Kekerasan Pelajar
A
A
A
Kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar terutama di kawasan Jabodetabek memang bukan hal baru. Namun, fenomena ini terus berulang seperti tanpa solusi. Lebih memprihatinkan lagi, kekerasan yang melibatkan pemuda usia remaja tersebut kini semakin sadis.
Nyawa seperti tidak ada harganya. Sudah banyak nyawa para pelajar melayang sia-sia. Setidaknya dalam seminggu terakhir ini ada dua kekerasan pelajar yang menimbulkan korban jiwa. Pada Sabtu (1/9/2018) dini hari, misalnya, Ari Haryanto (16), dikeroyok puluhan remaja hingga meregang nyawa. Ari meninggal setelah hampir sekujur tubuhnya luka-luka akibat sabetan senjata tajam. Para pelakunya hampir semuanya pelajar SMA. Polisi sudah menangkap 11 pelaku beserta barang bukti berupa berbagai macam senjata tajam. Sembilan pelaku lainnya yang juga remaja masih diburu.
Beberapa hari sebelumnya, terjadi tawuran melibatkan pelajar SMK Pijar Alam dan SMK Karya Bahana Mandiri, tepatnya di Jalan Raya Sumur Batu, Bantargebang di Kota Bekasi, Jawa Barat. Akibatnya, seorang pelajar SMK Karya Bahana Mandiri, IP, tewas dan dua pelajar lainnya mengalami luka berat. Lima pelaku yang semuanya pelajar ditangkap. Barang bukti yang diamankan juga bikin merinding, yaitu lima buah celurit, satu buah stik golf, dan lima ponsel. Apakah mereka layak disebut pelajar?
Terkadang kita tidak habis pikir bagaimana para pelajar kita terlibat kekerasan dengan mempersenjatai diri dengan senjata tajam yang mematikan. Apa yang terjadi di atas sudah lagi bukan tergolong kenakalan remaja biasa. Mereka sudah melakukan tindakan kriminal sadis yang harus ditindak tegas secara hukum, meski secara umur mereka masih tergolong belum dewasa. Intinya, adalah dua peristiwa kekerasan remaja di atas merupakan contoh nyata betapa kejadian seperti ini sudah sangat memprihatinkan. Belum lagi maraknya kekerasan geng motor yang kebanyakan juga beranggotakan para remaja atau pelajar.
Apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa ini? Kalau remajanya saja sudah bertindak melewati batas seperti itu, bagaimana masa depan generasi penerus bangsa ini? Pertanyaan-pertanyaan di atas memang memerlukan solusi segera, yakni solusi komprehensif yang bisa menghentikan secara permanen kekerasan yang kini seolah menjadi tren di kalangan para remaja atau pelajar.
Kita tak bisa hanya mengharapkan penyelesaian dari aparat keamanan untuk mengatasi berbagai kasus kekerasan pelajar yang akhir-akhir makin marak terjadi. Selain jumlahnya terbatas, penyelesaian reaktif melalui aparat hukum juga tak bisa secara komprehensif menghentikan kekerasan remaja.
Penyelesaian kasus kekerasan remaja membutuhkan kerja sama banyak kalangan di masyarakat. Mulai pendidikan dan pengawasan keluarga, lingkungan sekitar hingga lingkungan sekolah. Karena kalau kita mau merunut penyebab munculnya kekerasan remaja, tak bisa dilepaskan dari peran penting keluarga, lingkungan sekitarnya, dan sekolah. Keluarga bisa saja menjadi salah satu penyumbang terbesar munculnya kekerasan remaja. Misalnya kurangnya peran orang tua dalam mengenalkan nilai-nilai moral dan agama kepada anak.
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga juga bisa memicu anak menjadi beringas. Kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak baik aktivitas di lingkungan sekitar maupun sekolah juga memiliki peran besar dalam membentuk karakter anak. Tentu ada banyak faktor lain yang juga ikut berkontribusi mengapa remaja-remaja saat ini menjadi lebih mudah marah. Tayangan di televisi maupun muatan konten kekerasan di media sosial yang banyak membentuk karakter remaja.
Mari kita bersama-sama menyelamatkan para remaja, generasi penerus bangsa ini. Sudah saatnya para elite juga memberikan teladan yang baik, tidak sibuk saling “bertengkar”. Para remaja kita membutuhkan perhatian lebih untuk bisa menjadi generasi hebat. Ingat, masa depan bangsa ini ada di tangan mereka. Tidak ada yang lebih penting selain mempersiapkan pendidikan dan akhlak mereka demi kemajuan dan kejayaan Indonesia.
