hidup damai tanpa konfrontasi, persekusi, dan intimidasi.
Ketika sampai di Madinah, Nabi SAW juga membuat traktat dan kontrak sosial, Mitsaq al-Madinah, bersama komunitas Yahudi dan Nasrani. Kontrak sosial dalam masyarakat Madinah yang plural ini sangat sarat dengan pesan harmoni dan toleransi. Dalam traktat itu, antara lain, disebutkan bahwa semua pemeluk agama Yahudi, Nasrani, dan Islam diberikan kebebasan dalam menjalankan kebebasan beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing, dengan kewajiban kolektif menjaga keamanan, persatuan, dan keutuhan Kota Madinah dari serangan pihak lain.
Jadi, pesan harmoni dan toleransi yang dibangun Nabi SAW melalui hijrah multidimensi itu merupakan modal sosial yang sangat strategis dalam mewujudkan peradaban yang bersendikan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Teladan hidup harmoni dan toleransi dalam hijrah Nabi tersebut sungguh sangat penting diaktualisasi dalam kehidupan kebangsaan dan keumatan dewasa ini. Karena sebagian warga bangsa ini terkadang merasa benar sendiri, gemar mengintimidasi pihak yang lain yang tidak sejalan dengan keyakinannya, bahkan memaksakan kehendaknya dengan sikap intoleran meskipun berkedok dan berlindung pada slogan paling Pancasila.
Pesan harmoni, hidup rukun dan damai, bisa menerima perbedaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara diharapkan dapat membumi di Nusantara ini. Apabila bila warga bangsa ini memiliki komitmen kuat untuk berhijrah dari mindset eksklusivitas menuju inklusivitas, keterbukaan, dan kearifan nasional.
Jadi, pesan harmoni dan toleransi dalam hijrah Nabi SAW itu idealnya menghadirkan peradaban damai, nirpersekusi, zero kekerasan dan ketidakadilan atas nama apa pun karena hijrah itu bukan untuk menebar kebencian, intimidasi, persekusi, dan konfrontasi, tetapi untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan penuh toleransi. Pesan harmoni dalam hijrah Nabi itu esensinya adalah membumikan Islam sebagai rahmat bagi semua.
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
HIJRAH Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah itu unik dan menarik karena dilakukan tanpa kekerasan dan pertumpahan darah meskipun Nabi SAW dan para sahabatnya dimusuhi, menjadi korban ancaman, intimidasi, dan persekusi kaum kafir Quraisy yang menentang dakwah Islam.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa hijrah Nabi itu sarat dengan pesan damai dan hidup harmoni. Secara sosiologis, hijrah itu simbol mobilitas dan perubahan sosial karena hijrah memberikan pengalaman multikultural.
Misi hijrah adalah membangun umat dan bangsa berperadaban dan berkeadaban. Melalui hijrah, para sahabat diseru untuk memiliki kemampuan beradaptasi dan bersinergi dengan komunitas baru yang menjadi destinasi hijrah, warga masyarakat Yatsrib (Madinah).
Peristiwa hijrah Nabi bukanlah sekadar memenuhi instruksi Ilahi, tapi menjadi keharusan logis dan strategis bagi perubahan sosial kemanusiaan. Hijrah itu strategi jitu Nabi untuk penyelamatan dan aktualisasi visi Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin (agama kasih sayang bagi semesta raya). Kasih sayang Islam itu harus melimpah dan mendamaikan umat manusia tanpa perlu bersikap konfrontasi dengan para pelaku persekusi dan intimidasi dari pemimpin kafir Quraisy Mekkah.
Pesan damai dan hidup harmoni dalam hijrah profetik sangat nyata dan kontekstual. Ketika Nabi SAW menginstruksikan sebagian para sahabatnya berhijrah ke Habsyi (Etiopia), salah satu pertimbangan sosial kulturalnya adalah pemberian jaminan toleransi beragama dari umat Nasrani (Kristen) Etiopia untuk komunitas muslim yang dipimpin Ja’far bin Abi Thalib.
Raja Etiopia saat itu, Najasyi, dikenal sangat memahami nilai-nilai hidup harmoni dan penuh toleransi dalam Alkitab (Injil) sehingga secara terbuka bersedia menerima kehadiran muhajirin Mekkah karena sama-sama memiliki titik temu (common platform) dalam berteologi. Dengan kata lain, harmoni dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat diaktualisasi jika titik temu kesepahaman (kalimatun sawa’) didialogkan, bukan titik perbedaan yang dipertajam.
Titik temu kesepahaman teologis merupakan modal sosial hidup harmoni dan toleransi. Berbagai aksi persekusi, kriminalisasi, tindak kekerasan, terorisme, bahkan konflik militer dan perang “atas nama” agama sering kali mencuat ke permukaan karena penganut agama “gagal paham” terhadap pentingnya harmoni sehingga ideologi yang diyakininya adalah ideologi radikal, intoleran, kekerasan, dan tidak siap menerima perbedaan pemikiran keagamaan.
Doktrin agama yang dipahami dan dikonstruksi secara radikal itu lalu direduksi menjadi dasar justifikasi perilaku disharmoni. Padahal agama hadir, antara lain, untuk mewujudkan hidup harmoni, penuh toleransi, bersinergi, berkasih sayang, bersaudara, dan bersatu dalam rumah besar kebangsaan dan keumatan.
