Problem Serius Putusan Bawaslu

Selasa, 04 September 2018 - 08:30 WIB
Problem Serius Putusan...
Problem Serius Putusan Bawaslu
A A A
Ali Rido
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti

PUTUSAN Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang meloloskan sejumlah bakal calon legislatif (caleg) mantan narapidana koruptor menjadi babak lanjutan atas polemik Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Bagi sang bakal caleg eks koruptor, putusan Bawaslu tentu bak angin surga karena peluang untuk duduk sebagai anggota dewan terbuka lebar. Bahkan, bisa jadi putusan Bawaslu sangat tepat dan telah koheren dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hanya, langkah Bawaslu yang meloloskan caleg eks koruptor sesungguhnya mengandung titik persoalan yang dapat berujung pada buruknya praktik ketatanegaraan maupun penyelenggaraan pemilu.

Persoalan Serius
Dari awal wacana hingga ditetapkan PKPU larangan eks koruptor menjadi caleg memang terus menimbulkan perdebatan. Tidak sedikit kelompok yang mendukung, namun banyak pula yang menolaknya. Sungguh pun dari segi substansi PKPU masih menimbulkan perdebatan, namun dengan lolosnya PKPU dari “screening” Kemenkumham dan telah diundangkan, maka suka tidak suka harus dilaksanakan sampai ada lembaga yang berwenang membatalkannya. Dalam konstruksi ketatanegaraan, kewenangan membatalkan aturan di bawah undang-undang merupakan domain Mahkamah Agung (MA). Tanpa ada putusan pembatalan dari MA, maka suatu aturan-termasuk PKPU- akan terus berlaku dan wajib dilaksanakan.

Adanya putusan Bawaslu yang memberikan jalan lapang kepada eks koruptor untuk mengundi nasib menjadi legislatif sama halnya telah menganulir ketentuan dalam PKPU. Hal itu tentu tidaklah tepat karena tugas Bawaslu bukan untuk menilai sah dan tidaknya sebuah aturan yang dikeluarkan oleh sebuah komisi negara. Terlebih jika melihat Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, kedudukan PKPU diakui sebagai bagian dari hierarki peraturan­ perundang-undangan sehingga yang berhak menilainya adalah MA.

Metamorfosa Bawaslu layaknya MA tentu dapat memperburuk praktik bernegara yang telah didesain secara apik pasca­reformasi. Preseden Bawaslu tersebut menandakan patron bernegara yang didasarkan konstitusi seolah hanya menjadi ilusi sehingga potensial dicontoh secara laten oleh lembaga negara lainnya. Putusan Bawaslu mengesankan ada praktik saling menegasikan kebijakan antar­sesama lembaga negara. Karena itu, budaya saling menegasikan kebijakan tanpa payung konstitusional itu dapat mengancam konsolidasi demokrasi yang sedang dibangun oleh bangsa ini.

Problem lanjutan yang potensial timbul ialah seandainya putusan MA membenarkan PKPU, maka perubahan daftar caleg akan kembali berubah dari yang telah ditetapkan oleh KPU. Hal itu tentu akan mengganggu tahapan-tahapan dalam pemilu. Akan lebih parah dan kritis jika ternyata MA memutus pengujian PKPU itu pada saat menjelang pemilu serentak dilaksanakan. Potensi kekacauan (chaos) tidak dapat dihindarkan. Asumsi itu tentu tidak berlebihan karena jika melihat proses terbaru pengujian PKPU saat ini masih dihentikan sementara waktu selagi menunggu proses judicial review UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

Tekstualitas Hukum
Penegasan Bawaslu bahwa PKPU kontradiktif dengan UU Pemilu mencerminkan sikap lembaga ini dalam melihat hukum terbatas pada isi undang-undang. Padahal, dalam terminologi bernegara modern yang berdasarkan atas hukum seyogianya senantiasa menyandingkan antara teks dan konteks regulasi secara beriringan. Konteks sekarang korupsi merupakan musuh bersama sehingga wajib diperangi. Karena itu, sepantasnya pula Bawaslu dalam melihat PKPU dalam kaitannya dengan eks napi koruptor menggunakan pertimbangan akal sehat, moral, dan integritas.

Terlebih, tugas Bawaslu dalam pengawasan ialah untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas. Dalam spektrum itulah seharusnya Bawaslu berperan, bukan malah sebaliknya. Dapat dikatakan pula seandainya terdapat regulasi yang tidak eksplisit menyebut larangan eks koruptor nyaleg, namun semangatnya untuk mewujudkan tatanan bernegara yang baik dan sejalan dengan konstitusi, maka harus dijadikan pertimbangan.

Di samping itu, UU Pemilu yang tidak eksplisit melarang-tidaknya eks koruptor menjadi caleg sesungguhnya memberikan ruang tafsir bagi KPU dalam menentukan syarat seorang menjadi caleg. Karena itu, PKPU tentang eks napi koruptor merupakan buah tafsir atas UU Pemilu sehingga dapat dibenarkan. Terlebih korupsi di negara ini telanjur sistemik sehingga diperlukan berbagai alat pencegahnya. Maka itu, kehadiran PKPU eks napi koruptor dapat ditempatkan sebagai salah satu alat pencegahan terhadap masifnya perilaku korup di level legislatif.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0722 seconds (0.1#10.140)