Nyawa seperti tidak ada harganya. Sudah banyak nyawa para pelajar melayang sia-sia. Setidaknya dalam seminggu terakhir ini ada dua kekerasan pelajar yang menimbulkan korban jiwa. Pada Sabtu (1/9/2018) dini hari, misalnya, Ari Haryanto (16), dikeroyok puluhan remaja hingga meregang nyawa. Ari meninggal setelah hampir sekujur tubuhnya luka-luka akibat sabetan senjata tajam. Para pelakunya hampir semuanya pelajar SMA. Polisi sudah menangkap 11 pelaku beserta barang bukti berupa berbagai macam senjata tajam. Sembilan pelaku lainnya yang juga remaja masih diburu.
Beberapa hari sebelumnya, terjadi tawuran melibatkan pelajar SMK Pijar Alam dan SMK Karya Bahana Mandiri, tepatnya di Jalan Raya Sumur Batu, Bantargebang di Kota Bekasi, Jawa Barat. Akibatnya, seorang pelajar SMK Karya Bahana Mandiri, IP, tewas dan dua pelajar lainnya mengalami luka berat. Lima pelaku yang semuanya pelajar ditangkap. Barang bukti yang diamankan juga bikin merinding, yaitu lima buah celurit, satu buah stik golf, dan lima ponsel. Apakah mereka layak disebut pelajar?
Terkadang kita tidak habis pikir bagaimana para pelajar kita terlibat kekerasan dengan mempersenjatai diri dengan senjata tajam yang mematikan. Apa yang terjadi di atas sudah lagi bukan tergolong kenakalan remaja biasa. Mereka sudah melakukan tindakan kriminal sadis yang harus ditindak tegas secara hukum, meski secara umur mereka masih tergolong belum dewasa. Intinya, adalah dua peristiwa kekerasan remaja di atas merupakan contoh nyata betapa kejadian seperti ini sudah sangat memprihatinkan. Belum lagi maraknya kekerasan geng motor yang kebanyakan juga beranggotakan para remaja atau pelajar.
Apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa ini? Kalau remajanya saja sudah bertindak melewati batas seperti itu, bagaimana masa depan generasi penerus bangsa ini? Pertanyaan-pertanyaan di atas memang memerlukan solusi segera, yakni solusi komprehensif yang bisa menghentikan secara permanen kekerasan yang kini seolah menjadi tren di kalangan para remaja atau pelajar.
Kita tak bisa hanya mengharapkan penyelesaian dari aparat keamanan untuk mengatasi berbagai kasus kekerasan pelajar yang akhir-akhir makin marak terjadi. Selain jumlahnya terbatas, penyelesaian reaktif melalui aparat hukum juga tak bisa secara komprehensif menghentikan kekerasan remaja.
Penyelesaian kasus kekerasan remaja membutuhkan kerja sama banyak kalangan di masyarakat. Mulai pendidikan dan pengawasan keluarga, lingkungan sekitar hingga lingkungan sekolah. Karena kalau kita mau merunut penyebab munculnya kekerasan remaja, tak bisa dilepaskan dari peran penting keluarga, lingkungan sekitarnya, dan sekolah. Keluarga bisa saja menjadi salah satu penyumbang terbesar munculnya kekerasan remaja. Misalnya kurangnya peran orang tua dalam mengenalkan nilai-nilai moral dan agama kepada anak.
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga juga bisa memicu anak menjadi beringas. Kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak baik aktivitas di lingkungan sekitar maupun sekolah juga memiliki peran besar dalam membentuk karakter anak. Tentu ada banyak faktor lain yang juga ikut berkontribusi mengapa remaja-remaja saat ini menjadi lebih mudah marah. Tayangan di televisi maupun muatan konten kekerasan di media sosial yang banyak membentuk karakter remaja.
Mari kita bersama-sama menyelamatkan para remaja, generasi penerus bangsa ini. Sudah saatnya para elite juga memberikan teladan yang baik, tidak sibuk saling “bertengkar”. Para remaja kita membutuhkan perhatian lebih untuk bisa menjadi generasi hebat. Ingat, masa depan bangsa ini ada di tangan mereka. Tidak ada yang lebih penting selain mempersiapkan pendidikan dan akhlak mereka demi kemajuan dan kejayaan Indonesia.
(rhs)