Agama bukanlah sekadar kumpulan dogma dan doktrin normatif nirpraksis sosial. Agama (Islam) hadir untuk membumikan pesan harmoni, baik dengan sesama maupun dengan alam semesta.
Menurut Robert N Bellah (1997), agama merupakan sistem holistis integratif yang berfungsi sebagai pemersatu pengikutnya dalam komunitas moral yang mengemban misi suci: hidup harmoni. Komunitas moral ini diharapkan bisa membentuk karakter positif dan integritas umat beragama sehingga membuahkan kesalehan sosial, kesantunan kultural, keadaban politik, dan keluhuran moral.
Ketika berdakwah ke Kota Thaif, Nabi SAW juga mengalami aksi persekusi sebagian penduduk Thaif dengan dilempari batu sehingga menyebabkan beliau terluka. Saat itu Nabi SAW tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Bahkan ketika ditawari malaikat Jibril agar warga Thaif yang mempersekusinya itu diazab dengan dijatuhi Gunung Thaif, Nabi SAW menolak keras.
Bagi Nabi, harmoni Islam itu merupakan kunci kedamaian dan kerukunan hidup bersama. Sebab, aksi kekerasan dan persekusi bukanlah solusi. Sebaliknya Nabi SAW justru mendoakan mereka: “Ya Allah, berilah mereka petunjuk jalan kebenaran. Mereka berbuat kasar dan intoleran itu karena ketidaktahuan mereka.”
Jalan damai, harmoni, dan antipersekusi Nabi SAW tersebut menumbuhkan benih-benih kearifan dan kerendah-hatian dalam spektrum kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pesan harmoni dan toleransi yang dipetik dari hijrah Nabi mustahil dapat diaktualisasi tanpa disertai kesadaran kebangsaan dan keumatan bahwa hidup dalam keberbedaan bersama komunitas lain itu harus bisa menerima kehadiran dan keragaman sosial kultural.
Kesadaran multikulturalisme sejatinya merupakan modal sosial untuk membangun jembatan dan sinergi multikultural. Oleh karena itu, menurut James A Bank (2005), pendidikan multikultural berorientasi pada afirmasi koeksistensi dan apresiasi terhadap keragaman etnis, sosial budaya, agama, dan sebagainya dengan sikap tepo seliro, harmoni, dan toleransi; tidak merasa benar sendiri dan menghakimi pihak lain sebagai salah dengan subjektivitas sikap dan pandangannya.
Apresiasi terhadap koeksistensi komunitas lain pernah diteladankan Nabi SAW ketika melanjutkan perjalanan hijrah setelah transit di Gua Tsur yang berlokasi sekitar 7 km di selatan Mekkah. Saat melanjutkan perjalanan hijrah dari tempat transit ke Quba, desa dekat Yatsrib (Madinah), Nabi SAW meneladankan aksi kolaborasi dan toleransinya dengan menggunakan jasa profesional seorang Yahudi, Abdullah ibn Uraiqit al-Laitsi, sebagai pemandu jalan menuju Madinah.
Fakta ini mengandung pesan harmoni bahwa kolaborasi dan sinergi saling menguntungkan, meskipun berbeda keyakinan dan agama, merupakan seruan harmoni dan toleransi yang meniscayakan hidup damai tanpa konfrontasi, persekusi, dan intimidasi.
Ketika sampai di Madinah, Nabi SAW juga membuat traktat dan kontrak sosial, Mitsaq al-Madinah, bersama komunitas Yahudi dan Nasrani. Kontrak sosial dalam masyarakat Madinah yang plural ini sangat sarat dengan pesan harmoni dan toleransi. Dalam traktat itu, antara lain, disebutkan bahwa semua pemeluk agama Yahudi, Nasrani, dan Islam diberikan kebebasan dalam menjalankan kebebasan beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing, dengan kewajiban kolektif menjaga keamanan, persatuan, dan keutuhan Kota Madinah dari serangan pihak lain.
Jadi, pesan harmoni dan toleransi yang dibangun Nabi SAW melalui hijrah multidimensi itu merupakan modal sosial yang sangat strategis dalam mewujudkan peradaban yang bersendikan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Teladan hidup harmoni dan toleransi dalam hijrah Nabi tersebut sungguh sangat penting diaktualisasi dalam kehidupan kebangsaan dan keumatan dewasa ini. Karena sebagian warga bangsa ini terkadang merasa benar sendiri, gemar mengintimidasi pihak yang lain yang tidak sejalan dengan keyakinannya, bahkan memaksakan kehendaknya dengan sikap intoleran meskipun berkedok dan berlindung pada slogan paling Pancasila.
Pesan harmoni, hidup rukun dan damai, bisa menerima perbedaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara diharapkan dapat membumi di Nusantara ini. Apabila bila warga bangsa ini memiliki komitmen kuat untuk berhijrah dari mindset eksklusivitas menuju inklusivitas, keterbukaan, dan kearifan nasional.
Jadi, pesan harmoni dan toleransi dalam hijrah Nabi SAW itu idealnya menghadirkan peradaban damai, nirpersekusi, zero kekerasan dan ketidakadilan atas nama apa pun karena hijrah itu bukan untuk menebar kebencian, intimidasi, persekusi, dan konfrontasi, tetapi untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan penuh toleransi. Pesan harmoni dalam hijrah Nabi itu esensinya adalah membumikan Islam sebagai rahmat bagi semua.
(poe)