Polemik PKPU, MA Seharusnya Lakukan Terobosan Hukum
A
A
A
JAKARTA - Perseteruan dua penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) terkait pelarangan eks napi korupsi menjadi calon legislatif (caleg) hingga kini tak kunjung selesai. Setidaknya sudah ada 34 gugatan pencalonan mantan napi korupsi yang dikabulkan Bawaslu daerah. Banyaknya gugatan yang dikabulkan ini membuat polemik pencalonan terus bergulir.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) Titi Anggraeni berpendapat, kekhususan pada PKPU ini karena rentang waktu yang disediakan oleh Pasal 76 ayat (3) UU Pemilu untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan KPU 30 hari pasca diundangkan tidak lama.
Bisa dibayangkan ketika Undang-Undang memberi ruang selama 30 hari kepada MA untuk memutus uji materi PKPU sejak permohonan diajukan ke MA, sementara saat ini MA menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sedang MK masih berada dalam jadwal penyelesaian sengketa Pilkada Serentak 2018.
"Saya khawatir majelis hakim nanti memutuskan permohonan itu berdasarkan alasan kadaluarsa alias waktunya sudah lewat," keluhnya.
Hal senada dikatakan Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas Charles Simabura yang menilai, Pasal 55 UU Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan 'Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi' yang dijadikan dasar MA tidak memeriksa JR PKPU Pencalonan itu tidaklah tepat. Sebaba bila 30 hari sejak PKPU diundangkan, maka dikhawatirkan akan kadaluarsa.
Ia memandang, MA seharusnya melakukan terobosan hukum, sebab PKPU yang sedang dilakukan JR berbeda dengan UU Pemilu yang sedang diuji di MK. Di MK yang sedang diuji itu UU Pemilu terkait Presidential Threshold dan syarat wakil presiden boleh mencalonkan kembali setelah dua periode yang jauh dari substansi PKPU Pencalonan.
"PKPU Pencalonan itu lex specialis, sehingga harusnya MA memprtimbangkan untuk mengujinya terlebih dahulu," pungkasnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) Titi Anggraeni berpendapat, kekhususan pada PKPU ini karena rentang waktu yang disediakan oleh Pasal 76 ayat (3) UU Pemilu untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan KPU 30 hari pasca diundangkan tidak lama.
Bisa dibayangkan ketika Undang-Undang memberi ruang selama 30 hari kepada MA untuk memutus uji materi PKPU sejak permohonan diajukan ke MA, sementara saat ini MA menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sedang MK masih berada dalam jadwal penyelesaian sengketa Pilkada Serentak 2018.
"Saya khawatir majelis hakim nanti memutuskan permohonan itu berdasarkan alasan kadaluarsa alias waktunya sudah lewat," keluhnya.
Hal senada dikatakan Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas Charles Simabura yang menilai, Pasal 55 UU Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan 'Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi' yang dijadikan dasar MA tidak memeriksa JR PKPU Pencalonan itu tidaklah tepat. Sebaba bila 30 hari sejak PKPU diundangkan, maka dikhawatirkan akan kadaluarsa.
Ia memandang, MA seharusnya melakukan terobosan hukum, sebab PKPU yang sedang dilakukan JR berbeda dengan UU Pemilu yang sedang diuji di MK. Di MK yang sedang diuji itu UU Pemilu terkait Presidential Threshold dan syarat wakil presiden boleh mencalonkan kembali setelah dua periode yang jauh dari substansi PKPU Pencalonan.
"PKPU Pencalonan itu lex specialis, sehingga harusnya MA memprtimbangkan untuk mengujinya terlebih dahulu," pungkasnya.
(pur)